Nihil! Gue sampai sekarang masih belum bisa mengkorek tentang kehidupan kak Lutfi kembali. Lebih tepatnya sih gue diminta Gita untuk cari tahu dari Bang Adi, tetapi gimana caranya gue tanya tanpa menaruh curiga dari Bang Adi?
"Baiklah, Lay, tapi apa lo mau bantuin gue agar bisa dekat dengan Mustika?" tanya Bang Adi malu-malu.
Gue mengangguk. "Insya Allah saya akan bantu, Abang, agar bisa bersama dengan Mustika. Asalkan, Abang, juga yakin jika Mustika ada hati sama, Abang."
"Maksudnya yakin gimana, Lay? Gue masih enggak paham deh." Bang Adi menatapku dalam.
Kebanyakan orang pintar jika diminta berpikir secara logika pasti cepat sekali menemukan jalan keluarnya. Giliran diminta berpikir dari hati mereka sedikit kurang bisa cari jalan keluar sebab takut enggak sesuai yang dibayangkan.
"Abang tuh harus yakin kalau Mustika ada rasa cinta untuk Abang." jelasku sabar. Kali ini saja gue bersikap calm sebab anaknya bos, enggak mungkin juga gue cecar dan marahi begitu saja.
"Oke, gue paham, Lay. Kalau memang lo berhasil jodohin gue sama Mustika, nanti giliran gue yang bakal bantuin lo kembali dengan Lutfi." Ucapnya semangat.
Kenapa Bang Adi tahu kalau gue ini adalah mantannya kak Lutfi? Pasti ini ulahnya, Gita, enggak mungkin kalau yang cerita adalah kak Lutfi sendiri. Gue hapal betul kak Lutfi bukan laki-laki yang ember suka mengumbar soal kehidupan cintanya.
"Maksudnya gimana ya, Bang?" tanyaku pura-pura enggak tahu. Cari aman di sini sepertinya lebih baik, sudah cukup yang tahu masa laluku Viana dan Mustika, yang lainnya jangan sampai ada yang tahu.
Bang Adi berdecak kesal. "enggak usah pura-pura begitu deh, Lay. Gue tahu kok kalau lo kan mantannya Lutfi, sepupu gue yang paling ngeselin. Dia tuh selalu beruntung disukai banyak perempuan loh, Lay."
Entah ini sekadar perasaanku saja atau bukan sepertinya Bang Adi sengaja memancing gue buat cemburu. Memang sih gue masih enggak tahu apa tujuan dia begitu, yang jelas gue harus bisa terlihat sudah move on dari kak Lutfi.
"Ouh begitu." Ucapku datar. "pasti yang cerita itu Gita ya Bang?"
Bang Adi menggeleng. "enggak kok, Lay, Justru, Lutfi, sendiri yang kasih tahu gue, kalau, Gita, cuma bilang lo itu sahabatnya bukan mantan dari abangnya."
"Kenapa bisa serba kebetulan begini ya, Kak?" timpal Anisa.
"Mungkin karena jodoh, Nis." jawab Bang Adi ngawur. Untung saja di sini enggak ada Mustika, jadi enggak salah paham. Tahu sendiri perempuan suka mengambil keputusan sepihak tanpa mau mendengarkan penjelasan dari orang sekitarnya.
"Jangan begitu, Bang! Saya sama kak Lutfi sudah enggak jodoh. Kalau jodoh enggak mungkin jadi mantan ya Bang." peringatiku kesal karena masa laluku kembali diulik.
"Tentu jodoh dong, Lay. Syukurlah gue belum sempat jatuh cinta sama lo terlalu dalam." Bang Adi melirikku lalu pura-pura sibuk dengan ponselnya.
Anisa menimpuk Bang Adi dengan tumpukan gamis yang belum dipacking. Gue melihatnya jadi ketawa sendiri, apa mereka enggak bisa gitu sehari saja enggak berantem.
"Jangan begitu, Bang. Saya ini banyak sekali kurangnya." gue menunduk. "bahkan gue merasa enggak pantas dicintai, Bang."
"Enggak, Kak! Justru, Kak Lay, pantas dicintai, seandainya saja Bang Adi belum cinta sama kak Mustika, aku berniat menjodohkan kalian." celetuk Anisa.
"Iya lo benar. Tapi, Mustika, orangnya kan juga baik, Dik." Bang Adi keberatan ada yang menjelekkan Mustika. Alhamdulillah, sahabat baru gue dicintai oleh orang yang tepat.
"Iya sih, Bang. Untungnya kak Mustika orangnya baik, coba saja yang Abang sukai kak Viana pasti aku akan menolak keras hubungan mereka." Ucap Anisa jengkel banget kalau bicarakan tentang Viana. Padahal dia sendiri yang bahas buka gue atau Bang Adi.
Sampai lupa kalau gue harus menjalankan amanah dari Gita. Dan sepertinya Bang Adi lumayan dekat juga dengan kak Lutfi sampai diceritakan tentang gue. Apa mungkin karena kak Lutfi takut gue diambil oleh Bang Adi ya? Sepertinya haluku terlalu ketinggian.
"Kok ketuk-ketuk kepala gitu sih, Lay? Apa ada masalah?" tanya Bang Adi sangat peka dengan sekelilingnya.
"Eh enggak apa-apa kok, Bang. Bukan masalah yang penting juga." elakku.
Sebenarnya gue masih maju mundur buat tanya tentang kehidupan kak Lutfi, selain karena mau menjalankan misi dari, Gita, gue juga takut jika kenyataannya membuat gue sakit hati lagi.
"Ayo dong jujur sama gue? Biar gue enggak dicecar terus sama Lutfi." desak Bang Adi.
Gue menghembuskan napas. "kenapa sih, Abang, enggak panggil kak Lutfi dengan sebutan 'kakak'. Dia kan lebih tua dari kita?" tanyaku basa basi dulu.
"Simple saja sih, Lay. Lutfi sama seperti Gita enggak ingin dipanggil 'kak' karena takut dibilang tua, nyatanya kan emang dia lebih tua dari gue." Bang Adi menatapku bingung.
"Emang dari dulu sampai sekarang kak Lutfi sedikit aneh, Bang. Makanya gue susah buat melupakan dia." gue membenarkan. Sekarang gue enggak malu lagi mengakui masih ada rasa untuk kak Lutfi.
"Kenapa kalian berdua enggak balikan saja sih? Lo sendiri kan yang bilang kalau gue harus berani mengungkapkan perasaan ini sama Mustika?" Bang Adi memberi ide yang lumayan membuat gue dilema.
Menasihati orang memang sangat mudah sekali, giliran yang diberi nasihat itu dinasihati balik rasanya susah sekali buat melakukannya. Gue pun begitu seandainya saja kak Lutfi kembali datang dalam hidup gue, mungkin bisa dibicarakan dari hati ke hati.
"Enggak boleh dong, Kak." sela Anisa sangat tak setuju.
"Kenapa kok enggak boleh? Mereka bukannya sama-sama masih ada rasa? Lalu salahnya di mana, Dik?" tanya Bang Adi enggak paham jalan pikiran Anisa.
"Iya masa sih perempuan dulu yang mulai, Bang? Makanya aku enggak setuju, harusnya kak Lutfi dong gentle memulai kembali hubungannya dengan Kak Lay." jelas Anisa lalu merangkulku memberiku kekuatan.
Anisa memang masih anak SMA tetapi pemikirannya sangat luas, enggak heran butik tante Adel juga enggak akan bisa sebesar sekarang tanpa dibantu oleh kedua anaknya. Kemarin gue juga tahu Anisa memberikan masukan model gamis dibuat agak sedikit modern, katanya harus mengikuti trend.
Alhamdulillah, tante Adel, bukan orang tua yang kolot tanpa memikirkan masukan dari orang lain, terlebih yang mengusulkan adalah anaknya sendiri. Jujur gue salut banget sama keluaraga ini, mendukung satu sama lain.
"Anisa emang benar, Bang. Saya enggak akan pernah mau mulai kalau bukan kak Lutfi sendiri yang mengajaknya." Ucapku tegas.
"Iya juga sih, Dik, Lay. Tapi masalahnya Lutfi sedikit kaku banget, katanya dia ..." sepertinya Bang Adi sedang keceplosan, makanya enggak jadi melanjutkan ucapan yang terjeda.
"Katanya apa sih, Bang?" tanya Anisa kesal.
"Rahasia dong, Dik. Abang kan sudah janji sama Lutfi enggak akan kasih tahu sama siapapun termasuk kamu dan Lay." jelas Bang Adi enggak bisa digoyah sedikit pendiriannya.
Ini saatnya gue masuk karena momentnya juga tepat, sedang membahas soal kak Lutfi. Enggak apalah gue harus menahan sakit hati lagi. Dengan begini gue tahu kalau kak Lutfi sudah enggak ada rasa lagi sama gue. Menjalin hubungan kembali harusnya enggak gue harapkan terlalu dalam.
"Kalau boleh tahu apa kak Lutfi sedang ada masalah, Bang?" tanyaku mengabaikan tatapan Anisa yang enggak terima gue diperlakukan seperti ini.
"Setahu gue sih, Lutfi, sedang enggak ada masalah sama sekali kok, Lay." Bang Adi terlihat bingung harus berada dipihak gue atau kak Lutfi.
"Tapi kenapa, Gita, merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh kak Lutfi, Bang?" tanyaku terus mendesaknya.
"Haduh! Gimana gue jelasinnya ya, Lay?"
"Sudah deh, Abang, harus jujur sama kami biar Kak Lay bisa menemukan laki-laki yang tepat. Enggak terus berharap sama kak Lutfi." Anisa kembali bersuara.
"Iya Abang tahu, Dik. Tapi masalahnya enggak sesimple itu sebab ...." Bang Adi kembali menjedanya.
Gue semakin yakin ada yang disembunyikan oleh Bang Adi dan kak Lutfi. Harus segera dicari tahu agar gue enggak penasaran. Kalau kesabaran gue sudah habis, bisa kok gue cari tahu sendiri tanpa dibantu orang lain.