Chereads / Senja Kian Memudar / Chapter 20 - Episode 20

Chapter 20 - Episode 20

Satu manusia di depan gue ini memang terlihat sedikit petakilan tetapi punya hati selembut sutra. Gue sangat bersyukur bisa dapat pekerjaan yang lumayan riang, dan bos yang baik banget sama semua karyawannya, termasuk gue.

"Hayo, ngapain tuh senyum-senyum sendiri?" tanya Bunda malam ini memilih tidur sama gue sebab ayah ada tugas dadakan dari kantor.

"Eh, Bunda, kok belum tidur sih?" gue menoleh ke samping.

"Gimana, Bunda, bisa tidur kalau dari tadi ada suara ketikan yang sedikit menganggu tidurnya Bunda." Bunda mengelus rambut panjangku. "Enggak menyangka ya, Lay. Sekarang kamu sudah tumbuh jadi perempuan dewasa. Padahal dulu kamu kecil banget."

Wajar saja Bunda mulai mengingat kembali masa lalunya, mungkin karena di rumah ini sangat sepi enggak ada suara tangisan bayi. Gue pun sebenarnya mau mencari pasangan tetapi hati ini terlalu bebal dan tidak mengizinkan seseorang mengisi kekosongan kecuali kak Lutfi.

"Jalan keluarnya, Bunda, harus memberikan aku seorang adik bayi dong." ucapku polos lalu dapat toyoran dari Bunda.

"Enak banget nih mulut bilangnya ya?" Bunda menatapku gemas.

"Loh emang apa salahnya sih, Bun? Lagipula, Bunda, kan belum menopause sih." sanggahku.

Apa salahnya jika Bunda hami lagi ya? Gue pun juga enggak keberatan jika punya adik kecil, orang-orang juga enggak akan curiga kalau itu anaknya Bunda, melainkan menganggap gue sebagai ibunya bukan kakaknya. Kayaknya seru juga sih, gue harus membujuk Bunda agar mau mengabulkan permintaanku.

"Enggak salah, Lay, tapi Bunda yang enggak mau sebab sudah terlalu tua." tolak Bunda mentah-mentah. Gue harus menelan kekecewaan.

"Iya sudahlah kalau, Bunda, emang enggak mau. Lay juga enggak mau maksa kok." Ucapku pasrah. Harapan bisa memiliki adik baru harus terpupus.

"Seharusnya tuh kamu yang berikan, Bunda, seorang cucu. Bukan malah, Bunda, yang berikan kamu, adik." keluh Bunda.

"Gimana mau kasih, Bunda, cucu kalau, Lay, sendiri sampai sekarang belum ada jodohnya, Bun?" tanyaku sedih.

"Salah siapa kamu juga enggak mau nikah sama nak Andra. Kurangnya nak Andra itu apa sih, Lay? Sudah ganteng, baik, sholeh pula?" Bunda masih gencar menjodohkan gue sama Andra.

"Enggak ada yang kurang dari kak Andra kok, Bun. Tapi masalahnya ada pada diri, Lay, sendiri yang masih belum bisa membuka hati buat siapapun." Ucapku lirih, enggak berani menatap Bunda yang sangat berharap dengan si botak, Andra.

"Iya sudah terserah kamu saja. Bunda sebagai ibu kamu cuma bisa mendoakan agar kamu juga bisa dapat laki-laki yang tepat. Dan yang paling penting bisa membimbing kamu menjadi istri yang sholehah." sepertinya Bunda sudah malas mendebat tentang pasanganku.

"Aamiin. Di doakan saja ya, Bun. Lay, juga usaha kok membuka hati dengan seseorang, Bun." gue berusaha menghibur Bunda tetapi enggak menjanjikan juga sih.

Keinginan, Bunda, sangatlah sederhana, salah gue juga kenapa masih belum bisa membuka hati tetapi sekarang gue semakin yakin untuk tidak membuka hati sebab gue sangat berharap dengan ucapan bang Adi tentang kak Lutfi.

***

Tiga jam yang lalu ....

Sebentar lagi gue siap-siap mau pulang, Anisa, juga sudah tampak membersihkan barang-barangnya. Enggak ada lagi yang harus gue tunggu, pasti sekarang bunda sudah menungguku di rumah.

"Kenapa, Kak Lay? Apa ada yang ketinggalan?" tanya Anisa melihatku yang sedang melamun.

"Enggak ada kok, Nis. Cuma kok, bang Adi, belum kelihatan ya?" tanyaku balik.

"Ouh, Abang. Lagi beberes jilbab dulu, Kak. Tadi, mamah nelpon terus bilang kalau kak Sherin belum merapikan rak jilbab." jawab Anisa santai.

"Terus kenapa dibersihkan sama bang Adi? Bukankah besok masih sempat dibersihkan sama kak Sherin, Nis?" gue masih bingung dengan pemikiran tante Adel.

"Iya sih, Kak, tapi mamah emang begitu, Kak. Semuanya harus rapi biar esok harinya semangat untuk bekerja." Anisa masih sibuk dengan makan buah apel yang tadi baru saja dikupas oleh bang Adi.

Mustika pasti sangat beruntung bisa dicintai oleh bang Adi, hal sekecil apapun dia sangat perhatian. Apalagi jika dia sudah menemukan pujaan hatinya, hari-harinya dihiasi dengan kebucinan tingkat tinggi.

Sekarang yang menjadi pertanyaan gue, kenapa tante Adel enggak meminta gue saja ya? Padahal gue kan masih ada dibutik, bisa disuruh juga karena memang sudah tugas gue. Berbeda ceritanya jika gue cuma pembeli maka enggak akan mau merapikan jilbab yang bukan karena ulah gue.

"Iya sudah saya tinggal dulu ya, Nis, mau bantuin bang Adi dulu." tanpa mendengar respon dari Anisa, gue langsug bergegas membantu bang Adi. Benar saja dia fokus melipat jilbab yang masih berantakan.

"Kok tadi, Abang, enggak minta bantuan saya?" tanyaku sungkan.

"Jangan, Lay. Gue enggak mau lihat lo kecapekan, lagipula gue juga nganggur enggak ada kerjaan kok." jelas Bang Adi tanpa menoleh ke arahku. Tak masalah karena gue tahu dia sedang sibuk.

"Tentu enggak akan capek, Bang. Saya di sini kan digaji untuk bekerja, jadi, Abang, jangan sungkan meminta saya melakukan pekerjaan yang sudah menjadi tanggung jawab saya." gue ikutan membantu Bang Adi dengan mencakup jilbab yang masih belum tertata rapi.

"Pantas saja ya, Lay, Lutfi, begitu jatuh hati sama lo." Bang Adi menghentikan pekerjaannya sebentar.

"Eh maksudnya gimana, Bang?" tanyaku menaikkan satu alis ke atas.

"Lutfi selalu cerita sama gue kalau dia menyesal telah meninggalkan perempuan sebaik lo. Dan katanya dia baru menyadari betapa cintanya dia sama lo setelah kalian putus."

Tangan kananku memegangi perut lalu tertawa sedang. "haduh, Abang, nih kalau mau buat lelucun jangan malam-malam dong. Nanti saya ngompol loh,." candaku. Bang Adi pun ikutan tertawa, membuat gue semakin bingung.

"Bukan begitu maksud gue, Lay. Lutfi tuh benar-benar menyesal telah ninggalin lo tahu." gue mencari kebenaran di dalam bola mata Bang Adi tetapi enggak ada satupun keraguan yang gue rasakan.

"Menyesal pun enggak akan bisa mengembalikan keadaan kami, Bang." Ucapku tak dapat membendung kesedihan.

"Iya lo benar tapi gimana kalau misalkan Lutfi mau memperbaiki hubungan kalian lagi?" tanya Bang Adi seolah memberiku harapan yang tinggi.

"Sepertinya enggak mungkin sih, Bang. Saya hapal betul sikap kak Lutfi seperti apa." jawabku datar. Sudah cukup gue merasa dipermainkan sama hati sendiri yang berkeyakinan kak Lutfi akan kembali lagi.

Bang Adi tersenyum miring. "gue punya ide yang sangat bagus, apa lo setuju?"

"Ide apa itu, Bang? Jangan yang aneh-aneh loh, Bang." gue memperingatinya.

"Santai saja, Lay. Ini enggak bahaya kok, apalagi ide ini sangat berguna buat lo." Bang Adi memberikan ide yang masih gue ragukan keberhasilannya.

"Ide apa sih, Bang? Saya tuh sudah hopless banget loh, Bang." tanyaku lelah.

Sepertinya gue mencium bau-bau ide yang sangat curang tetapi gue berusaha berpikir positif. Mungkin, Bang Adi, merasa berhutang budi karena gue mencoba mendekatkan dia dengan Mustika. Dan, jangan sampai idenya ini merugikan orang lain terutama kak Lutfi.

"Gimana kalau kita buat drama seperti di TV?" tanya Bang Adi meminta pendapatku.

"Drama gimana sih, Bang? Saya enggak jago acting loh, Bang. Kalaupun jago pasti saya sudah jadi artis, Bang." gue mencoba melawak di waktu yang tidak tepat.

"Iya kita buat saja seolah lo dan gue ada hubungan biar Lutfi kepanasan terus melamar lo." jelasnya singkat. Namun, berhasil membuat gue berpikir keras.

"Maksudnya gimana sih, Bang? Saya masih enggak paham loh." gue menggaruk tangan yang tadi ada nyamuk nakal telah menghisap darahku.

"Gue akan bilang sama Lutfi, kita memiliki hubungan biar Lutfi kepanasan lalu bisa membuat kalian balikan lagi. Gimana sama ide gue, bagus kan?" Ucapnya bangga.

Gue menggelengkan kepala. "sepertinya enggak bagus deh, Bang. Kita kan enggak bisa memaksakan hati orang lain. Lagi pula saya juga tahu diri telah dicampakkan oleh kak Lutfi begitu saja."

Enggak! Gue harus menolak mentah-mentah idenya Bang Adi. Buat apa sih gue buat drama enggak jelas begitu, toh pada akhirnya kak Lutfi enggak memberikan respon seperti harapan gue. Jadi, sebelum gue kecewa lagi lebih baik enggak dijalankan saja idenya.

"Sudah deh, Lay. Percaya saja sama gue, yakin kok sebenarnya Lutfi masih ada hati sama lo." desak Bang Adi.

"Tapi kalau kebalikannya gimana, Bang? Nanti yang ada saya malu banget dong, Bang." gue kekeuh menolak.

"Iya sudah gimana kalau kita coba saja? Gue yakin banget, Lay, kalau emang enggak berhasil kita sudahi saja drama ini."

"Terus nasibnya, Mustika, gimana, Bang? Katanya jatuh hati sama dia, kalau kita drama, dia enggak akan mau menerima cintanya, Abang."

"Gampang banget itu, Lay. Kita tinggal acting sewaktu Mustika enggak ada dibutik, dan gue bisa minta mamah buat Mustika sibuk dengan kegiatan selama di luar." tawar Bang Adi.

"Tapi gimana kalau kak Lutfi datangnya tak terduga, Bang?"

"Itu sudah jadi urusan gue. Sekarang yang perlu gue tahu, apa lo setuju dengan ide gue?"