Gara-gara ucapan Andra kemarin malam gue susah sekali untuk tidur. Gimana bisa tidur kalau ucapannya sangat ngaco sebab dia bilang kenapa enggak gue saja yang jadi pacar pura-puranya.
Apa dia enggak berpikir jika tante Lusi beneran berharap sama hubungan kami, gue adalah orang pertama yang merasa bersalah karena sudah membohongi beliau. Bukan hanya beliau saja yang berharap, bunda adalah orang kedua yang sangat berharap sebab bunda gencar menjodohkan gue dan Andra.
Syukurlah gue masih bisa menggunakan akal sehat jadi gue tolak mentah-mentah ide yang sangat buruk. Andra awalnya enggak terima gue tolak tetapi terus gue kasih pemahan dan dia pun mau mengerti.
"Hari ini kuliahnya pagi kan, Lay?" tanya Bunda sudah selesai memasak.
"Iya, Bun." gue mengangguk. "kemarin aku sudah izin kok sama tante Adel katanya sih enggak apa-apa, Bun."
"Kamu kerjanya mulai siang?" tanya Bunda lagi.
"Iya dong, Bun. Tapi nanti aku ke sana sampai butiknya tutup, enggak enak kalau cuma datang siang dan sore langsung pulang, Bun."
Butik milik tante Adel buka sampai malam, sesuai dengan saran, Gita, gue akan membawa pakaian ganti. Sebab setelah selesai kuliah rencananya mau langsung berangkat ke butik, enggak mampir pulang ke rumah dulu.
"Tapi maaf ya Lay hari ini Bunda enggak bisa bawakan bekal makanan buat kamu. Tahu sendiri kan kemarin ayah dan bunda pulangnya malam banget?" Bunda sedih melihat gue enggak bisa bawa bekal makanan.
"Iya enggak apa-apa kok, Bun. Aku paham, nanti bisa beli makan di dekat butik saja, Bun."
Jam terus berjalan kalau Bunda enggak segera menyudahi pembicaraan ini, gua bisa telat datang ke kampus. Maafkan anakmu ya Bun harus memotong pembicaraan ini.
"Bun, aku pergi ke kampus dulu ya? Sudah mau terlambat nih, Bun." potongku. Tak lupa gue mengambil tas yang gue taruh dilantai.
"Ouh iya, Lay."
***
Kelas masih sepi saja, perasaan digrup enggak ada pemberitahuan kalau pindah jam. Masa iya gue yang salah harinya sih?
"Hai, Lay, sendirian saja nih?" tanya seseorang tetapi gue masih fokus dengan ponsel.
"Ouh iya, Kak. Saya sedang nunggu teman-teman, sepertinya mereka lupa kalau hari ini ada jam tambahan." jawabku tanpa melihat lawan bicara.
"Mata kuliahnya pak Budi, bukan?" tebaknya.
Ini orang nyebelin juga sih, dia enggak tahu apa gue fokus baca chat teman-teman digrup, barangkali gue lupa baca pengumuman penting. Sepertinya memang sepele tetapi baca grup chat juga harus fokus, tidak bisa diganggu oleh siapapun juga.
"Bisa enggak sih kalau bicara sama orang itu ditatap wajahnya?" Ucapnya kesal.
Benar juga sih, gue juga enggak sopan bicara sama seseorang tanpa menatap wajahnya.
"Maaf ya, Kak ..." betapa terkejutnya orang yang gue ajak bicara dari tadi itu dia.
"Hayo mau bilang apa?" dia nyengir.
Gue salah tingkah. "saya enggak tahu kalau yang ajak bicara itu Bang Adi. Kok, Abang, bisa ada di sini sih?"
Orang yang dari tadi ngajak gue bicara adalah Bang Adi, kenapa dia bisa ada di sini ya? Kalau enggak salah kampusnya dia bukan di sini. Dan, kalaupun di sini gue juga enggak pernah lihat dia disekitar kampus.
"Ouh jadi kelas kamu yang akan dapat tugas dari pak Budi ya?" Bang Adi balik bertanya.
Gue mengangguk. "pertanyaan saya belum dijawab loh, Bang."
Tadi saja dia marah karena gue enggak fokus menatap wajah, sekarang giliran gue yang tanya diabaikan begitu saja. Baru juga dua hari kenal sudah begini sikap aslinya. Kalau begini gue enggak akan bisa mudah berpaling dari kak Lutfi.
"Ouh iya maaf, Lay. Saya ada di sini karena kebetulan saya asistennya pak Budi." jelas Bang Adi membuatku sedikit bingung.
Asisten? Gue enggak salah dengarkan kalau Bang Adi yang usianya setara dengan gue sudah jadi asisten dosen. Circlenya Gita memang enggak main-main, dari yang abangnya sudah lulus s2 sampai sepupunya yang masih kuliah bisa jadi asisten dosen. Gila bener dah.
"Emangnya boleh ya Bang? Abang kan bukan mahasiswa sini?" tanyaku masih bingung.
"Tentu saja boleh dong, Lay." Bang Adi tersenyum miring.
Sepertinya ada yang disembunyikan oleh dia, enggak mungkin banget anak kampus lain bisa jadi asisten dosen kalau bukan power dari orang dalam. Apa mungkin dia adalah?
"Jangan bilang, Abang, anaknya pak Budi?" tebakku tak percaya.
Bang Adi nyengir. "kamu kok tahu sih, Lay? Padahal gue sudah menyembunyikan secara mati-matian loh."
"Beneran, Abang, itu anaknya pak Budi?" gue menepuk pipi tak percaya melihat satu fakta yang sangat mencengangkan.
"Sudah dong, Lay. Kamu jangan bicara keras begitu, nanti teman-teman yang lain jadi tahu loh!" peringatinya. Gue dibuat syok banget sama dia.
"Emangnya mereka enggak tahu kalau, Abang, anaknya beliau?"
"Tentu enggak tahu, Lay. Gue kan sudah bilang sama papah buat merahasiakan identitasku sama semua mahasiswanya."
"Kenapa disembunyikan, Bang? Bukannya lo tuh harus bangga dengan identitas anak seorang dosen?"
"Kamu betul tapi gue enggak akan bisa dapat pasangan kalau sampai dia tahu jati diri gue yang sebenarnya."
Dibalik sikapnya yang selalu cengengesan terselip kewibawaan yang gue tahu menurun dari pak Budi. Tante Adel memang enggak salah dalam mendidik kedua anaknya sampai bisa menjadi orang yang berhasil. Dan sepertinya gue tahu apa alasan beliau meminta mereka kerja dibutiknya.
"Terus kenapa, Abang, cerita sama saya? Katanya enggak mau diketahui oleh banyak orang." gue menuntut penjelasannya.
"Berbeda dong, Lay. Kalau kamu kan gue sangat yakin enggak akan buka mulut sama siapapun." Bang Adi salah tingkah. "lagipula, gue juga enggak akan bohong sama orang yang sedang gue dekati." imbuhnya lirih.
"Emangnya siapa perempuan yang sedang lo dekati, Bang?"
Gimana reaksi, Gita, saat tahu, Bang Adi, sudah punya calon, pasti dia akan sedih sebab gue gagal membuka hati. Memang kenapa sih kalau gue masih ada rasa sama kak Lutfi, meski gue pun enggak tahu perasaan kak Lutfi terhadap gue seperti apa.
Bang Adi nyengir lagi. "masih rahasia dong, Lay. Kalau lo tahu saat ini enggak akan seru."
"Baiklah, Bang. Tenang saja gue akan tutup mulut kok." gue mengunci dengan menggunakan tangan lalu tertawa bersamanya.
Lesung pipit menghiasi wajah Bang Adi, kenapa gue baru sadar jika dia tertawa akan semanis ini ya? Beruntung banget sih perempuan yang akan jadi gebetannya. Semoga masih ada satu laki-laki gentle seperti dia.
"Hayo loh kalian sedang bicarain soal apa?" tanya seseorang menepuk pundakku.
Gue menoleh ke belakang. "biasa urusan anak muda. Anak-anak di bawah umur enggak boleh kepo dong." jawabku cekikikan.
Dia cemberut lalu menaruh tas di atas meja. "kalian berdua nih enggak asik banget deh."
"Tumben kamu baru berangkat?" tanya Bang Adi menatapnya.
"Abang tuh enggak tahu saja keseharian, Gita, kalau di jam mata kuliah yang lain seperti apa." timpalku.
Sesekali mengadukan kebiasaan sahabat sama orang terdekatnya enggak ada salahnya sih. Orang tuanya saja sudah angkat tangan, mungkin saja dengan nasihat orang lain bisa didengar oleh dia.
"Iya lo benar. Gue pun sering dapat aduan dari mamahnya soal Gita yang sering telat masuk kuliah." Bang Adi membenarkan ucapanku.
"Makanya kasih tahu dong, Bang. Saya sudah nyerah minta Gita buat datang tepat waktu." keluhku sambil membasuk keringat.
"Cie, cie yang sekarang sudah akrab." goda Gita langsung gue pelototi tajam. "sabar, Bu. Jangan main gas saja dong."
"Lo nyebelin banget tahu enggak?" Ucapku kesal.
"Iya sudah gue mau ke kantor buat ambil materinya dulu. Kalian belajar yang bener biar waktu gue jelasin kalian paham." titahnya, tak lupa menutup pintu kelas kembali.
***
Penjelasan, Bang Adi, bisa dicerna oleh gue dan teman-teman yang lain. Awalnya gue kira dia hanya memberikan tugas saja, ternyata dia juga menejelaskan materi yang pembawaannya sama seperti pak Budi.
Coba saja teman-teman tahu bahwa Bang Adi masih mahasiswa satu angkatan dengan kami, mungkin mereka enggak akan percaya. Dia juga bisa bersikap berwibawa akibat stylishnya sudah mirip dengan bapak-bapak. Kacamata bulet membuatnya semakin tambah dewasa.
"Kenapa sih lo enggak mau coba buka hati sama dia?" tanya Gita setengah berbisik.
"Siapa yang lo maksud? Bang Adi atau yang mana?" tanya gue bingung.
Gita mengangguk. "tepat sekali! Memangnya siapa lagi kalau bukan bang Adi? Atau mungkin lo sudah punya gebetan baru ya?" tuduhnya.
"Sembarangan saja sih lo! Gue saja masih belum bisa moveon, pakai acara nambah gebetan saja." tegurku kesal.
"Calm! Iya sudah sih lo coba sama dia gitu biar gue dan lo bisa jadi saudara." tanyanya sambil nyengir.