Chereads / The Truthful Boy And A Love Story / Chapter 3 - Happy Anniversary!

Chapter 3 - Happy Anniversary!

Pandanganku mulai gelap, suasana sekitar juga sudah hening dan sepi tanpa suara sedikitpun. Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan yang memanggilku dengan lembut, disertai dengan tamparan pelan di pipiku.

"Di, Hardi..., ihhh bangun dong sayang."

Mataku perlahan terbuka, dan kini di depanku nampak sebuah meja makan dengan sebuah lilin yang menyala dan seorang perempuan cantik dengan rambut hitam layer sebahu, mengenakan baju hitam lengan panjang dengan outer coklat, tengah duduk di kursi dengan anggunnya. Dia adalah Natalia, aku biasa memanggilnya kak Lia, gadis yang kusukai. Aku mengenalnya sejak masa orientasi sekolah, waktu itu terpukau melihat kecantikan dan keseksiannya ketika dia menari modern dance di demo ekskul. Mulai saat itulah aku ingin sekali menjadi lebih dekat dengannya, bahkan aku sampai rela masuk ekskul dance, padahal aku sama sekali tidak suka dan tidak bisa menari. Setiap pekannya aku rela datang latihan, hanya demi bisa melihat dia. Tapi setelah dia lulus, aku mulai malas ikut kegiatan ekskul sampai tidak pernah datang latihan kemudian keluar. Kami sudah lama tidak saling memberi kabar, dan akhirnya aku kehilangan kontak darinya. Terakhir yang kudengar dia masuk sebuah perguruan tinggi negeri di Kota Semarang.

"Ihh masa kamu tidur sih? kita kan lagi ngerayain anniv kita yang pertama." Dia mengeluh sambil menyilangkan tangan di depan dadanya sambil cemberut dan memasang wajah kesal.

"Hah?." Jawabku kebingungan sambil mataku melirik ke segala arah, depan, samping, atas dan bawah. Kudapati diriku sedang berada di sebuah restoran yang lumayan ramai, dan aku sendiri mengenakan kemeja dengan celana bahan dan sepatu hitam.

"Apa kamu gak senang dengan perayaan ini? atau penampilanku yang terlihat membosankan sampai kamu tidur gitu?." Wajah Kak Lia yang tadinya nampak kesal, kini berubah sedih. Tangannya mulai mengusap-usap kedua matanya.

Tentu saja aku tidak tega melihat dia bersedih seperti itu. Akupun berusaha menghiburnya dengan memainkan peran menjadi pasangan yang baik.

"Ehh? eng, aku senang kok. aku cuma ngantuk aja belum tidur kemarin malam karena gak sabar pengen dinner sama kamu." Kata-kata manis dari novel-novel percintaan yang pernah kubaca mulai kukeluarkan demi menghapus sedihnya.

Perlahan-lahan wajah sedihnya memudar, kedua tangannya diturunkan ke atas meja, dan mulai mengeluarkan senyum yang indah di hadapanku. Setelah dia nampak tenang, kami mulai mengobrol satu sama lain, mengenang segala hal yang telah kami lalui. Termasuk kenangan ketika aku mengutarakan perasaanku padanya di saat acara perpisahan angakatannya, yang sama sekali tidak bisa aku ingat. Semakin lama aku mengobrol dengannya semakin aku merasa ada yang aneh, dan semakin merasa kalau ini semua hanyalah mimpi belaka.

Tak lama kemudian seorang pelayan datang membawakan dua porsi nasi goreng lengkap dengan sendok dan garpu.

"Selamat menikmati hidangan kami." kata si pelayan dengan senyuman ramah, kemudian dia langsung perlahan pergi meninggalkan kami berdua.

Kak Lia langsung menyantap hidangan itu, begitu juga aku, meskipun aku sempat ragu karena merasa tidak memesannya. Tapi aku tidak mau melihatnya bersedih lagi. Ditengah asiknya makan, tiba-tiba aku merasa ada yang mengganjal di tenggorokanku. Rasanya seperti tercekik, sampai membuatku batuk-batuk.

"uhukk uhhuk, hueekk." Aku memuntahkan sesuatu seperti kertas yang lecek ke bawah meja.

"Kamu kenapa yang?" Tanya kak Lia dengan nada khawatir

"Gak papa kok, gapapa." jawabku sambil membungkuk memungut kembali kertas itu. Setelah kupungut, kubuka perlahan lipatan kertasnya. Begitu terbuka, mataku melotot kaget karena foto Pak Rudi mencium Bu Ani yang kutempel di lembaran terakhir tugasku tergambar di kertas itu.

Tiba-tiba terdengar suara Bu Dian di depanku.

"Kenapa mas? makanannya gak enak?."

Perlahan ku angkat badan dan wajahku kembali, dan terlihat di kursi yang tadi di duduki Kak Lisa, Bu Ani dengan daster putihnya sedang duduk dengan wajah yang nampak sangat kesal dan marah. Tak hanya itu, nasi goreng di piring tadi juga berubah menjadi ratusan foto Pak Rudi dan Bu Dian yang berciuman, kemeja hitamku juga berubah menjadi batik berlengan panjang, dan suasana restoran yang tadinya ramai kini berubah menjadi sebuah ruang makan sederhana yang sepi dengan tujuh buah lilin menyala diatas meja makan.

Nafasku mulai terasa berat dan keringat mulai bercucuran dari keningku. Bu Dian, dia perlahan mulai berdiri dan menghampiriku dengan wajah marah dan sebuah gunting besar di tangannya. Aku menundukkan kembali kepalaku sambil bergetar ketakutan

"Ayo dihabisin dong mas, aku udah capek-capek masak buat kamu loh." Bu Dian meraup satu kepal penuh foto tersebut, dan menusuk lengan kiri atasku ke sandaran kursi.

'aaaaarggghhh." Aku langsung mendongak dan berteriak kencang dengan mulut yang terbuka lebar, setelah itu Bu Dian langsung menjejalkan kepalan penuh foto tadi ke mulutku.

Dengan mulut tersumpal foto dan pundak tertancap di kursi, aku hanya bisa meronta dan meringis kesakitan. Keringatku semakin mengalir deras, dan cairan berwarna merah gelap mulai bercucuran dari lenganku, dan menyatu dengan warna bajuku. Dan kulihat Bu Dian mengambil piring dengan beberapa foto yang tersisa tadi dengan wajah yang nampak masih marah.

"Hmm? gimana? enak mas? nyoh habisin!." Bu Dian melempar piring tadi ke wajahku

Prrrakk

Piring itu pecah tepat di mukaku, sampai aku terjungkal ke belakang dengan badan masih menempel di kursi. Kemudian Bu Dian mendudukiku, mencabut gunting di lenganku dan menusuk-nusuk dada dan lengan kiriku berulang-ulang kali sambil menangis. Sampai tiba-tiba dia berhenti dan mencabut guntingnya. Dia berdiam sesaat, kemudian menatapku dengan mata berlinang air mata dan senyum tipis di wajahnya dia berbisik pelan.

"Happy anniversary Mas Rudi" Kemudian dia perlahan mulai berdiri dan pergi meninggalkanku dengan luka lecet di wajah dan belasan luka tusukan di dada serta lenganku. Aku sekarang hanya bisa terkulai lemas dengan rasa sakit dan darah yang mengalir dari lubang-lubang di dadaku, aku meringis kesakitan meminta pertolongan.

"to..tolong, ah...hkk, to..long saah..yahh." Teriakku dengan nafas yang terasa sesak dan ronkian kecil

Tak lama setelah itu, pandanganku mulai gelap, dan rasa sakit di dadaku mulai menghilang digantikan dengan suhu dingin yang mulai muncul dari punggungku dan menjalar keseluruh tubuhku. Kemudian terdengar suara-suara orang memanggilku, bersamaan dengan beberapa tamparan kasar di pipiku

"Woy di, bangun di! Ada guru."

"Hardi, bangun!"

Kumulai membuka mataku, dan terlihatlah seorang laki-laki yang lumayan tampan, tapi masih lebih jelek daripadaku dengan rambut hitam berponinya. Dia adalah Anto, ketua kelas sekaligus sahabatku sedang membungkuk dan menatapku dengan telapak tangan kanannya yang mulai memerah.