Untuk memastikannya akupun menepi dan memberhentikan motorku. Kutengok ke belakang, di seberang kolong jembatan tol terlihat banyak orang mengerumuni seseorang yang sepertinya baru saja menjadi korban kecelakaan dan terjatuh dari motornya.
Sebenarnya aku ingin ikut menolongnya, tapi begitu mencoba mendekat, sedikit terlihat motor, jaket, serta wajah korban yang berlumuran darah, dan ternyata dia adalah pengendara yang tidak sengaja menabrak dan mengejarku tadi.
"Tidak tidak tidak." Dengan tubuh bergetar, aku mundur perlahan dan kembali menunggangi motorku sambil menahan pedihnya keringat yang mulai menetes serta menyengat mataku.
Ketakutan akan dijadikan tersangka atas kecelakaan itu olehnya, langsung kuurungkan niat untuk menolong, pergi meninggalkannya, dan melanjutkan perjalanan pulang.
Begitu di depan blok rumah Pak Rudi dan Bu Dian, seperti mengulang kejadian di hari sebelumnya, motorku seakan melambat dengan sendirinya. Tangan melemas dan mata seperti terpaku ke satu jendela di lantai dua rumah itu, entah mengapa kedua mataku tak bisa lepas memandanginya, padahal tidak ada yang spesial disana, hanya jendela biasa yang tertutup rapat. Pandanganku akhirnya kembali fokus ke jalanan setelah mendapatkan sedikit guncangan dari polisi tidur yang kulewati.
Beberapa saat setelah itu, aku baru menyadari bahwa sedari tadi, ada beberapa motor dan warga yang berjalan kaki memasuki blok rumah Pak Udin. Begitu aku berada di depan bloknya, terlihat beberapa motor yang sudah terparkir di depan rumah Pak Udin. Hal itu mengingatkanku pada undangan yang diberikan oleh Pak Udin kemarin.
Setelah sampai di depan rumahku, nampak pintu depannya yang sudah terbuka lebar, serta ibu yang sedang menjemur pakaian dan mengibaskannya dengan satu tangan. Kuparkirkan motor, melepas helm, dan menghampirinya.
"Hahhh..." Helaan nafas Ibu terdengar lumayan berat.
"Mak!" sapaku
"Eh? sudah pulang kamu Di?" tanya Ibu.
"Mak ngapain? jemur baju kan tugas Hardi?" protesku
"Gapapa kok! lagi kangen jemur baju aja!" balas Ibu
"Hadeh!" keluhku
"Oh iya! ini ada undangan dari Pak Udin." Aku keluarkan selembar undangan dari Pak Udin yang telah tersimpan di tasku dari hari sebelumnya.
"Oh, pantesan! kirain kita gak diundang, ternyata undangannya ada sama kamu?" ucap Ibu sambil menerima undangan yang kuberikan
"Iya, maaf Mak!" balasku
"Yaudah, kamu lanjutin jemurnya tuh!" perintah ibu sambil menunjuk sebuah ember penuh pakaian basah.
"Iya Mak." Setelah aku mengiyakan perintahnya dia langsung masuk ke rumah sambil membawa undangan tadi dan juga tasku.
Aku mulai memeras, mengibas, dan menjemurkan pakaian dalam ember itu satu-persatu. Langit yang semula berwarna biru cerah perlahan berubah menjadi jingga kemerahan, seiring dengan matahari nan mendekat ke cakrawala. Lampu-lampu rumah dan jalanan satu-persatu dinyalakan, dan akupun sudah menyelesaikan jemurannya.
Aku masuk kerumah sambil menenteng ember tadi yang sudah kosong dan memanggul sebuah handuk kering. Saat berjalan melewati meja makan, terlihat satu gelas kaca kosong dengan sebuah kantung teh didalamnya, dan satu strip obat sakit kepala yang dua butir obatnya kelihatan sudah dimakan.
Kutaruh ember itu di samping mesin cuci, karena terdengar suara guyuran air dari kamar mandi, yang semula berniat mandi, akhirnya kutunda niat itu dan beralih duduk di sofa sambil menonton TV.
Terlihat berita di TV menayangkan masyarakat yang berbondong-bondong memborong bahan pangan dan alat-alat kesehatan seperti masker, hand sanitizer, serta vitamin. Diduga hal ini disebabkan pengumuman presiden tentang virus COVID yang sudah masuk ke negeri ini.
"Wah parah! semuanya bisa habis diborong orang-orang kaya doang ini mah! sebentar lagi pasti bakal ada penimbun yang jual barangnya dengan harga selangit!" gerutuku
Suara pintu kamar mandi terbuka disertai putaran keran air terdengar. Mendengar itu aku menoleh ke arah kamar mandi, terlihat ibu keluar dari kamar mandi mengenakan blouse batik gelap dengan celana hitam panjang, serta handuk yang menggulung rambutnya. Kemudian dia masuk ke kamarnya
Melihat itu aku beranjak dari sofa dan bergerak ke kamar mandi.Aku masuk ke kamar mandi, memutar keran air, melepas seragam, menggantungkan semua pakaian ke hanger, dan mulai mengguyur semua bagian tubuh yang sudah lengket serta bau akibat keringat dengan air di bak mandi. Setelah tubuhku terasa bersih, segar, dan kering, langsung keluar dari kamar mandi dengan kembali mengenakan celana seragam abu-abu serta bertelanjang dada.
Kemudian aku segera membuka dan masuk ke kamar tidurku nan gelap, menyalakan lampu, mengambil sepotong kemeja batik, mengenakannya, dan langsung keluar dari situ. Sembari menengok TV, aku menyalakan lampu teras rumah.
Beberapa saat kemudian ibu yang telah rapih mengenakan kerudung panjang sedada, riiasan wajah, serta menenteng sebuah tas kecil di tangannya, keluar dari kamarnya. Kumatikan TV, lalu menghampirinya.
"Udah siap Mak?" tanyaku.
"Udah! ayo berangkat sekarang, keburu malem!" ajak Ibu.
Kami berduapun keluar dari rumah, dan nampaklah beberapa lampu yang menerangi gelapnya malam perumahan. Aku langsung naik ke atas motor dan menghidupkannya. Dan kutengok ibu yang terlihat baru saja mengunci pintu dan memasukkannya ke tas yang dia bawa. Hal itu mengingatkanku akan sesuatu, bagaimana ibu bisa masuk ke rumah? bukannya kuncinya aku bawa ke sekolah? apa mungkin dia sudah menduplikasi kuncinya?.
"Ayo Di!" ajak ibu sambil naik di belakangku dan berpegangan pada pinggangku, kemudian kami langsung berangkat ke rumah Pak Udin.
Tak sampai lima menit, kamipun sampai di rumah Pak Udin. Setelah memarkirkan motor, aku langsung menyusul ibu yang telah masuk terlebih dahulu ke rumah Pak Udin.
Begitu melewati pintu rumahnya nan terbuka lebar itu, terlihat para jemaat yang sudah duduk rapih mengitari ruang tamu dengan beberapa hidangan di tengah-tengah mereka. Sebagian dari tamu itu dapat kukenali, mereka adalah para tetangga sekitar dan guru dari sekolahku, namun sebagian lagi nampak asing di mataku.
Sambil sedikit membungkuk dan mengulurkan satu tangan ke bawah, aku berjalan ke salah satu sudut kanan ruangan itu untuk mengambil tempat duduk, tepatnya di antara Pak Heru dan seorang pria paruh baya. Dan langsung saja menyandarkan diri pada dinding di belakangku.
Tak lama kemudian sang pemilik acara, Pak Udin akhirnya keluar dari balik sekat yang membatasi ruang tamu, dengan mengenakan kemeja batik dan celana coklat panjang, dia langsung mengambil tempat duduk diantara para jemaat di depanku. Dan acaranyapun dimulai dengan dipimpin oleh seorang tokoh agama di perumahan kami.
Setelah kurang lebih tiga jam lamanya, acara tahlilan itupun bisa dibilang selesai, semua doa sudah dipanjatkan, sebagian besar tamu sudah pulang, dan hidangan yang tersaji juga hanya tersisa beberapa saja. Akupun menghampiri ibu, hendak mengajaknya pulang.
"Pulang yuk Mak!" Ajakku
"Sebentar Di." Ibu berdiri dan menghampiri Pak Udin.
"Maaf Pak, apa saya boleh numpang ke kamar mandi?" pinta ibu
"Oh boleh Bu, silahkan silahkan!" ucap Pak Udin.
Kemudian ibu membuka sekat ruang tamu dan berjalan pergi. Aku yang melihat itu, hanya bisa kembali duduk sambil memainkan tali tas kecilnya karena menahan malu. Setelah hampir satu jam menunggu ibu yang belum kembali dari kamar mandi, akhirnya kuputaskan untuk menyusulnya karena khawatir.
Setelah mendapat izin dari Pak Udin untuk menyusul ibu, aku langsung berjalan agak cepat ke arah kamar mandi. Tapi belum sampai di kamar mandi, dari bawah tangga, aku melihat ibu yang sedang diam berdiri di depan sebuah pintu kayu putih di lantai dua.
"Mak!" panggilku dengan sedikit berteriak.
"Mak." Dua kali aku memanggilnya, namun dia sama sekali tak bergeming. Akhirnya kuputuskan menaiki tangga untuk menghampirinya.
Dengan langkah perlahan aku menyusuri satu-persatu anak tangga itu, dan entah mengapa semakin banyak anak tangga yang kunaiki, semakin kencang pula jantungku berdegup. Begitu berada di atas anak tangga terakhir dan hendak mendekati ibu yang sudah menggenggam gagang pintu itu, tiba-tiba.
"Jangan!"
Terdengar teriakan yang cukup kencang dan agak aneh di belakangku.