Pak Budi perlahan masuk sembari melirik-lirik seisi kelas penuh dengan orang-orang duduk menunduk berfokus pada selembar dua lembar kertas di atas meja masing-masing seperti kawanan ternak yang sedang diberi pakan oleh peternak. Benar-benar menyedihkan.
Lain dengan minggu kemarin, hari ini Pak Budi tidak membawa apapun bahkan buku pelajaran biologi sekalipun. Yah Pak Budi memang seperti itu, beliau memang suka hal-hal simple, dia tak akan membawa barang yang tidak dia perlukan. Setelah melihat itu aku sudah yakin kalau hari ini tidak akan belajar.
Sembari mengeluarkan handphone dari saku celananya, Pak Budi menarik kursi guru lalu duduk di atasnya. Kemudian setelah tarikan napas yang lumayan kencang, mulutnya mulai bersuara.
"Oke! selamat siang anak-anak" sapa Pak Budi.
"Siang Pak!" balas Laras dan Rina.
"Lagi ngerjain apa kalian? seru banget kayanya"
"Tugas matematika Pak!" sahut Aldo.
"Ohh matematika, dari Pak Yatno ya? untuk kapan tugasnya itu?"
"Hari ini Pak!"
"Hmmm, oke! yaudah berhenti dulu sebentar nanti dilanjut lagi, kamu juga simpen HPnya!" gertak Pak Budi menganggukkan kepalanya dengan alisnya yang turun naik sembari melotot ke arahku.
"Iya Pak!" balasku sambil melempar handphoneku ke dalam tas.
Kemudian Pak Budi mengangkat handphonenya ke atas meja dengan kedua tangan memapahnya.
"Oke! ini saya ada kisi-kisi UN tolong kalian simak dan catat kalau mau nilainya bagus!" anjur Pak Anto.
Seketika itu juga semua yang tadinya fokus ke tugas matematika langsung berhenti lalu mengeluarkan buku mereka masing-masing. Kemudian Pak Budi mulai menyebutkan satu persatu bab materi yang sekiranya akan keluar di ujian nasional nanti.
Sampai akhirnya materi terakhir disebutkan olehnya.
"Oke! itu materi yang terakhir, tolong kalian pelajari baik-baik! terutama materi bab-bab akhir, karena dari tahun-tahun sebelumnya banyak soal yang keluar dari situ." Pesan Pak Budi
"Baik Pak!"
"Ada yang ingin ditanyakan tentang kisi-kisinya? atau ada masalah lain di luar pelajaran saya?"
Mendengar beliau bertanya seperti itu, sebenarnya di dalam hati aku berteriak protes tentang Pak Yatno yang menggantikan Bu Ani sebagai guru matematika. Namun kupendam teriakan itu, sebab akan terlihat sangat memalukan seorang murid kelas dua belas merengek karena mendapat guru killer. Murid lainpun sepertinya memikirkan hal yang sama denganku, mereka saling lirik serta berbisik
"Gimana ketua kelas? apa ada masalah selama seminggu ini?" tanya Pak Budi sembari menatap Anto.
"Hmmm, sepertinya tidak ada Pak!" jawab Anto.
"Tidak ada? oke kalau begitu, kita akhiri dulu sampai disi ..." Belum sempat Pak Budi menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba ada yang berseru dengan lantangnya dari arah belakangku.
"Pak!"
Seperti terpanggil oleh suara lantangnya, secara spontan kepalaku menoleh ke belakang. Terlihatlah hampir seluruh pasang mata di kelas itu tertuju pada seorang laki-laki yang duduk tepat di belakangku. Sosok laki-laki itu adalah Rian.
"Ada apa? kamu punya masalah?" balas Pak Budi.
"Iya pak! ini soal Pak Yatno, dia kalau ngasih tugas selalu banyak banget. Jadinya sering nyita waktu jam istirahat kita, kita juga jadi gak bisa fokus pas jam pelajaran yang lain karena kepikiran tugas matematika terus." Bak seorang pemimpin demo yang menuntut keadilan kepada pemerintah, Rian melantangkan keluhan dan protesnya ke Pak Budi.
"Setiap kali ngajar dia memang selalu ngasih tugas banyak ya?"
"Iya Pak," jawab serentak semua murid.
"Hmmm, iya sih, tadi saya masuk aja yang balas salam cuma satu dua orang."
"Oke! nanti saya bicarakan sama Pak Yatno supaya dikurangi tugasnya." sambung Pak Budi.
"Terima kasih Pak!"
"Oke! ada masalah yang lain? ... tidak ada? oke kalau begitu kita akhiri dulu pelajaran hari ini, Selasa depan kita akan latihan soal-soal UN tahun-tahun kemarin!" Pak Budi perlahan berdiri dari duduknya sembari tangan kanan memasukkan handphone ke saku celana belakang.
Kalimat yang baru saja dia lontarkan seketika membuatku sangat kecewa, namun sama sekali tidak terkejut. Bagaimana bisa pengumuman seperti itu keluar dari mulut seorang guru yang baru saja mendengar keluhan dan protes tentang beban tugas dari muridnya. Kukira Pak Budi adalah guru baik yang peduli, perhatian, dan berada di pihak kami, muridnya.
Tapi ternyata dia sama saja seperti Pak Yatno yang hanya peduli pada hasil nilai dari murid-murid pintar nan memberikan reputasi baik padanya dihadapan para atasan dan pejabat. Tanpa memperdulikan beban yang dia berikan kepada muridnya.
"Setelah ini jangan ada yang keluar-keluar kelas dulu ya! tunggu bel istirahat!"
"Baik Pak!"
"Selamat siang semuanya! sampai jumpa minggu depan!" Dengan santainya, sang wali kelas kami yang baru itu berjalan keluar meninggalkan kami.
Setelah Pak Budi sudah tak terlihat lagi dari pandangan, aku segera meminta Anto meminjamkan tugas miliknya untuk kucontek. Tanpa basa-basi atau perlawanan sedikitpun, Anto dengan suka rela menyerahkan tugas matematika yang telah susah payah dia kerjakan kepadaku. Namun ternyata isi lembaran tugasnya kurang berharga.
Masih ada enam nomor yang baru tertulis soalnya saja. Selain itu ada tiga soal terjawab tanpa memakai rumus apapun, hanya terdapat hasil yang entah dari mana angka itu berasal. Yah memang mengecewakan, tapi apa boleh buat, aku yang hanya bisa terima jadinya saja tidak bisa protes apapun padanya.
Sempat terpikir olehku menyontek hasil tugas milik Laras. Tapi belum sempat aku memintanya, Laras sudah terlebih dahulu berjalan melewati pintu kelas bersama Aldo dan Rian. Untuk sementara aku harus puas dengan menyalin tugas Anto, walaupun angka tiga merah besar sudah bisa terbayang terlukis di atas lembar tugasku, tapi itu lebih baik daripada nol.
Maka setelahnya aku mulai menyalin tugas Anto yang menyedihkan itu. Kini giliranku menjadi ternak yang selalu menunduk sedang memakan pakannya berupa tugas matematika di depan mataku.
Ditengah-tengah aku yang fokus mengerjakan lembaran tugas di hadapanku ini, tiba-tiba saja Anto berteriak menyebutkan namaku.
"Hardi! Woy!"
"Hmmm? apa?" sahutku sembari masih mengerjakan tugas
"Kantin yuk?" ajak Anto
Sebuah puisi indah baru saja berkumandang menghembuskan angin segar sedikit menenangkan isi pikiran yang berasap pekat ini. Namun hal itu juga membuatku bimbang memilih antara mengerjakan tugas penurun mood ini atau ke kantin bareng Anto. Akhirnya setelah menimbang sebab akibat, keuntungan, kerugian yang sekiranya akan kuperoleh dari dua pilihan itu, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kantin.
"Mau gak Di?" tambah Anto yang ternyata sedari tadi sudah berdiri di depan meja menatapku.
Setelah menyimpan lembar tugasku ke dalam tas, akupun bangkit dari duduk lalu menghampiri Anto.
"Ayo!" ajakku.
Kemudian seakan seperti dihapus ingatannya, aku dengan tanpa beban berjalan ke kantin bersama Anto. Meninggalkan tugasku yang baru mencapai nomor dua, itupun baru menyentuh bagian rumus.
'Santai saja masih ada tiga jam sebelum pulang sekolah'