Chapter 5 - Perubahan

Setelah kunyalakan, ternyata handphonenya masih berfungsi dengan baik. Semua aplikasi dan game masih lengkap beserta akunnya. Tapi, semua foto dan video yang berhubungan dengan kegiatan ekskul modern dance di galeri, sudah tidak ada lagi. Yang tersisa sekarang hanyalah beberapa foto tugas, foto saat liburan keluargaku bersama dengan keluarga Anto tahun lalu, serta beberapa video dewasa koleksiku. Riwayat chat WhatsApp di grup ekskul dan kontak pribadi Kak Lia juga terhapus, bahkan nomornya ada di daftar kontak terblokir.

Bingung, marah, sekaligus sedih, itulah yang kurasakan saat itu. Bagaimana tidak? hanya foto-foto dan chat itulah yang tersisa dariku untuk mengingat Kak Lia. Aku sudah bersiap berdiri, berteriak, dan membalikkan meja. Tapi semua itu tertahan, karena terlihat Anto di lapangan yang sedang berjalan ke arah sini, dengan diikuti oleh Pak Budi, guru biologi kami berjalan di belakangnya.

Mereka berdua masuk ke dalam kelas, Pak Budi dengan tubuh kurus terbungkus celana panjang dan kemeja khaki serta rambutnya yang cepak, berdiri di depan kelas sambil menyilangkan kedua tangannya ke belakang dan Anto berdiri tepat di sampingnya.

"Selamat pagi anak-anak!" sapa Pak Budi.

"Siang Pak!" sahut semua murid.

"Oke! selamat siang! jadi langsung saja ya beritahukan, bahwa mulai hari ini dan untuk kedepannya sampai kalian lulus, saya akan menggantikan Pak Rudi sebagai wali kelas kalian. Jadi jika ada pertanyaan tentang segala informasi tentang pelaksanaan ujian sekolah, ujian nasional, dan kegiatan-kegiatan sekolah yang melibatkan kelas ini, silahkan tanyakan ke saya!" ucap Pak Budi

"Baik, Pak!" balas semua murid

"Oke, kalian punya grup WA kelas kan?" tanya Pak Budi.

"Punya Pak!" Jawab Anto

"Oke, nanti saya berikan nomor WA saya, tolong kamu masukan ke grup dan jadikan saya admin." Pinta Pak Budi

"Baik Pak!" jawab Anto

"Oke, karena hari ini guru-guru mau rapat, sekarang kalian bersihkan ruang kelas ini, kalau sudah bersih kalian foto, lalu kasih liat ke meja piket! habis itu kalian boleh pulang." kata Pak Budi.

"Semuanya harus kerja ya! gak boleh ada yang cuma nyantai-nyantai, apalagi pulang duluan!" tegas Pak Budi

"Siap Pak!" balas semua murid

"Oke, bapak tinggal ya To? untuk yang disini bapak serahin ke kamu, bapak mau ke ruang guru!" Pamit Pak Budi sambil mengangkat tangan kanannya ke arah Anto dan mulai berjalan keluar kelas

"Baik Pak!" balas Anto

Saat Pak Budi keluar kelas tiba-tiba ada yang berdiri

"terus, tugas yang tadi gimana To?" celetuk seorang murid perempuan dengan wajah yang tak terlalu cantik, rambut tertutup jilbab, dan tinggi dibawah rata-rata, serta badan yang sedikit gemuk sambil mengangkat dua lembar kertas. Dia adalah Rina, mantan wakil ketua OSIS dan bendahara kelas ini.

"Oh, tugas itu dikumpulin hari Rabu, disimpen aja dulu masing-masing." jawab Anto.

Setelah Pak Budi keluar kelas, semuanya mulai menaikkan bangku, mengeluarkan tas ke teras kelas, dan membersihkan ruang kelas kami. Walaupun jumlah kami jauh lebih banyak dari tugas yang bisa dikerjakan, tapi semuanya tidak ada yang menganggur dan benar-benar saling membantu. Ada yang menyapu, ada yang membersihkan AC dan kipas, ada yang mengepel lantai, membuang sampah, ada yang mengelap kaca jendela, ada yang membersihkan papan tulis, ada yang menjaga tumpukan tas dengan tidur diatasnya sambil bermain handphone, dan ada juga yang mengirimkan doa mereka dari kantin, sungguh kerja tim yang hebat. Aku termasuk ke yang menjaga tas, sementara Anto sibuk mengepel lantai. Kami sama sekali tidak punya kesempatan untuk mengobrol, bahkan ketika kelas sudah bersih, dia langsung memfoto dan melaporkannya ke meja piket.

Jam handphoneku sudah menunjukan pukul 11 : 40 dan Anto baru kembali dari meja piket setelah menunjukan foto ruang kelas kami. Aku perlahan berdiri dan menghampiri Anto.

"Gimana To? udah boleh pulang?" tanyaku

"Udah!" bentak Anto yang kemudian berjalan melewatiku, mendekati teman kelasku yang lain

Mendengar bentakan itu aku merasa seperti ada aliran listrik menyetrum dari punggung hingga leher belakangku. Sudah lama bentakannya itu tidak terdengar olehku

"Kenapa dia marah? apa ada yang salah dari ucapanku?." Pikirku dalam hati sambil mataku melirik ke arahnya.

"Untuk kelas dua belas IPA tiga udah boleh pulang!" teriak Anto di belakangku.

"Huffftt ... yah, mungkin dia lagi banyak masalah?" bisikku.

Walaupun berkata seperti itu, tapi sebenarnya aku merasa seperti Anto mulai berusaha menjauh dan mengabaikanku.

Aku mulai berjalan ke parkiran motor sambil memasukkan tangan ke saku celana dan memainkan dasi. Sesampainya di motor, aku langsung tancap gas meninggalkan sekolah, ingin pulang.

Ditengah perjalanan, tepatnya di depan blok Pak Rudi dan Bu Dian, terlihat rumah mereka yang nampak sepi dan kosong, motorku seakan melambat dengan sendirinya. Tangan melemas dan mataku seperti terpaku ke satu jendela di lantai dua rumah itu, entah mengapa mataku tak bisa lepas memandanginya, padahal tidak ada yang spesial disana, hanya terlihat sebuah kamar tidur dengan dinding berwarna putih dan sebuah lemari kayu. Bahkan ketika blok itu sudah terlewat, kedua mataku tak bisa berhenti meliriknya, sampai sebuah polisi tidur memaksa mereka untuk kembali fokus ke jalanan.

Saat aku memasuki blokku, terlihat dari sana ada seorang pria dengan janggut dan kumis cukup tebal mengenakan kaos putih, celana pendek selutut, dan dad hat coklat sambil memegang beberapa kertas terbungkus plastik, sedang mengetok pintu rumahku serta memanggil-manggil nama ibuku. Dia adalah Pak Udin, sang fotografer sekaligus suami dari Bu Ani.

Kupelankan motorku, lalu berhenti tepat di belakang Pak Udin dan motornya.

"Selamat siang Pak Udin!" tegurku

Pak Udin langsung menoleh ke belakang.

"Eh, Hardi! kamu kok jam segini udah pulang?" tanya Pak Udin.

"Iya nih pak, gurunya pada rapat, jadi pulang cepet. Bapak tadi manggil-manggil ibu saya, ada apa ya pak?" tanyaku

"Ini saya mau kasih undangan buat tahlilan tiga harian istri saya." jawab Pak Udin dengan senyum dan wajah yang nampak sangat sedih. Aku pura-pura kaget, mematung, dan terdiam kaku mendengarnya.

"Saya titip sama kamu aja ya? sekalian sama undangan buat kamu juga." kata Pak Udin sambil menyodorkan 2 buah undangan kepadaku. Kuterima Undangan itu dengan kedua tangan sambil sedikit mengangukkan kepala.

"Yasudah kalau begitu, saya pamit dulu ya? masih banyak undangan yang harus disebar. Salam buat ibumu." Pamit Pak Udin sambil memutar arah motornya dan langsung pergi melewatiku.

Hampir satu jam aku menunggu ibu pulang sambil duduk di atas motor, di depan pintu rumahku yang masih terkunci, ditemani alunan BGM dari game yang sedang kubuka.