Pagi buta begini gue harus diingatkan kembali dengan aktivitas kuliah, coba saja bunda mengizinkan gue lulus sekolah langsung kerja, mungkin aktivitasnya akan berbeda lagi. Gue bisa bertemu dengan teman-teman kerja yang hanya memikirkan hari ini uangnya apa bisa untuk makan atau enggak.
Berbeda dengan sekarang gue harus memikirkan dua kali lipatnya. Pertama gue harus memikirkan gimana caranya biar bisa kuliah lulus dengan nilai yang bagus. Dan yang kedua gue memikrikan pekerjaan yang setara dengan jurusan yang gua ambil.
Syukurlah gua punya sahabat yang sangat pengertian, jika gua enggak paham dengan mata kuliahnya maka gue enggak malu-malu untuk bertanya.
Dan sekarang gue sedang menunggunya untuk membahas salah satu mata kuliah yang membuatku pusing setengah mati. Memang sih gue bisa saja searching di google tetapi ada beberapa dosen yang enggak terima jika makalahnya didapat dari internet bukan buku.
"Kenapa termenung di sini, Lay?" tanya Bunda membawa semangkuk yang berisi potongan buah lalu ditaruh di atas meja.
"Gita tuh, Bun. Katanya mau ke kafe agak pagian eh dianya enggak ada kabar sama sekali," jawabku kesal.
"Iya sudah kamu tunggu saja. Bukankah biasanya kamu juga seperti itu?" goda Bunda lalu ngacir masuk ke dapur.
Begini nih risiko punya bunda yang sedikit gaul, gue harus punya banyak cara agar tidak kalah saing dari bunda. Salah sedikit saja bunda bisa tahu apa yang akan gue utarakan.
Daripada gue menunggu Gita yang enggak ada kejelasannya lebih baik melakukan kegiatan yang membuat raga menjadi sehat. Dan, sepertinya olahraga di jam sepuluh pagi enggak ada salahnya juga, walai terlihat sedikit aneh.
Baru juga gue membuka pintu eh manusia menyebalkan nonggol di depan pintu dengan cengiran yang ingin gue cibir.
"Bangunnya kesiangan, Neng? Atau mungkin jam rumah lo mendadak mati dimakan kecoa?" tanyaku ngawur.
Gita salah tingkah. "maafin gue ya sahabatku yang paling baik. Tadi ada orang yang sengaja memperlambat gue buat datang tepat waktu."
"Buruan masuk ke dalam! Bunda gue enggak akan percaya gue pergi untuk urusan kuliah." titahku.
"Makanya lo jangan sering-sering ngibulin orang tua, tahu sendiri akibatnya kan?" ledek Gita yang membuat emosiku semakin diubun-ubun.
Selayaknya di rumahnya sendiri Gita masuk ke dalam rumah lalu duduk dengan santainya. Gue yang enggak sabar ingin segera pergi dari rumah, mencari keberadaan bunda yang belum terlihat.
"Lo kenapa mondar-mandir begitu sih? Gue capek lihatnya." tanya Gita.
"Bunda tiba-tiba saja menghilang, Git. Tadi gue lihat bunda di dapur dan sekarang enggak ada di tempat." jelasku masih memindai keberadaan bunda.
"Paling juga main di rumah calon besannya." Gita cekikikan tak peduli dengan tatapanku yang tajam.
"Gue masih jomblo ya belum diteken seseorang." gue kesal selalu digoda sama Gita yang menurutku enggak ada manfaatnya.
Bau parfum laki-laki menusuk sampai ke hidung, gue dan Gita mendengus lalu mencari tahu siapa orang yang memakai parfum sewangi ini. Kalau ayah enggak mungkin sebab gue tahu ayah enggak terlalu suka pakai parfum, apalagi parfumnya khas anak muda sekali.
"Eh, Nak Gita sudah datang ya?" tanya Bunda bersama dengan seseorang yang tadi menjadi topik pembicaraan kami.
Gita bangkit lalu menyalami bunda. "iya nih Bun. Maaf jadi terlambat, Bun." jawabnya pura-pura.
"Kalian mau pergi ke mana?" tanya suara berat khas seorang laki-laki.
Gita menolehku lalu tersenyum jahil. "kami mau belajar bersama, Pak." jawabnya genit.
"Belajar bersama?" tanyanya membeo.
"Emangnya kenapa? Ada yang salah dengan gue belajar sama sahabat? Lo mau ikut sama kita?" tanyaku menguji emosinya.
Ide gue memang sangat genius, laki-laki yang ada dihadapanku ini paling susah menahan emosinya. Dan dia baru bisa meredam bahkan mengalah jika gue bersama orang banyak. Sekalian juga gue mau membuka mata hati Gita bahwa dia enggak sebaik yang Gita bayangkan.
Bunda mencubit lenganku. "kamu tuh kalau bicara sama yang lebih tua harus sopan. Jangan seperti ini."
Laki-laki ini tersenyum puas. Niat hati gue mau mengerjai dia eh jadi gue yang dimarahi oleh Bunda. Mana gue lupa jika sama Bunda gue harus panggil dia dengan sebutan 'kakak', malas banget gue panggil begitu.
"Iya maaf, Bun." Gue menatapnya kesal. "maafin gue ya Kak Andra, tetanggaku sekaligus dosen paling baik sekampus."
"Saya sudah memaafkan kamu kok."
Laki-laki yang ada dihadapanku ini namanya, Andra, hukum alam sepertinya sedikit tidak berpihak sama gue. Di rumah gue harus kesal menahan segala tingkah laku yang menyebalkan dengan bercap tetangga.
Eh di kampus gue masih harus bertemu dengan dia yang kebetulan mengajar di sana jadi dosen favorit di kampus. Mereka enggak tahu saja betapa kejamnya dia pada saat berada di rumah.
Namun gue pun juga sedikit berterimakasih sama dia sebab enggak mau identitas sebagai tetangga gue diketahui oleh teman-teman kampus, kecuali Gita yang memang suka main di rumah.
"Kenapa kita enggak minta diajarin langsung sama Pak Andra saja, Lay?" tanya Gita kembali genit.
Gue berdeham. "enggak lupa dengan agenda kita setelah belajar?"
"Loh kalian mau belajar mata kuliah saya? Tumben sekali?" tanya Andra pura-pura lupa jika memberikan tugas segudang.
"Enggak perlu Nak Andra, nanti keenakan Lay enggak bisa mandiri." larang Bunda.
Dih siapa juga yang mau bergantung sama Andra, Bunda nih memag suka enggak mikir dulu sebelum berucap. Nanti yang ada Andra bisa besar kepala.
"Ouh iya sudah Tan." jawabnya manis sekali.
"Gimana kalau Pak Andra ..." gue langsung membungkam mulut Gita yang mulai keluar dari jalur. Takutnya Andra mikir yang enggak-enggak.
"Bun, Kak, sepertinya Lay harus berangkat sekarang. Takut nanti kafenya keburu penuh." gua menyambar tas yang ada di dekat kursi.
"Eh kita kan belum bicara banyak sama Pak Andra, Lay?" Gita seperti berat meninggalkan rumah.
"Buruan deh kita berangkat sekarang." gue mendelik tajam.
"Iya, iya. Tan, Pak, kami pergi dulu ya?"
Kenapa sih Andra pakai datang ke rumah segala, gue kan jadi harus mengulur waktu pergi sama Gita. Gue sudah hapal banget jika ada Andra di rumah, Gita, enggan keluar rumah.
***
"Gue masih enggak habis pikir sama Pak Andra kenapa sampai sekarang masih betah menjomblo ya?" Gita terus-terusan mengagumi Andra.
Bukannya gua cemburu Gita perhatian sama Andra tetapi gue hanya takut Gita akan menjadi korban Andra selanjutnya. Masa iya sahabat gue kesangkut sama kucing garung. Lebih baik Gita mencari laki-laki di luar sana yang lebih baik daripada Andra.
"Ingat ya Git, kalau Andra tuh playboy kelas kakap." peringatiku agar Gita enggak lupa.
"Kenapa sih lu masih kesal sama pak Andra? Awas loh jika dia dapat perempuan lain, lo bisa mewek dua hari secara berturut-turut." gantian Gita yang memberi nasihat.
"Ngapain juga gue patah hati sama dia, enggak ada gunanya ya Git." jawabku kesal.
"Loh siapa yang tahu, Lay. Kurangnya pak Andra itu apa sih? Ganteng, berwibawa, kaya pula, perempuan mana sih yang enggak jatuh hati sama dia?" puji Gita sambil membayangkan wajahnya Andra.
"Terserah lo saja deh, yang penting gue sudah kasih tahu lo tapi lo nya ngeyel terus." cibirku.
Setengah jam sudah gue dijelasin sama Gita tentang mata kuliah yang hampir membuatku senewen. Dan disela-sela Gita menjadi guru dadakan, sesekali gue tertidur sebentar.
Kalau kelamaan, Gita, bisa menunjukkan kedua taringnya. Dan seisi kafe akan dibuat gempar oleh sikapnya.
"Gimana lo sudah paham sama yang gue jelaskan bukan?" tanya Gita mengatur napas karena capek mengajarkan gue.
"Insya Allah gue paham kok Git." jawabku agar tidak direcokinya.
"Bagus kalau lo paham. Sekarang waktunya kita pesan makanan karena minuman kita sudah habis. Dan gue enggak mau dilihat karyawan kafe karena kita terlalu lama duduk di sini." Gita melambaikan tangannya lalu memanggil pelayan.
Mumpung, Gita, asik dengan buku menunya, gue bisa istirahat sebentar. Barangkali mimpi bertemu artis kesayangan gue yang setiap hari menjadi bahan halu gue dengan semua aktivitas yang melelahkan.
Tunggu calon masa depanmu ya Sayangku!
"Astagfirullah! Anak ini pakai tidur segala?" pekik Gita berhasil membuatku terbangun.