Chereads / Senja Kian Memudar / Chapter 13 - Episode 13

Chapter 13 - Episode 13

Lima belas tahun yang lalu ...

Perempuan gila yang jahat sudah buat Kak Andra menjadi seperti ini. Awas saja kalau ketemu di jalan, gue akan melemparinya dengan batu yang sangat besar, biarin saja gue dibilang jahat karena dia juga jahat sama Kak Andra.

"Lay, jangan diem begitu dong!" Tante Rika berusaha tegar tetapi gue bisa merasakan beliau sangat terpukul melihat kondisi Kak Andra.

"Kakak kenapa diem seperti itu, Tan?" tanyaku sedih.

Persis seperti patung, Kak Andra hanya bisa diam sambil melihat ikan-ikan kecil. Gue kangen dengan dia yang selalu jahil. Kira-kira harus dengan cara apa biar dia bisa balik seperti dulu.

"Lay mau ke mana?" teriak Tante Rika. Gue tak mengindahkan suara beliau karena ada hal penting dan hanya bisa dilakukan oleh anak kecil seperti gue.

Enggak sampai lima menit gue pergi, sekarang sudah balik lagi ke rumahnya Tante Rika. Dan, Kak Andra masih setia dengan keterdiamannya.

"Kayunya mau diapain, Lay?" tanya Tante Rika bingung.

"Nanti kita lihat saja, Tan. Aku yakin kok bisa bikin Kak Andra senyum lagi." gue enggak putus asa. Mainan ini pasti bisa membuat Kak Andra enggak berubah jadi robot.

Kayu gue letakkin di samping Kak Andra, gue melompat sambil menunduk biar enggak terkena kayunya. Permainan ini biasa gue mainkan sama Kak Andra ketika jenuh saja. Dan biasanya disebut dengan lompat tali, harusnya sih gue pakai karet tetapi karena enggak ada gue pakai barang yang ada saja.

"Ayok, Kakak, kita main lompat tali?" gue masih setia melompati kayu sendirian.

Kak Andra masih terdiam. Dari rumah gue kan sudah berjanji mau buat Kak Andra senyum, kalaupun permainan ini enggak bisa buat Kak Andra senyum, otak kecil gue masih punya banyak ide yang harus gue coba.

"Gimana hasilnya, Lay?" tanya Tante Rika sangat berharap.

Gue menggeleng. "nihil, Tan. Tapi aku mau coba buat main yang lain, Tan. Tunggu sini ya, Tan."

Sebenarnya gue paling nanti kalau disuruh lari-larian begini, tetapi khusus hari ini gue lari demi Kak Andra. Pintu rumah masih terbuka, gue kira hari ini bunda ikut ayah keluar kota.

"Lay ikut ke rumah nenek atau enggak?" tawar Bunda.

"Enggak mau Bunda! Kak Andra lebih butuh aku." gue menghampiri Bunda tengah bersiap memasukkan buah tangan untuk nenek. "enggak apa-apa kan, Bun, kalau aku di rumah?"

"Tentu enggak apa-apa, Lay. Bunda tahu kamu kalau dilarang pun kamu masih kekeuh enggak mau ikut. Nanti yang ada kamu di sana nangis terus lalu minta pulang." keluh Bunda.

Gue bersorak senang. "asik! Bundaku emang paling pengertian."

Haduh! Gue sampai lupa tujuan pulang ke rumah untuk apa. Mengambil sesuatu lalu gue masukkan ke dalam tas sekolah.

"Bunda, tolong kuncinya jangan dibawa ya? Dititipkan saja sama tante Rika." pintaku.

"Iya Sayang! Bunda tahu kok." Bunda menepuk tas besar. "Bunda juga akan ke sana karena bekal makan kamu ada di sini, kasihan tante Rika kalau harus memasak untuk kamu."

Kenapa sih, Bunda, harus pergi segala? Bunda kan juga tahu kondisi kak Andra sedang tidak baik-baik saja. Memang kak Andra bukan kakak kandung tetapi gue sudah menganggapnya seperti saudara kandung.

Dan kalaupun gue ikut kasihan sama tante Rika harus sedih melihat kondisi kak Andra yang seperti itu.

"Bunda kok jahat sih, pergi saat kak Andra sedang butuh banyak support?" tanyaku kesal.

Bunda sigap memelukku. "bukannya Bunda jahat, Lay tapi kepergian Bunda ke rumah nenek mau cari dokter psikolog yang terkenal dan dijamin enggak akan membuka sakit dari pasien ke orang lain."

Gue menggaruk kepala. "aku masih enggak paham sama ucapan Bunda."

"Sudah kamu tenang saja. Bunda bukan mau jalan-jalan kok tapi mau cari dokter untuk kak Andra. Kamu di rumahnya tante Rika saja ya? Dan jangan ke mana-mana?"

"Siap, Bunda dan terima kasih karena, Bunda, mau membantu kak Andra." gue memeluk Bunda sebagai ucapan pamit karena diburu oleh waktu.

Diam tanpa suara, Kak Andra masih setia duduk dipinggir kolam. Gue pun langsung duduk di sampingnya walau dia menatapku tak suka.

"Kakak enggak mau main boneka-bonekaan sama aku? Nanti aku akan izinkan Kakak memainkan boneka ini." gue menaruh boneka kelinci kesayangan di samping Kak Andra.

"Ngapain sih lo masih di sini? Gue kan sudah bilang enggak mau main lagi sama lo. Tahu bahasa manusia kan?" bentaknya membuat seluruh tubuhku bergetar hebat.

"Andra! Jangan begitu sama Lay. Kasihan ..." sambung Tante Rika.

Gue sengaja memotong ucapan beliau. "aku enggak apa-apa kok, Tan. Saat ini Kak Andra butuh kita, Tan."

Enggak ada rasa sakit hati karena gue tahu Kak Andra juga enggak benar-benar mengusir gue. Sabar adalah kunci buat gue agar bisa membuat Kak Andra kembali seperti dulu.

"Jangan dekati gue, PEREMPUAN JAHAT!" Kak Andra semakin menjadi. Gue benar-benar enggak mau terlalu mempusingkan dengan segala pengusirannya karena bagi gue sekarang Kak Andra bisa seperti dulu.

Gue berusaha memegang tangannya meski berulang kali Kak Andra menepisnya. "ini gue, Lay. Adik kesayangan lo, apa enggak ingat sama gue, Kak? Lo pasti ingat setelah pulang sekolah, Kakak, selalu belikan gue ice cream tanpa sepengetahuan bunda?"

Kak Andra masih diam, enggak mau merespon ucapanku tetapi dia sudah bisa menerima gue. Walau begitu sudah membuat gue sedikit lega.

"Lay, lebih baik kamu sekarang makan dulu ya? Kata, bunda, kamu belum makan dari tadi pagi." bujuk Tante Rika.

Gue menggeleng. ".enggak mau, Tan. Aku ingin Kak Andra kembali lagi seperti dulu." rengekku.

"Apa kamu enggak ingat pesan bunda gimana?" Tante Rika benar gue harus ingat pesan bunda karena enggak boleh menambah beban baru buat beliau.

"Iya sudah aku mau makan tapi makannya di sini ya, Tan?" gue melihat Kak Andra. "biar bisa ditemenin sama Kakak, Tan."

"Iya sudah kalau itu mau kamu. Tunggu sebentar ya, Tante, ambilkan bekal kamu dulu."

Sampai kapan Kak Andra diam begini, terhitung sudah dua hari dia begini terus. Gue enggak mau dia terpuruk dari ingatan yang terlalu kejam. Semoga saja, bunda dan ayah bisa mendatangkan dokter itu. Hanya dokter itu satu-satunya harapan kami.

"Taraaa, makan siang sudah datang loh." Ucap Tante Rika bersuara seperti anak kecil. Gue cekikikan mendengarnya.

"Terima kasih ya, Tan." Ucapku tulus.

"Iya sama-sama, Sayang." Tante Rika melirik Kak Andra. "apa, Kakak, mau makan sama Lay?" tanyanya.

Kak Andra cuma menggelengkan kepala.

Gue mencoba mendekatinya dengan membawa piring berbentuk mickey mouse. Wajah ini gue buat seceria mungkin biar Kak Andra juga tertarik.

"Ayok makan sama gue, Kak? Atau Kakak mau gue suapin?" tawarku.

Sama! Kak Andra cuma menggelengkan kepala. Gue pun enggak mau memaksa dia takut kalau misalkan dipaksa dia bisa menolak dan membuat masakan bunda mubadzir begitu saja.

Gue kembali menaruh piring di meja kecil yang sudah disediakan oleh Tante Rika.

"Tante, aku makan duluan ya?"

"Iya, Lay. Makan yang banyak biar kalau sudah besar bisa jadi calon istrinya Kak Andra." canda Tante Rika.

Kak Andra tiba-tiba saja terbatuk.

Gue senang itu artinya dia mendengarkan pembicaraan orang disekitarnya. Beliau enggak tahu saja ucapannya barusan selalu menjadi slogannya Kak Andra disaat gue sedang marah atau kesal. Katanya gue harus bisa menjadi perempuan yang tangguh biar kalau sudah dewasa cocok jika bersanding dengan dia.

Biasanya gue kalau makan disuapi oleh bunda atau Kak Andra, tetapi kali ini gue harus makan sendiri. Dan gue makan dengan sangat cepat biar bisa temenin Kak Andra lagi.

"Perlu gue suapi?" tanyanya.

Gue mendengus kesal. Kenapa enggak tawarin dari tadi sih, Kak Andra, enggak tahu apa kalau gue sudah makan nasi setengahnya dan baru ditawari sekarang. Namun, enggak apa-apa gue masih sangat bersyukur dia masih perhatian sama gue.

"Enggak perlu, Kak. Gue sebentar lagi mau ..." piring tiba-tiba diambil oleh Kak Andra. Betapa terharunya gue diperlakukan manis begini. Gue tahu jauh didasar lubuk hati dia, masih ada rasa kasihan dengan orang sekitarnya.

Sepertinya usaha gue enggak sia-sia, Kak Andra dari tadi menyuapi gue. Dan dia juga enggak mengeluh saat gue masih mengunyah nasi, enggak seperti biasanya dia akan mengomel kalau gue enggak segera menelan nasinya.

Habis tak tersissa, gue kalau makan disuapi begini memang selalu semangat. Gue hendak mengambil piring yang masih dibawa, Kak Andra, enggak enak juga jika piring kotorku dicuci oleh Tante Rika.

"Maaf, piringnya mana, Kak? Gue taruh di rumah." pinta gue.

Kak Andra menurut. Piring kotor sudah ada ditangan gue.

"Kakak, Tante, aku mau ke rumah dulu ya? Mau nyuci piring kotor dulu." Ucapku lembut.

"Sini biar, Tante, saja yang nyuci piring kotor kamu." Tante Rika mau mengambil piringku tetapi gue menggeleng.

"Enggak boleh, Tan. Aku bisa kok nyuci piring sendiri." tolakku langsung saja berlari ke rumah biar tante Rika enggak berusaha mengambil piringku. Gue kan selalu ingat pesan bunda agar tidak merepotkan tante Rika.

Bunda nih selalu kebiasaan kalau pergi jendela rumah enggak ditutup. Gimana kalau ada orang jahat yang masuk rumah, mana gue lagi di rumah sendirian. Langsung saja gue tutup jendelanya biar kalau gue balik lagi ke rumahnya tante Rika, jendela rumah sudah tertutup.

Satu kegiatan sudah selesai, kini gue tinggal mencuci piring. Lagipula gue juga masih ingat kok cara mencuci piring dengan benar.

Sebelum mencuci piring, gue mengambil kursi kecil karena wastafelnya terlalu tinggi untuk gue yang masih dalam masa pertumbuhan. Gue membuang sisa makanan dipiring lalu ambil sabut yang sudah dikasih sabun cuci piring oleh bunda.

Selesai! Gue sudah selesai mencuci piring, sekarang gue kembali ke rumahnya tante Rika.

Sekarang Kak Andra sudah ganti tempat duduk, dan dia duduk di depan teras rumahnya. Sepertinya dia mencari keberadaanku.

"Kakak cari gue ya?" tebakku sudah berdiri di depannya.

Gue enggak terlalu fokus karena ada bayangan kupu-kupu kecil di depan wajahku. Berulang kali gue usir masih saja di sana.

"LAY ..." suara terakhir yang gue dengar adalah Kak Andra.