Setelah itu, dengan tubuh telentang di atas kasur serta selimut putih itu sambil berpikir tentang apa yang terjadi padaku. Ditengah lamunan itu, beberapa kali rasa nyeri itu muncul kembali, menyerbu kepalaku seperti ditembaki puluhan rentetan peluru dari dalam otakku.
Kumulai mencoba meyentuh dan mengusap seluruh permukaan kepala dengan tangan kanan mulai dari ubun-ubun terus naik perlahan ke bagian tengah berharap bisa meredam serta menemukan pusat rasa nyeri itu. Saat sampai di bagian tengah kepala, terasa seperti ada selembar kain yang membalut permukaan kepalaku.
Lantas kutelusurilah kain itu dengan telapak tangan, hingga sampai di bagian kiri kepala tepat di atas telinga. Di bagian itu terasa lebih menonjol maju dibandingkan dengan bagian lainnya, selain itu saat menyentuhnya terasa ada sentakan rasa perih yang menyengat sampai membuatku mendesis kesakitan, "shhhtt.... awww!"
"Dasar anak muda jaman sekarang! ada orang tua lagi ngomong bukannya didengerin, malah dicuekkin gitu aja!" gerutu pria botak disampingku.
Aku masih tidak paham kenapa dia sangat berusaha keras mengajak orang yang tidak mengenal bahkan baru pertama kali melihatnya untuk mengobrol, sebegitu kesepiannyakah dia? apa semua orang tua tidak punya rasa segan untuk berbicara dengan orang asing seperti ini? benar-benar membuat risih. Saat kulirik pria itu dia sudah memutar tubuhnya menghadap ke arah kanan dan memunggungiku.
Saat masih kebingungan dengan sikapnya, tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbuka, disusul dengan suara langkah kaki yang perlahan mendekat, lalu muncul bayangan seseorang di balik tirai hijau di depanku. Kemudian bentangan tirai itu perlahan terlipat kesamping oleh sebuah tangan dari seseorang di balik tirai itu. Lalu muncullah dari baliknya seorang wanita cantik lagi seksi berseragam perawat putih membawa sebuah nampan dengan mangkok serta selembar kain di atasnya sedang berdiri di depanku.
"Nice!" gumamku sambil memekarkan senyum di bibir
Wanita itu kemudian tersenyum menatap dan menyapaku, "Hai Kak! syukurlah kakak sudah sadar!"
Lalu perawat itu berjalan perlahan ke samping kiriku dan menaruh nampan itu di meja, kemudian dia berkata, "Mohon maaf kak! saya mau melepas perbannya!"
"Iya mbak! silahkan silahkan!" kataku kegirangan
Dengan senang hati kuangkat sedikit kepala yang dengan sigap ditadah oleh tangannya sampai akhirnya aku dapat duduk tegap di atas tempat tidur itu.
"Maaf ya Kak!" pinta perawat itu sambil tangannya membuka perban yang melilit kepala, jidat, serta daguku.
Namun tiba-tiba terdengar jeritan manja dari pria botak di sebelahku, "Aduh... sakit tau sus... pelan-pelan dong bukanya!"
Langsung saja kumenoleh ke kanan, dan terlihatlah pria itu sedang bertelanjang dada bersama dengan seorang perawat wanita yang sedang melepas lilitan perban di dadanya. Nampak mata dari si pria botak sedang menjelajahi tubuh bagian belakang wanita itu dengan tatapan mesum. Mungkin karena sadar diperhatikan, pria botak itu tiba-tiba menoleh ke arahku yang membuat keempat mata kami saling bertatapan.
Pria botak itu kemudian menyeringai dan menaik turunkan kedua alisnya. Saat itulah aku berpikir 'oh nice move Pak botak!'. Lalu kubalas pula senyuman darinya dengan tawa kecil sambil memperlihatkan gigi-gigi putih serta mengacungkan jempolku.
Setelah itu perhatianku kembali pada perawat yang sedang melepas balutan perban di kepalaku. Setelah perban itu terlepas dari kepalaku perawat itu tersenyum sambil berkata, "baik Kak perbannya udah selesai saya lepas!"
"Eh? saya gak dikasih perban baru mbak?" tanyaku penuh harap.
"Hmm, sepertinya sudah tidak perlu diperban lagi Kak, karena luka di kepala Kaka sudah hilang!" jelas perawat itu.
Dengan nada rendah nan penuh rasa kecewa, akupun menerima jawaban darinya sambil berkata, "ohh begitu....".
Kemudian perawat itu mengeluarkan beberapa batu es dari mangkok dan menaruhnya di atas kain yang dia tadi, lalu membungkusnya. Setelah itu tangan kanannya menempelkan bungkusan es itu tepat ke bagian kepala yang menonjol tadi.
Sambil tangan kirinya lembutnya menuntun tangan kananku menyentuh bungkusan es itu, dia berkata, "Ini kompresannya tolong dipegang terus ya mas! biar benjolannya cepat hilang!"
"Siap mbak!" jawabku dengan tegas.
"Kalau begitu saya tinggal dulu ya Kak! nanti saya balik lagi buat ambil kompresannya" ucap perawat itu sambil menaruh bekas perban tadi di nampan dan mengangkatnya.
Setelahnya, perawat itu langsung berjalan keluar dari ruangan itu kemudian disusul oleh perawat yang mengurus si pria botak dengan diiringi salam penuh cinta dari pria itu, "Dah sus.... sering-sering mampir kesini ya! muacch".
"Ahh.... dirawat sama suster cantik memang mantap!" desah pria botak itu penuh kepuasan sambil menutup tirai hijau di depannya
Kemudian pria botak itu menengok ke arahku serta menyapa, "hei Dek!"
"Halo Pak!" balasku.
"Gimana?" tanya si pria botak.
"Mantap!" tegasku.
"Hahahaha.... bagus bagus! saya suka anak muda yang berani dan gak malu ngeluarin hasrat terpendamnya kaya gini!" oceh si pria botak.
"Siapa nama kamu Dek?" sambung si pria botak.
"Hardi Pak!" jawabku.
"Mantap Hardi! kalau kamu nanti mencalonkan diri jadi presiden, seratus persen pasti akan saya coblos!" celoteh si pria botak.
"hahahaha.... waduh jangan ngomong gitu ah pak! jadi malu saya pak!" kataku.
Ditengah-tengah asiknya canda dan tawa kami, tiba-tiba saja pintu ruangan itu terbuka dengan sebuah tangan yang menggenggam gagangnya. Lalu perlahan sang pemilik tangan itu maju menunjukkan dirinya. Dan ternyata pemilik tangan yang mendorong pintu itu adalah ibu.
"Mak?" gumamku
Dia menatapku dengan mata yang berkaca-kaca menahan air mata. Kemudian dengan sendu serta air mata yang mengalir di kedua pipinya dia berlari lalu membungkuk di hadapanku.
Kemudian tanpa aba-aba atau tanda peringatan apapun tiba-tiba ibu memelukku erat dengan tangan kiri mendekap dan mencengkeram punggungku serta tangan kanan di pinggangku, dalam derasnya air mata yang mengalir dia menjerit, "Hardi... ahirnya kamu bangun juga Di! hiikks!"
Awalnya pipiku memerah karena malu sebab sadar ada orang lain yang melihat kami, namun hal itu berubah setelah sadar bahwa air mata yang dia keluarkan murni atas dasar cinta. Sambil tersenyum dengan mata yang mengkilap karena menahan air yang ingin keluar darinya, kuabaikan bungkusan esnya kemudian kupeluk erat tubuhnya
Namun saat memeluk tubuhnya, ada sesuatu yang membuatku sangat tidak nyaman, terganggu, dan jengkel. Yaitu si Pak botak yang melihat ke arah kami dengan kelopak mata terbuka lebar serta mulut yang sedikit menganga.
Mengingat sikap mesum yang dia tunjukkan ke perawat tadi, lantas akupun langsung berbisik ke telinga ibu, "Mak! ada om-om mesum lagi melototin emak!".
Ibu menghentikan isak tangisnya serta melepaskan pelukannya, sambil mengusap kedua matanya dia membalikkan badan sambil berkata, "hiikkss, tolong Pak ini kami sedang terharu disini! tolong jangan kurang aj.... "
Mulut ibu berhenti mengeluarkan perkataanya tepat di saat matanya terbuka dan melihat sosok pria botak yang di sampingku itu. Selama beberapa detik dua pasang mata itu saling bertatapan sampai si pria botak itu berucap, "hey Ratih!"