Satu novel gratis harus gue lepas begitu saja, mungkin setelah gue selesai bekerja, Adi, akan melaporkan sama tante Adel bahwa gue telah menyinggung perasaannya. Nasib kerja sama orang ya memang begini harus siap dipecat kapan saja.
"Mau pulang bareng, Lay?" tawar Adi sudah mengganti pakian satpam dengan kaos oblong.
"Eh ada Bang Adi, enggak usah deh. Saya takut merepotkan." tolakku halus.
Gue belum siap jika dijalan Adi memecat gue biar gimanapun juga dia mempunyai hak untuk memecat karyawan tante Adel, termasuk gue yang baru saja membuat salah sama dia.
"Sudah diterima saja enggak apa-apa kok, Kak Lay. Jarang-jarang loh Bang Adi menawarkan tumpangan gratis sama karyawan mamah." sambung Anisa.
"Bukannya mau nolak, Nis, tapi saya kan bawa motor masa iya bonceng Bang Adi?"
Huft! Gue baru ingat kalau ke sini naik motor sendiri, lumayan gue jadi ada alasan untuk menolak ajakan Adi. Pasti akward banget kalau gue diboncengin sama dia.
"Kita kan bisa naiknya beriringan, kamu naik motor duluan nanti saya di belakang mengawasi kamu, gimana?" tawar Adi masih belum mau menyerah.
Patut gue acungi jempol sih usaha Adi buat nganterin gue tetapi apa ya tujuan dia nganterin gue begini? Jadi takut sama tawaran dia.
"Boleh tuh Kak Lay, sudah terima saja, Kak." desak Anisa.
Dua lawan satu, kalau begini gue mana bisa menang melawan mereka. Adi pun kelihatan gigih banget meminta gue mau menerima tawarannya.
Gue menghela napas. "baiklah kalau itu maunya, Bang Adi. Saya mau kok pulang bareng sama Abang."
Adi mengenggam tangannya. "alhamdulillah, iya sudah kamu tunggu sebentar ya? Saya mau ambil motornya dulu."
Anisa kelihatan bingung dengan Adi yang mengadahkan tangan ke atas. Gue pun juga sama bingungnnya, kenapa juga Adi pakai dekatin Anisa kalau tadi nawarin gue pulang bareng.
"Maksudnya apa nih, Bang?" tanya Anisa enggak paham.
"Mana kunci motor Abang, kan tadi siang kuncinya langsung Abang titipkan sama kamu." jawab Adi menghilangkan kebingungan Anisa.
"Bilang dong, Bang. Aku kan lupa kalau kunci motornya masih di aku." Anisa membuka tas kecilnya lalu dapat kunci motornya Adi. "tadi aku ngira Abang mau minta uang jajan." candanya.
"Eh apa enggak kebalik tuh Dik? Siapa yang setiap hari merengek minta dibelikan cilok?"
Haduh! Kenapa harus pakai acara berantem segala sih? Gue kan harus buru-buru buat masuk kuliah sore. Takut kalau misalkan gue enggak bisa masuk tepat waktu.
"Permisi semuanya, apa kita bisa langsung ke intinya saja? Soalnya saya setelah ini harus kuliah." tanyaku sambil meminta mereka berhenti berdebat.
"Eh, maafin kami, Kak Lay." Anisa mengkode Adi. "buruan, Bang!"
Adi lari secepat kilat mengambil motornya. Gue pun terus mengamati jam takut jika terlambat sampai kampus.
"Kamu mau ke kampus atau mampir ke rumah dulu?" tanya Adi.
"Saya mau langsung ke kampus, Bang. Apa, Abang, enggak kejauhan nganterin saya ke kampus?" tanyaku sedikit khawatir jika Adi keberatan.
"Tentu enggak dong, Kak Lay. Buat pedekate, Abang, enggak keberatan sama sekali." goda Anisa lalu Adi berdeham.
"Iya sudah kita berangkat sekarang saja yuk, Lay. Gue takut lo terlambat sampai sana." ajak Adi.
Gue mengangguk. "baik, Bang." tak lupa gue menoleh Anisa yang masih berdiri di depan pintu butik. "saya pulang dulu ya, Nis. Asalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Kak Lay." Anisa tersenyum puas.
***
Selama di jalan enggak ada satupun yang membuka suara baik gue ataupun Adi. Susah juga sih mengobrol dengan posisi membawa motor masing-masing, berbeda dengan satu motor mungkin bisa sambil mengobrol sedikit.
"Terima kasih ya Bang Adi sudah nganterin saya." Ucapku tulus.
"Iya sama-sama, Lay. Lain kali boleh apa enggak saya anterin kamu dengan motor saya?" izin Adi.
Gue kira Adi akan terus pulang setelah mengantarkan sampai gerbang kampus. Eh ternyata Adi masih betah dan belum mau kembali ke butik.
"Boleh sih, Bang tapi harus ramai-ramai." jawabku malu-malu.
"Maksudnya gimana, Lay?" tanya Adi.
"Saya mau saja sih sama Abang tapi kita enggak boleh cuma berdua saja karena bukan mahromnya, Bang." jawabku langsung menunduk.
"Ouh oke, gue paham maksud lo apa. Iya sudah gue pulang dulu ya, kalau lo rindu bisa hubungi gue kok." candanya membuatku tersipu malu.
Syukurlah enggak ada yang lihat gue dianterin sama Adi, kalau ada gue bisa mati kutu dan bingung harus jawab apaan. Terutama jika yang lihat itu, Gita, gue bisa jadi bulan-bulannya. Ketahuan jalan sama sepupunya sendiri.
"Cie, cie yang dianterin sama bang Adi." seseorang berusaha menyamai langkah kakiku.
Baru juga gue batin nih orang sudah muncul saja, mana gue belum menyiapkan jawaban dari pertanyaan dia. Mau gue mengelak seperti apa pasti dia enggak akan percaya.
"Tadi bang Adi cuma mau beli sesuatu kok, Git, makanya anterin gue sampai kampus." elakku. Jangan sampai Gita tahu jika gue mencoba berbohong.
"Lo tuh enggak cocok bohong, Lay. Gue tahu sekarang yang lo katakan bukan yang sebenarnya." goda Gita lalu menoel pipiku.
"Terserah lo saja deh. Gue mau ke kelas saja." gue lari sekencang mungkin karena menghindar dari pertanyaan Gita.
Kelas masih sangat sepi, sepertinya gue sebelum ke kampus harus mandi dibutiknya tante Adel dulu biar tubuh gue harum kalau seperti ini kan bau badan gue ke mana-mana. Syukurlah gue masih nyimpan parfum yang kebetulan ada di dalam tas kecil gue.
"Lari lo cepat banget dah. G-gue sampai kewalahan mengejar lo." Gita mengatur napasnya.
"Salah siapa lo ikutan lari? Gue kan juga perlu ganti baju makanya lari dulu." sanggahku lagi.
"Emang tadi lo enggak balik ke rumah dulu?" tanya Gita mengambil kursi yang masih tercecer di mana-mana.
Kebiasaan mahasiswa kalau sudah selesai jam mata kuliah, enggak merapikan kursi-kursinya. Memang sih ada OB yang membersihkan tetapi kalau kelasnya langsung dipakai begini mana sempat OB menata kursi seperti semula.
"Enggak Git, gue langsung ke kampus karena takut terlambat, masa iya gue harus enggak displin begini?" gue sangat menghindari keterlambatan di kelas.
"Iya juga sih." Gita membenarkan. "tapi lain kali lo harus bawa baju ganti biar sebelum kelas dimulai lo bisa mampir mandi ke masjid dulu." sarannya.
"Iya deh gue akan praktikkin saran lo, makasih ya?" Ucapku tulus.
"Kembali kasih sahabatku. Ouh iya tadi lo kok bisa dianter sama bang Adi sih? Ceritain sama gue dong, Lay?" Gita menompang dagu siap mendengarkan ceritaku.
"Klasik saja sih, Git. Gue tadi sudah mau balik ke kampus eh tiba-tiba saja bang Adi menawarkan boncengan. Padahal nih gue serius sudah menolak tawarannya loh, Git?" jelasku jujur. Gue juga enggak mau jika Gita salah paham lalu cerita sama abangnya yang memang mantan terindahku.
"Sudah enggak perlu lo jelasin sedetail itu, gue enggak akan marah kok." Gita lalu mengeluarkan modul buku untuk mata kuliah hari ini.
"G-gue kan cuma takut lo ngadu sama dia." Ucapku lirih.
"Tunggu sebentar! Ini maksudnya lo masih mengharapkan cinta dari abang gue setelah apa yang dia perlakukan sama lo?" Gita tampak terkejut.
Katakanlah gue perempuan yang sedikit gila karena masih mengharapkan cinta dari mantan yang sudah berhasil membuatku sakit hati. Dan sepertinya Gita enggak suka gue masih mengharapkan abangnya. Entah apa alasannya, gue enggak tahu.