Suaranya terdengar seperti seorang pria dan seorang wanita yang berteriak secara bersamaan. Dan teriakan si wanita terdengar sangat jelas, seakan-akan wanita itu tepat berada di belakangku.
Aku menoleh ke belakang, muncul Pak Udin dengan mata melotot dan nafas yang terdengar menggebu-gebu tengah tergesa-gesa menaiki tangga. Aku saat itu benar-benar bingung harus berbuat apa, sebab sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bisa diam mematung sampai terhempas dan punggungku hampir membentur dinding samping kiri, karena senggolan dari Pak Udin yang berlari mendekat ke arah ibu.
Tangan ibu yang tengah mendorong perlahan pintu itu, namun terlihat tidak terbuka sedikitpun, seketika tangan itu disergap dan dicengkeram erat oleh tangan kanan Pak Udin.
"Awwww." Jerit pelan ibu.
Kelihatannya sergapan tangan Pak Udin, benar-benar mengejutkan ibu, sampai ibu seketika melepas genggamannya pada pegangan pintu itu.
"Bu Ratih ngapain disini? katanya mau ke kamar mandi? kok tangannya pengen buka buka kamar saya?." Pak Udin bertubi-tubi melontarkan pertanyaan ke ibu, dengan tangan yang masih mencengkeram erat tangan ibu.
Ibu melirik ke arahku yang masih tersungkur di lantai.
Melihat wajah ibu yang terlihat kesakitan, akupun perlahan berdiri dan dengan tertatih-tatih menahan sakit pada kaki kananku, aku berjalan ke arah mereka sambil satu tangan berpegangan pada Railing pembatas
"Ha? oh ma...maaf Pak, maaf pak, saya cu...cuma ini." Ibu menjawab pertanyaan Pak Udin dengan tergagap-gagap.
Dengan sedikit membentak, Pak Udin kembali menghujani pertanyaan pertanyaan pada Ibu. "ngapain Bu Ratih ada disini? Ibu mau maling ya?"
Aku mendekati Pak Udin dan memegang salah satu pundaknya dari belakang, diapun langsung menoleh kepadaku
"Hemmm?" geram Pak Udin.
"Maaf Pak Udin, Mak saya gak bermaksud untuk maling kok! dia cuma kecapekan sama lagi gak enak badan, jadi mungkin dikira ini rumah kami!" ucapku pada Pak Udin yang matanya melotot tajam.
Pak Udin kembali mengarahkan pandangannya kepada Ibu "Benar begitu Bu?".
"Iya Pak, maaf ya Pak Udin! saya bener-bener gak bermaksud buat mencuri kok!" jawab Ibu
"Iya! kami benar-benar, minta maaf ya Pak Udin!" timpalku.
"Oh, yasudah kalau begitu!" ucap Pak Udin sambil melepaskan genggamannya pada tangan Ibu.
Terlihat tangan ibu yang memerah di tempat Pak Udin menggenggam tangannya, dengan lima buah bekas kuku yang lumayan dalam. Aku memberikan kode mata pada ibu, mengisyaratkannya untuk pulang.
"Aduh, kalau begitu kami pamit pulang aja ya Pak? gak enak juga sama tamu yang lain" kata Ibu.
"Oh, oke!" balas Pak Udin.
Kemudian ibu berjalan melewati Pak Udin dan berhenti tepat disampingku.
"Kami pamit ya Pak Udin! maaf saya sudah mengganggu dan membuat Pak Udin merasa tidak nyaman!" pamit Ibu sambil sedikit membungkukkan kepalanya, aku juga ikut membungkukkan kepala.
"Iya gak papa, hati-hati ya kalian berdua pulangnya!" balas Pak Udin.
"Ayo!" bisik ibu padaku.
Ibu membalikkan badan, mulai berjalan, dan menuruni satu persatu anak tangga. Aku perlahan mengikutinya dengan menahan sakit di kakiku yang sudah sedikit membaik.
Saat kami melewati ruang tamu, aku sadar bahwa beberapa dari jemaat yang tersisa melirik kami dengan tatapan penasaran serta curiga. Ibu mengambil kembali tas kecilnya, mengecek isi di dalamnya, dan bergegas keluar dari rumah Pak Udin.
Ketika keluar dari rumah Pak Udin, aku lihat ibu yang sudah berdiri menunggu di samping motorku. aku perlahan berjalan mendekatinya sambil mengeluarkan kunci motor dari saku celana.
"Misi Mak!" kataku sambil menarik keluar motorku.
Ibu bergeser sedikit, memberi ruang untuk motorku keluar. Setelah berhasil keluar, kuputar kepala motornya menghadap ke arah jalan keluar dari blok itu. Kemudian aku naik, memasukkan kunci, dan menyalakan mesinnya.
"Ayo Mak!" ajakku
Ibu perlahan naik di belakangku. Dengan ibu yang berpegangan erat pada pinggangku, aku langsung menarik gas motor, dan pergi menjauh dari rumah Pak Udin.
Selama perjalanan, sebenarnya aku ingin menanyakan kepada ibu kenapa dia ada didepan kamar Pak Udin? sedang apa dia disana? kenapa dia tidak mendengar panggilanku?. Tapi semua pertanyaan itu kusimpan, karena kasihan mengingat ibu yang baru saja dihujani pertanyaan dari Pak Udin sambil menahan sakit di tangannya.
Sesampainya di rumah, sambil berpegangan pada bahuku, ibu perlahan turun dari motor. Setelah itu dia berjalan menuju pintu, di depan pintu dia letakkan tas kecilnya di teras, kemudian mengeluarkan kunci pintu rumah dari dalamnya, dan memasukkannya ke lubang kunci. Sambil kelingkingnya menekan gagang pintu, dia putar kunci itu dengan jari telunjuk dan jempolnya sampai terdengar dua kali suara kunci pintu terbuka. Lalu dia dorong pintu sampai terbuka lebar, mencabut kuncinya, serta menaruhnya kembali di lubang kunci bagian dalam, sesudah itu dia ambil kembali tas kecilnya dan berjalan masuk ke rumah.
Setelah selesai memarkirkan motor di garasi dan menguncinya akupun menyusul ibu masuk ke rumah. Kututup serta kunci kembali pintu depan dan menaruh kuncinya di atas meja di depan sofa TV. Saat hendak membuka pintu kamarku, tiba-tiba ibu memanggil.
"Hardi! kamu masih laper gak Di? ini ada nasi goreng!" tawar ibu dari kejauhan dengan sedikit teriak.
"Gak Mak! buat besok pagi aja!" jawabku.
Kubuka pintu kamar, dan terlihat kamarku nan gelap. Kunyalakan saklar lampu, melepas kemeja batik serta melemparkannya ke kasur, mengunci slot pintu, mejatuhkan badan ke kasur, dan mengeluarkan handphone dari tas.
Kutekan tombol Powernya, dan ternyata ada pesan WhatsApp dari Anto. Sontak aku duduk serta bersender pada dinding. Aku buka pesan itu.
Di dalam pesan WhatsApp itu Anto berkata, "waduh sorry Di, gua gak ngasih kabar, habisnya tiba-tiba gua dipanggil sama kakek gua yang di Semarang, kayaknya Kamis gua udah pulang!"
Kemudian aku balas, "oh begitu, yah gua cuma kaget aja sih lu tau-tau gak masuk, gua kira lu kenapa-kenapa! memangnya disana kenapa? kok lu sampe dipanggil segala?"
Aku kirim pesan itu, dan muncul satu tanda centang putih yang menandakan pesan terkirim namun belum dibaca. Beberapa saat setelah mengirim pesan itu, aku baru tersadar kalau ada orang lain yang mengirimiku pesan WhatsApp selain Anto. Tidak tertulis nama pengirimnya, hanya nomornya saja, setelah aku cek, ternyata nomor itu juga ada di grup WhatsApp kelas. Setelah membaca pesan-pesannya, sepertinya ini dari Laras.
Seusai membacanya, aku langsung keluar dari aplikasi WhatsApp tanpa membalas pesannya, mematikan handphone, menaruhnya kembali ke dalam tas, dan perlahan menutup mataku. Suasana malam nan tenang serta sunyi membuat rasa kantuk semakin tak tertahankan, mulutkupun tak berhenti menguap. Dengan nafas yang tenang, aku perlahan mulai terlelap dalam tidurku.
Aku mulai bermimpi indah, bergandengan tangan dengan seorang perempuan yang tidak kukenal di balkon hotel di tepi pantai. Bergandengan mesra di balkon hotel mewah ditemani pemandangan sunset tepi pantai yang memanjakan mata, benar-benar suasana yang begitu romantis. Dengan tersenyum malu, perempuan itu mulai menutup matanya, merapatkan serta memajukan bibir tipisnya, dan dia menderatkannya tepat di atas bibirku.
Aku yang senang, malu, serta bingung hanya bisa diam menganga dengan pipi yang memerah. Dia mulai tersenyum dan tertawa lepas. Walaupun aku tak mengenalnya tapi senyum dan tawanya benar membuat hatiku benar-benar terasa damai.
"Dadah Hardi!" ucapnya dengan senyum serta tawa sembari mendorongku jatuh dari atas balkon.
Aku yang masih terdiam karena ciuman tadi, tidak kuasa melawannya dan hanya pasrah terjatuh dari atas balkon hotel lantai dua itu. Ditengah-tengah mengapung di udara, aku bisa melihatnya tersenyum dan melambaikan tangannya ke arahku.
Tiba-tiba tubuhku tersentak dan aku terbangun di kamar tidurku.