Bekerja di sini memang sangat asik tetapi gue masih enggak habis pikir dengan Anisa yang masih memanggil Gita tanpa ada embel-embel 'kak'. Sebelum ke sini gue memang harus bawa koyo yang banyak biar enggak pusing begini.
"Kenapa Kak? Bingung ya kenapa aku enggak panggil Gita dengan 'Kak'?" tanya Anisa tersenyum miring.
Gue pun mengangguk. "iya betul sekali, tadi saya lihat kamu dimarahi karena enggak menghormati saya dan sekarang kamu pun enggak menghormati Gita loh?"
"Itu karena permintaan dari kak Gitanya sendiri, Kak. Dia bilang jangan panggil 'Kak' karena bisa terlihat tua. Dan aku pun tahu kamu umurnya lebih tua dari aku."
Gue terpelonjak kaget. "terus kenapa masih panggil begitu? Tapi maaf saya pun kasihan kalau ada orang yang dimarahi karena aku meski bukan perbuatanku sendiri."
"Enggak masalah, Kak. Tadi gue mengira mamah enggak akan marah eh ternyata gue salah besar. Enggak masalah kan kalau gue panggilnya begini sama Kakak?"
"Iya enggak apa-apa kok Nis, saya pun paham kok."
"Abang aku tuh kalau sama perempuan emang begitu, Kak. Jangan baper dulu ya Kak? Aku takutnya Kakak begitu." jelas Anisa.
"Iya emang terlihat kok, Nis. Saya pun enggak akan mudah termakan rayuan abang kamu." jawabku melirik Adi yang masih menyatap makan siangnya.
Ada gitu ya ghibahin orang di samping orangnya langsung, gue mau jawab pun jadi sungkan takut dia tersinggung. Walau gue tahu laki-laki jarang sekali tersinggung.
"Kamu nih ada orangnya juga pakai dighibahin segala?" tegur Adi sudah tak nyaman di sini.
"Salah sendiri Kakak suka gombalin banyak perempuan, aku kan enggak mau Kak Lay jadi korban yang selanjutnya." sanggah Anisa.
"Abang mau pergi saja deh, di sini dighibahin terus kok." Adi pergi dengan perasaan dongkol.
Gue pun kalau diposisinya kesal juga karena enggak lihat situasi. Bukan mau membenarkan orang ghibah, setidaknya kalau mau ghibah tidak ada orangnya langsung. Mudah-mudahan saja Adi enggak marah juga sama gue.
"Sepertinya jawaban saya keterlaluan ya, Nis?" gue terus menatap Adi yang sudah melangkah semakin jauh.
"Sudah enggak perlu dipikirkan, Kak. Abang Adi memang suka begitu kok."
Beban baru mulai menyerang pikiranku. Gimana kalau, Adi, memang tersinggung dengan ucapanku barusan. Sepertinya gue harus kalah taruhan sama si dosen botak yang menyebalkan.
***
Dua hari yang lalu ...
Duduk santai di sore hari sambil ditemani secangkir kopi yang sangat hangat mampu membuat gue sedikit tenang. Mau bantuin bunda pasti enggak dibolehin karena gue enggak terlalu pintar masak, bisa masak hanya yang simple saja kalau sampai disuruh menggoreng ikan atau ayam gue langsung angkat tangan.
"Ngapain sih melamun begitu? Enggak ada kerjaan ya?" ledeknya. Di sini memang ada batu kecil lumayan buat nimpuk dia tetapi sayang sama batunya jadi berkurang diberikan secara cuma-cuma, apalagi orangnya dia.
"Gue tuh bukannya enggak ada kerjaan ya Pak, tapi gue lagi santai karena semua pekerjaan sudah gue selesaikan dengan baik." skakmat. Gue jawab penuh dengan kesombongan.
"Termasuk juga tugas dari saya sudah kamu kerjakan?" tanyanya telak.
Ngapain sih di rumah masih bahas tugas segala. Iya gue tahu otak kecil ini kadang enggak bisa diajak berpikir keras tetapi jangan begitu dong, kalau begini kan gue enggak bisa menunjukkan kesombongan ini.
"S-sudah dong, Pak." jawabku ragu.
"Bagus, bagus." dia mengangguk seperti patung kucing yang dipajang sama orang-orang.
Gue tersenyum sinis.
"Ngapain tuh pakai senyum segala? Enggak suka saya ada di sini temani si jomblo yang sampai sekarang enggak punya pacar?"
"Bapak bisa enggak sih enggak memancing emosi gue sehari saja?" tanyaku kesal.
"Bisa kok. Iya sudah terserah kamulah, anak manja seperti kamu ini memang susah diatur." dia memilih duduk di samping gue.
Widih! Ada foto perempuan diponsel dia. ini Satu kesempatan yang sangat bagus buat menyindir bapak dosen yang menyebalkan. Salah siapa dia memancing emosi seorang Lay.
"Gue lebih baik jomblo daripada punya pacar tapi diphpin terus." sindirku.
Dia menolehku sinis. "heh ngapain ngintip ponsel saya? Itu enggak sopan tahu!"
"Salah, Bapak, sendiri dong duduknya disebelah saya." ledekku balik.
"Ini bangku umum loh, terserah saya mau duduk di mana. Lagipula hak saya dong mau punya pacar dianggurin atau enggak." mulutnya lemes bener dah. Dia enggak tahu saja jika didengar sama salah satu pacarnya akan dapat ceramah gratis.
Lama-lama kesal juga debat enggak pasti begini. Apa sebaiknya gue jujur saja tentang isi hatiku saat ini. Bahwa gue sedikit pesimis karena mau bekerja secara nyata.
"Pak, kerja enak enggak sih?" tanyaku polos.
"Tentu enak dong, Lay. Kamu tuh ada-ada saja, enggak ada ya orang yang enggak suka sama uang." dia mulai mematikan layar ponselnya lalu fokus sama curhat dadakan dari gue.
"Maksudnya gimana?" gue menggaruk kepala sebab enggak paham dengan ucapan dia.
"Iya maksud saya orang bekerja itu kan cari uang kan?" tanya dia.
Gue mengangguk.
"Nah kalau kerja untuk menghasilkan uang, mana ada orang yang enggak suka sama uang?"
"Bukan begitu maksud gue, Kak. Emang kita kerja dapat uang tapi kalau kerjaannya bikin kita enggak nyaman gimana, Kak?" gue langsung mengubah panggilan. Kalau sudah serius begini gue akan menghormati siapapun yang jadi lawan bicara gue.
"Ouh jadi kamu ragu kerja jika sudah lulus kuliah nanti?" dia langsung paham pikiranku.
"Bukannya ragu, Kak. Gue cuma takut saja jika hasil kerja keras gue enggak bisa membuat atasan gue puas gitu, Kak." gue menunduk sambil menganyunkan kedua kaki.
Gimana lu bisa puas dengan hasil kerja kalau lu sendiri enggak yakin?" dia kembali membuka ponselnya. "kamu tahu kenapa saya membeli ponsel ini, padahal saya bisa beli ponsel yang lain?"
Gue menggeleng.
Mana gue tahu alasan dia belinya kenapa tetapi untuk kali ini saja gue enggak akan mencibir perkataan dia, sebab gue memang butuh seseorang yang bisa hati gue sedikit tenang.
"Sebab saya yakin dengan membeli ponsel ini semua pekerjaan bisa terselesaikan dengan baik terutama untuk menyimpan data setelah selesai dari seminar." jelasnya.
"Gue masih enggak paham, Kak."
Dia menghela napas panjang. "kesimpulannya kamu bisa kerja di mana saja asal hati kamu sudah yakin memilih kerja di sana, soal hasil kerja yang baik itu urusan belakangan."
"Oke, gue sekarang paham, Kak."
"Iya sudah begini saja, kita buat perjanjian atau semacam taruhan begitu? Saya tahu betul kamu orangnya suka sekali dengan tantangan, gimana?"
"Taruhan yang seperti apa, Kak? Kita kan tahu kalau taruhan itu dosa, Kak."
Sebagai sesama umat muslim memang harus saling mengingatkan. Gue pun juga enggak mau menumpuk banyak dosa ditambah dengan taruhan yang enggak jelas ini.
"Bukan taruhan beneran, Lay. Tapi saya akan tantang kamu jika kamu sudah diterima kerja di manapun juga saya akan traktir kamu."
Waw! Betapa mengiurkan tantangan dari dia, gue bisa dengan mudah minta barang mahal sama dia. Minimal beli lima novel kesayangan gue sih.
"Eh serius nih, Kak? Cuma kerja saja kan?" kedua mataku berbinar.
Dia cemberut. "enggak cuma diterima kerja saja, Lay. Tapi kamu harus bisa kerja di manapun juga selama satu bulan. Dan saya akan traktir kamu apa saja termasuk novel. Gimana?" tawarnya.
"Lama banget sih Kak harus satu bulan, apa enggak bisa setengah bulan gitu, Kak?" gue mencoba menegosiasi, lumayan cuy dapat novel gratis.
"Enggak bisa dong, Lay. Kalau setengah bulan rugi di saya dong? Gajian saya kan di awal bulan, Lay."
"Kan cuma tinggal nunggu setengah bulan saja, Kak. Boleh ya kalau saya kerjanya cuma setengah bulan saja?" rayuku sambil mengedipkan mata genit.
"Enggak, Lay. Kalau kamu bisa satu bulan saya akan berikan hadiah tak terduga juga loh. Masa iya kamu takut sama taruhan saya?" pancingnya membuat semangatku kembali membara.
Gue membuang napas. "baiklah kalau itu maunya, Kakak. Gue akan bertahan selama satu bulan." titahku.s