Pagi ini enggak seperti biasanya, gue lebih bersemangat lagi sebab bang Adi akan menjalankan misi kami berdua. Dan, gue pun juga enggak lupa bantuin dia agar bisa mendapatkan hati dari Mustika.
"Wajahnya tumben seger begitu, Lay?" tanya Bunda sedang membuatkan teh untuk kami.
"Tentu dong, Bun. Masa iya, Lay, harus memperlihatkan wajah sedih sih, Bun?" gue menarik kursi lalu duduk sambil memakan tahu buatan Bunda.
"Emang bagus sih, Lay. Bunda pun enggak mau melihat kamu sedih terus, kalau begini kan kamu bisa cari pasangan baru." Bunda terus saja meminta gue segera move on dari kak Lutfi.
"Sudah, Bunda, tenang saja deh. Nanti juga akan ada laki-laki baik yang datang ke rumah kok." Ucapku enggak sabar menanti hari itu tiba.
Seharusnya gue memang enggak boleh terlalu berharap sebab gue yakin kalau apa yang direncanakan oleh Bang Adi tidak semudah begitu saja. Mungkin akan ada halangan yang menerpa ide kami.
"Kenapa sih, Lay, enggak nyoba buat menjalin hubungan dengan bos kamu saja?" saran Bunda lalu membuat gue tersedak.
"Enggak mungkin dong, Bun. Bos aku kan perempuan, Bun." gue menatap Bunda tak setuju.
"Loh terus yang mengantarkan kemarin malam bukan bos kamu ya?" tanya Bunda sedikit shock.
"Semalam?" tanyaku membeo. "jadi, Bunda, tahu semalam aku diantarkan sama bang Adi?"
"Ouh jadi namanya, Adi?" Bunda mengangguk paham.
"Iya, Bun. Emangnya kenapa sih, Bun? Lagi pula aku dan bang Adi enggak ada hubungan apa-apa kok, Bun." elakku kesal dituduh ada hubungan dengan bang Adi. Gue rasa semua orang bisa tahu kalau gue enggak ada hubungan apa-apa dengan dia.
"Maksudnya gimana sih, Lay? Apa kalian bukan pasangan kekasih?" tanya Bunda bingung.
Gue mengangguk. "tepat sekali, Bun. Aku dan bang Adi hanya TEMAN ya, Bun." sengaja gue tekankan agar Bunda mengerti anaknya enggak menjalani hubungan apa-apa dengan bang Adi.
Apa sebegitu pinginnya, Bunda, berharap gue segera dapat pasangan? Dan sebagai seorang anak gue merasa sangat bersalah telah membuatnya menunggu calon menantunya yang datang entah kapan.
Kalaupun, kak Lutfi, bukan jodoh gue maka akan gue terima laki-laki siapa saja yang mau hidup bersama perempuan sederhana seperti gue. Memang sudah saatnya Bunda mempunyai cucu, pasti Bunda iri melihat temannya bisa bermain dengan cucunya.
"Kalian pagi buta sudah ribut, apa sih yang sedang kalian ributkan?" tanya Ayah berjalan gontai. Gue bisa melihat dengan jelas Ayah sangat kelelahan sekali, sampai gue enggak tega melihatnya.
"Ayah kecapekan ya?" tanyaku khawatir lalu memegang dahi Ayah, khawatir jika Ayah sedang demam.
"Kenapa, Lay? Apa, Ayah, emang demam?" Bunda ikutan khawatir tetapi harus fokus masak sebab masakannya belum sepenuhnya matang.
"Enggak kok, Bun. Ayah cuma kecapekan saja." gue bisa bernapas lega.
Kasihan juga sama Ayah harus banting tulang seperti ini. Keputusan gue buat kerja memang enggak salah, lumayan bisa membantu Ayah mengurangi sedikit bebannya.
"Beneran nih, Yah?" tanya Bunda enggak mau melihat Ayah sampai jatuh sakit. "hari ini, Ayah, enggak usah kerja dulu dong! Tubuh Ayah perlu istirahat."
Gue mengangguk setuju. "betul, Yah. Izin saja, Yah, aku juga khawatir kalau sampai Ayah, sakit." pintaku.
"Enggak bisa, Bun, Lay. Hari ini justru kantor lebih butuhkan, Ayah." tolak Ayah masih kekeuh ingin kerja.
"Masa iya sih enggak boleh libur sehari saja, Yah? Apa perlu, Bunda, sendiri yang minta sama atasan Ayah buat kasih keringan?" rengek Bunda.
"Bun, beneran, Ayah, enggak apa-apa kok." Ayah memegang pundak Bunda.
"Izinkan, Ayah, kerja saja, Bun. Kalau memang, Ayah, enggak kuat juga akan pulang kok, benar begitu kan, Yah?" gue sengaja membantu Ayah sebab kalau kelamaan di sini gue khawatir kondisi Ayah akan semakin drop.
"Baiklah kalau itu mau kalian, Bunda ..." sepertinya hal yang sangat berat bagi Bunda. "akan mengizinkan, Ayah, kerja tapi ingat kalau emang sudah enggak kuat Ayah harus segera pulang."
Ayah mencium kening, Bunda, otomatis gue menutup mata.
Gue melirik jam dinding. "sekarang urusannya sudah selesai, bukan?"
"Kamu mau berangkat kerja sekarang?" tanya Ayah tengah mengoleskan obat gosok disekitar leher dan dahi.
"Betul sekali, Yah. Lay, takut terlambat sampai dibutik nih, Yah."
Setelah adegan yang begitu alot antara Bunda dan Ayah, gue berhasil bebas dari mereka. Kalau bukan dengan alasan mau kerja pasti mereka terus berdebat. Lebih baik gue pergi sekarang walau harus menunggu lama di depan butik.
***
Sama seperti waktu gue datang ke butik untuk yang pertama kalinya. Namun, kali ini butik sudah terbuka, entah siapa orang yang sudah membuka butik. Anisa, sepertinya enggak mungkin sebab hari ini dia harus homescholling, tante Adel masih menomor satukan pendidikan untuk kedua anaknya.
Beliau benar, memang harta kedua orang tua sangat berlimpah tetapi kalau enggak diimbangi dengan belajar kelamaan juga akan habis. Dan, bisa saja ditipu oleh orang yang sudah sangat dipercaya. Jangan sampai itu terjadi.
"Assalamualaikum." sapaku sambil menjinjing sepatu karena semua sepatu karyawan harus ditaruh di dalam butik.
"Waalaikumsalam, eh rupanya kamu sudah datang?" tanya dia shock melihat gue datang pagi.
"Iya nih, Tik. Gue sengaja datang pagi biar nanti bisa pulang sedikit awal karena mau kuliah." jelasku lalu membantu Tika sedang menyapu lantai.
"Ouh kita sama ya, Lay? Gue juga nanti mau kuliah, bearti yang ada di sini Viana dan kawan-kawan ya?" Mustika baru sadar lalu sedikit sedih. Gue pun enggak paham kenapa dia bisa berubah begitu.
Sepertinya ini waktu yang tepat buat gue menjalankan misi semoga saja felling gue enggak salah. Kasihan bang Adi harus kecewa dengan fakta yang gue dapat.
"Iya emangnya kenapa, Tik? Ada yang salah kalau yang jaga siang adalah Viana?" tanyaku penuh selidik.
Mustika tampak gusar. "g-gue kan takut kalau b-bang Adi sampai tergoda oleh Viana, Lay." jawabnya lirih tetapi masih bisa gue dengar dengan jelas.
"Maksudnya apa, Tik? Lu suka sama bang Adi?" tanyaku tak percaya.
"I-iya, Lay. M-maaf ya gue ada rasa sama bang Adi?" Mustika terus menunduk. Gue jadi berpikir apa perkataan ini ada yang salah ya sampai Mustika seperti sedang menghindar?
"Lo kenapa sih kok nunduk terus?" tanyaku heran.
"G-gue takut lo marah sama gua. Emang sih lo bilang enggak ada rasa sama bang Adi tapi hati kan enggak ada yang tahu, Lay." jelas Mustika berhasil membuat gue tertawa.
Shift pagi yang harusnya terasa sangat lama kali ini enggak akan begitu terasa sebab ada Mustika yang membuat gue nyaman dengan semua cerita cintanya.
"Enggak, Tik. Gue bukan marah sama lo tapi karena gue tahu perasaan lo enggak bertepuk sebelah tangan." Ucapku menjelaskan agar Mustika enggak salah paham.
"Maksud lo apa?" tanya Mustika sudah selesai menyapu lalu membereskan plastik yang berserakan di mana-mana.
Gue menatap sekeliling dan memastikan aman tanpa ada orang lain. "sebenarnya tuh bang Adi juga suka sama lo. Dan, kemarin dia nyuruh gue buat cari tahu tentang perasaan lo sama dia itu gimana."
Mustika tertawa sumbang. "lo kalau cuma bercanda caranya enggak begini."
Memang ya orang kalau sudah jatuh cinta sangat susah mendengarkan ucapan dari orang lain. Namun gue enggak boleh menyerah sebab kebahagian bang Adi ada ditangan gue, harus bisa menyakinkan hati Mustika.
"Ini gue serius, Tik. Emangnya lo enggak bisa lihat wajah gue? Apa ada kebohongan di sini?" gue menunjuk tepat di bawah mata.
Mustika menatapku dalam. "lo benar tapi orang seperti gue ini enggak pantas jika bersanding dengan bang Adi."
"Kenapa sih lo harus mendengar apa kata orang lain? Tulikan pendengaran lo untuk orang-orang yang enggak bisa melihat lo bahagia." gue memberinya semangat.
Kehidupan memang sulit tetapi kalau dijalani penuh dengan keyakinan akan terasa sedikit mudah. Asal kita mampu menulikan pendengar untuk orang yang tidak penting bagi kita.