Sepi. Tak ada yang membuka suara baik gue ataupun Andra, seharusnya yang mulai bicara duluan sih dia sebab dia yang ngajakin buat bicara berdua. Hati kecil gue yang paling dalam bisa merasakan dia tengah menyusun pembicaraan agar gue bisa memahami apa maksud ucapan dia.
"Kakak kok enggak bicara juga sih? Katanya ada yang mau dibicarakan sama gue?" tanyaku sudah kesal melihat keterdiaman ini.
"Sebenarnya saya tuh benar-benar bingung banget, Lay." Andra memainkan botol minuman.
"Bingung kenapa sih, Kak? Apa ini ada hubungannya dengan keluhan tante Lusi?" gue berulang kali menatap layar ponsel barangkali ada pemberitahuan dari grup chat.
"Tepat sekali, Lay." Andra tiba-tiba saja mengenggam tangan gue lalu gue tepis.
"E-eh kenapa nih, Kak? Kenapa, Kakak, jadi genggam tangan gue?" mulut gue kenapa ikutan grogi juga sih.
Gue harus bisa mengendalikan diri biar Andra juga enggak salah paham dengan sikap gue yang kaget disaat hampir saja bersentuhan dengan dia. Mungkin saja dia kecewa tetapi harusnya dia paham karena sekarang gue enggak bisa lagi disentuh oleh laki-laki yang bukan mahrom gue.
"Maaf, Lay." Andra tertunduk lalu bingung. "bukan maksud saya bersikap kurang ajar sama kamu tapi saya benar-benar pusing harus mengenalkan siapa sama mamah."
Sebuah ide terlintas dalam pikiran. Memang sih bukan jalan keluar yang bagus, ya minimal bisa membuat Andra sedikit bisa bernapas lega agar tidak dicecar lagi oleh tante Rika.
"Gimana kalau, Kakak, ajak Gita ke rumah? Tante Rika kan juga sudah lumayan kenal, Gita, Kak." usulku sepertinya akan berguna juga buat Andra.
"Jangan deh, Lay. Saya tuh suka sungkan kalau bertemu Gita." Ucap Andra jujur.
Ini waktu yang sangat pas buat mengkulik sikap Andra yang selalu berbeda setiap kali ada Gita. Awalnya gue mengira dia sungkan karena mungkin Gita main di rumah bunda tetapi lama kelamaan gue bisa merasakan dia juga sungkan sama Gita saat di kampus.
Padahal gue tahu banget, Gita, pedekatenya sama siapa. Dan, Andra, bukan termasuk mantan calon gebetannya Gita. Lalu kenapa sikap dia sampai seperti itu ya?
"Gue juga sekalian mau tanya sama Kakak. Kenapa sih setiap kali ada, Gita, sikap Kakak berbeda gitu?" tanyaku to the point.
"Berbeda gimana sih, Lay? Sikap saya biasa saja kok, mungkin kamu kali yang berpikir jelek tentang saya." elak Andra.
"Enggak mungkin, Kak. Gue tuh hapal banget sorot mata lo ke orang yang satu dan yang lainnya. Kenapa sama lo?"
"Beneran enggak ada apa-apa ya Lay. Saya enggak ada apa-apa sama Gita hanya saja ..." Andra sengaja enggak mau meneruskan. Dia sengaja membuat gue semakin penasaran. Kalaupun dia enggak mau kasih tahu, gue juga bisa cari tahu sendiri.
"Idih bohong banget deh Kak Andra." tepisku enggak percaya. "kalau, Kakak, enggak mau jujur, gue akan cari tahu sendiri!" ancamku.
"Iya terserah kamu saja sih. Tapi yang benar saya dan Gita emang enggak ada apa-apa. Percaya saja sama saya itu hanya perasaan kamu yang takut kehilangan perhatian dari saya kan?" desak Andra berhasil membuat gue enggak bisa berkutik.
Masa iya sih gue begini karena takut kehilangan perhatian dari Angga? Memang sih gue juga enggak bisa menampik bahwa ada sedikit ketakutan tetapi kalau calon istrinya Andra adalah Gita, gue enggak keberatan sama sekali. Justru gue akan jadi orang yang pertama kali setuju dengan hubungan mereka.
Balik lagi sih, ini kan bukan sinetron tetapi kehidupan nyata yang gue enggak tahu alurnya akan seperti apa. Gue hanya bisa pasrah menerima takdirNya, dan tentunya gue juga berusaha agar bisa merubah takdir menjadi lebih baik lagi.
"Berarti enggak masalah juga dong kalau dia akan jadi istri buat Kakak?" kedua mataku berbinar seperti ada harapan buat Andra mempunyai calon istri yang baik.
"Enggak mau, Lay. Sekali saya bilang enggak itu artinya memang enggak." kekeuh Andra.
"Emang apa salahnya sih jadiin, Gita, calon istrinya Kakak? Apa karena, Gita, orang yang polos makanya, Kakak, enggak suka?" tanyaku tak suka.
Sudah tidak menjadi rahasia lagi jika laki-laki menginginkan perempuan yang cantik. Namun mereka lupa kalau cantik enggak bisa didapat walau hanya dengan pujian saja. Perlu adanya uang untuk merubah mereka menjadi perempuan yang cantik dan sedap dipandang.
"Gita itu anaknya enak diajak bicara tapi saya yang sungkan, Lay." Ucap Andra membuat gue semakin bingung dengan bantahannya.
"Justru kalau, Kakak, sudah menemukan perempuan yang enak diajak bicara, bukankah punya nilai tersendiri? Lagipula wajah Kakak juga enggak jelek-jelek banget kok." gue menilai Andra dari kaki sampai kepala.
Andra melempari gue kacang tanah yang entah dia dapat dari mana.
"Aduh, sakit tahu, Kak!" keluhku lalu mengusap dahi yang jadi sasaran empuk.
"Kenapa? Mau protes karena saya melempari kamu pakai kacang?" tantang Andra. Nyaliku langsung ciut bukan karena takut dimarahi tetapi gue hanya enggak mau buat tante Rika mendengar perdebatan kami.
"Kakak tuh tahu enggak sih kalau dari tadi cuma mengulur waktu agar gue enggak bahas soal Gita?" tanyaku curiga.
"Enggak kok! Ngapain juga saya mengulur waktu karena apa yang kamu pikirkan sekarang enggak sesuai dengan kenyataan." bantah Andra.
"Terus apa, Kak? Bicara dong biar gue juga enggak salah paham lagi sama lo."
Mana ada sih orang yang diam mampu membuat lawan bicaranya tahu apa yang dia maksud. Begitu juga dengan gue masih bingung sambil menerka apa yang terjadi antara Gita dan Andra.
"Saya enggak mau sama Gita bukan karena ada hubungan, tapi saya tahu abangnya bukan orang sembarangan." jawab Andra sepertinya memang jujur.
"Maksudnya gimana, Kak?" gue masih enggak paham sama penjelasan Andra.
"Kamu kan pernah cerita sama saya kalau abangnya, MANTAN KAMU itu punya minimarket. Dan setelah saya selidiki beliau, orang yang sangat terpandang."
Iya gue tahu kalau kak Lutfi itu mantan gue tetapi jangan sengaja ditekankan begitu dong! Gue kan sedang dalam tahap melupakan kak Lutfi yang selalu ada dipikiran gue.
"Justru bagus Kak? Kakak kan juga orang yang terpandang, ngapain harus takut sama dia?"
"Enggak deh, Lay. Saya lebih baik cari perempuan yang lain saja."
Yach! Sayang banget, Andra, masih kekeuh enggak mau dijodohkan sama Gita. Namun, gue enggak boleh memaksa dia karena yang akan mengarungi bahtera rumah tangga dia sendiri bukan gue.
"Iya sudah terserah Kakak saja. Terus kenapa, Kakak, enggak coba bawa pacar atau gebetan ke rumah? Setidaknya buat menyenangkan hati tante Rika?" saranku yang mungkin saja berguna buat Andra.
"Jangan juga deh, Lay." tolakknya lagi.
Gue bingung banget sama Andra, katanya minta diberi saran setelah diberi ditolak mentah-mentah. Begini kan gue jadi malas mau kasih saran sama dia lagi.
Terserah dia deh mau bawa perempuan siapa pun, yang terpenting bisa membuat tante Rika sedikit bahagia karena anaknya sudah menemukan pilihan yang mantap.
"Terus selama ini Kakak pacaran sama perempuan itu buat apa? Tujuannya bukan mau diajak ke arah hubungan yang serius?" tanyaku kesal.
Andra nyengir. "mereka semua hanya selingan saya saja, Lay. Tahu sendiri gimana saya bisa menaruh hati sepenuhnya pada mereka kalau gaya hidup mereka saja terlalu glamour."
"Namanya juga perempuan sih, Kak. Wajar dong mereka dandan dan minta semuanya." gue sengaja menjeda.
Baru juga gue batin kalau laki-laki itu manusia yang paling ribet karena enggak mau memberikan modal. Mereka hanya bisa berkomentar tanpa tahu cantik butuh banyak biaya.
"Bukankah Kakak mencari perempuan yang cantik? Bohong banget jika, Kakak, mencari perempuan yang apa adanya jika fisik masih jadi salah satu syarat yang menjadi tujuan Kakak." lanjutku.
"Kamu benar tapi maksud saya bukan gitu, Lay. Perempuan memang butuh uang untuk tampil cantik tapi rata-rata perempuan yang saya kenal bukan cuma ingin tampil cantik karena mereka juga menginginkan uang setiap bulannya." jelas Andra perlahan membuat gue berpikir jika dia memang belum bertemu dengan perempuan yang tepat.
"Makanya sekarang perbaiki niat Kakak dong!"
"Caranya gimana, Lay? Apa saya harus memutuskan hubungan dengan mereka semua?" tanya Andra mulai frustasi.
"Gue enggak bisa ikut pilihkan karena yang tahu sikap mereka, Kakak, sendiri. Coba deh sekarang, Kakak, berpikir diantara mereka semua apa enggak ada satupun yang bisa diajak serius?"
Andra tersenyum puas. Wajah begini nih pasti dia sudah menemukan jawaban dari segala kerisauan hatinya.
"Apa sekarang, Kakak, sudah bisa menentukan pilihan yang tepat?" tanyaku.
"Tentu dong, Lay." Andra melirik ponselnya.
"Siapa perempuan yang akan menjadi nyonya Andra, Kak?" gue penasaran dengan perempuan yang harus menerima segala sikap Andra yang begini.