Chereads / Senja Kian Memudar / Chapter 10 - Episode 10

Chapter 10 - Episode 10

Enggak bisa membayangkan wajah Gita yang biasanya polos, sekarang harus berubah jadi garang karena enggak suka gue balikan sama abangnya. Mau gimana lagi namanya juga cinta enggak bisa dipaksa untuk melupakan, padahal gue pun sudah berusaha semaksimal mungkin melupakan dia tetapi enggak bisa.

Bayangan tentang dia dan semua perlakuan manis dia masih jelas terukir dalam pikiranku ini. Dan, gue pun heran kenapa susah sekali membuatnya pergi dari pikiranku.

"Lo enggak suka ya kalau gue masih cinta sama abang lo?" tanyaku takut.

"Bukannya gue enggak suka, Lay. Hanya saja gue enggak mau lo kembali disakiti sama abang gue. Paham kan maksud gue tuh apa?" jelas Gita sedikit frustasi gue belum bisa move on dari abangnya.

Gue mengangguk. "gue paham betul, Git. Tapi gimana lagi cinta ini emang masih ada buat abang lo."

Andai saja gue bisa meminta hati untuk mengganti dia dengan seseorang yang baru, sudah pasti gue lakukan. Namun semuanya seperti sia-sia saja, gue masih saja mengingatnya dalam perasaanku ini.

"Kenapa sih lo enggak nyoba dekat sama bang Adi?" Gita mengenggam tanganku dengan kedua mata sendunya.

"Apa gue enggak kelihatan jadi perempuan yang jahat, Git? Gue kan masih di bawah bayang-bayang abang lu?"

"Kita enggak ada yang tahu kalau lo belum mencobanya. Gimana lo mau kan nyoba sama bang Adi? Lagipula dia juga enggak kalah kerennya sama abang gue kok." pinta Gita.

"Semua orang juga pasti baik saat kita kenal pertama kali, Git." elakku.

Enggak ada orang yang baru kita kenal langsung menunjukkan sikap aslinya. Mohon maaf penipu saja pada saat di awal bicara yang manis, enggak langsung menunjukkan sikap aslinya agar bisa merayu korbannya.

"Iya gue tahu, Lay. Tapi bang Adi ini beneran berbeda, dia akan setia setengah mati sama pasangannya. Kalau belum jadi pasangannya ya sama seperti kita masih mencari orang yang tepat." jelas Gita mengkontrol napasnya. "lagipula baru kali ini gue lihat dia mau nganterin perempuan loh, Lay."

Kedua alisku bertaut. "memang sebelumnya bang Adi enggak pernah ngaterin pacar atau gebetannya gitu?"

"Pernah sih tapi itupun karena mereka yang memaksa, Lay. Bukan karena kemauan bang Adi sendiri." Gita mencoba mengingatnya.

"Berarti gue termasuk perempuan yang spesial dong, Git?" tanyaku sambil cekikikan.

"Betul sekali, Lay. Gue jadi enggak sabar ghibahin lo sama Anisa." Gita tersenyum manis.

Sepertinya ini moment yang sangat tepat untuk gue membahas soal Anisa dan Adi. Bukan karena mereka adalah anak dari tante Adel tetapi ada sedikit ganjalan dalam hati.

"Lo kok enggak cerita kalau anak-anaknya tante Adel kerja di sana juga sih?" tanyaku menutut penjelasan Gita.

Gita nyengir. "kalau soal itu gue minta maaf ya, Lay. Sebab, tante Adel sendiri yang minta gue buat rahasiakan ini semua dari lo. Katanya sih buat tes karyawan baru termasuk lo."

Gue mengangguk. "gue masih bingung deh, Git. Kalau, Anisa, masih duduk di kelas tiga SMA kenapa dia bisa bantuin tante Adel di butik?" tanyaku yang dari tadi sangat gatal untuk gue tanyakan. Namun selalu gue pendam karena takut tanya sama Adi atau Anisa nya langsung.

"Ceritanya panjang sih, Lay. Gue takut salah bicara." jawab Gita hati-hati.

Gue mengedipkan mata. "ayolah, Git, cerita sama gue. Janji deh gue enggak akan cerita sama siapa-siapa kok."

"Beneran nih lo enggak cerita sama siapa-siapa termasuk teman-teman lo dibutik?"

"Beneran Git. Masa iya sih lo enggak percaya sama gue, katanya lo minta gue buat buka hati untuk orang lain. Ini kan juga bisa jadi salah satu cara gue tahu tentang bang Adi melalui orang sekitarnya dulu."

"Anisa dulunya adalah remaja yang sangat ceria sampai suatu saat ada temannya yang pura-pura bersikap baik di depan eh di belakang sikapnya buruk sekali, Lay."

"Sikap buruk yang gimana, Git?"

"Temannya itu tega memfitnah Anisa dengan tuduhan mau merebut salah satu kakak kelas yang menjadi idola satu kelas."

Anak remaja sekarang pikirannya cuma percintaan, ada sih mikirkan pelajaran tetapi hanya berapa persen saja. Berbeda banget dengan zaman gue yang harus fokus belajar, kalau sampai ketahuan nilai gue jelek langsung kena hukuman enggak dapat uang jajan selama seminggu.

"Kalau cuma difitnah begini Anisa kan bisa melawan jika kenyataannya enggak benar, Git?" tanyaku heran.

"Enggak semudah itu, Lay. Posisinya, kakak kelasnya, Anisa, memang suka sama Anisa. Dan temannya itu enggak suka. Dan, akhirnya Anisa dibully satu kelas karena sudah dicap sebagai perempuan yang gatal."

"Kasihan banget sih, Git. Anak zaman sekarang emang enggak mikir pakai logika ya Git." gue mengelus dada prihatin melihat Anisa harus menanggung bully diusia yang masih sangat belia.

"Nah makanya tante Adel memutuskan Anisa enggak masuk di sekolah formal, dan memilih homescholling saja, Lay." gue mengangguk paham.

"Terus nasib kakak kelas itu gimana, Git? Dia enggak berani nyatakan perasaan sama Anisa atau mungkin minta maaf sudah buat Anisa menjadi sangat tertekan?"

Gita mengendikkan bahu. "entahlah, Lay. Semenjak Anisa lulus SMP sudah memutuskan semua kontak dengan kakak kelasnya itu. Mungkin, Anisa, juga kecewa karena kakak kelasnya enggak berusaha minta maaf."

Kejam banget sih kakak kelasnya Anisa, kalau gue yang jadi Anisa sudah dipastikan laki-laki itu minta maaf karena enggak ada rasa bersalahanya sama sekali. Namun, gue pun sedikit menyayangkan keputusan tante Adel meminta Anisa untuk homescholling.

Takutnya, Anisa, jadi berpikir semua laki-laki itu sama saja. Buktinya, Anisa, selalu takut kalau Adi mendekatiku terus-menerus. Bicara tentang, Adi, gue jadi penasaran dengan masa lalunya. Seperti apa sih kehidupannya dulu dengan sang mantan?

"Terus kalau bang Adi gimana, Git?" tanyaku mengganti topik pembicaraan. Dosen pun belum datang, teman-teman juga malas datang terlalu pagi.

"Kenapa lo tanya masa lalunya bang Adi?" tanya Gita curiga.

"Tadi kan lo sendiri yang bilang kalau gue harus buka hati. Gimana sih, Bu?"

Kelamaan di sini gue bisa geregetan sama Gita karena enggak bisa nyambung diajak bicara. Gue jadi curiga, Gita, enggak fokus begini pasti ada yang terjadi dengannya. Harus segera dicari tahu apa yang menjadi masalah untuk Gita.

"Iya juga sih, Lay." Ucap Gita ragu.

"Iya sudah makanya lo kasih tahu gue tentang masa lalunya bang Adi seperti apa?"

Sepertinya, Gita, berpikir lalu menatap gue lekat. Sebisa mungkin gue menyakinkan, Gita, selain itu gue juga memang ada niatan untuk bisa move on. Barangkali dengan hadirnya Adi dalam hidupku bisa memberikan warna yang baru.

"Dulu banget waktu bang Adi baru menikmati indahnya cinta dengan mantan pertamanya dia sangat bucin banget, Lay. Sampai ada satu kejadian yang membuat dia enggak bisa memaafkan pacarnya lalu memilih untuk menyudahi hubungan mereka." jelas Gita.

Oke, sekarang gue paham. Ada sedikit kesamaan antara gue dan Adi. Kami sama-sama disakiti oleh masa lalu dan kebetulan yang nyakitin adalah mantan pertama yang identik dengan mantan terindah. Memang benar, gue pun enggak bisa menampik akan hal itu.

"Kejadian apa itu, Git? Mantannya selingkuh?" tanyaku kasihan sama Adi yang pura-pura kuat tetapi menyimpan banyak luka.

"Bukan hanya sekadar selingkuh, Lay. Tapi mantanya bang Adi ternyata simpanan om-om hidung belang." jawab Gita lirih.

Gue speechless banget dengar penjelasan Gita. Mantannya tidak sekadar selingkah ternyata lebih dari ini. Pantas saja sikap Adi selalu memandang rendah seorang perempuan, mungkin kalau enggak ada Anisa dan tante Adel, Adi, akan semakin gencar godain perempuan.

"Miris banget ya Git?" gue bergedik ngeri.

"Iya begitulah masa lalu setiap orang, Lay. Dan gue harap lo bisa melupakan abang gue." Gita menatapku sendu.

"Apa dia sudah melupakan gue, Git?"

"Entahlah, Lay, yang jelas gue enggak mau sampai lo terlalu kecewa sama abang gue. Lo itu perempuan yang lumayan sempurna, gue rasa abang gue enggak pantas buat dapatkan hati lo."

"Kenapa lo bisa bicara begitu? Harusnya lo dukung abang lo untuk dapatkan pasangan yang baik dong?" desakku.