Lima belas tahun yang lalu ...
Kenapa ada bau yang sangat menyengkat. Ini kamar siapa sepertinya gue enggak asing berada di sini. Kamarnya jelek banget sih monoton banget hanya bercat abu-abu dan ada banyak sekali poster kartun laki-laki.
Gue memegangi kepala yang masih sakit. "a-aku lagi ada di mana?" tanyaku lirih.
"Alhamdulillah, Lay, sudah sadar?" tanya Tante Rika terlihat khawatir.
"Aku ada di mana, Tan?" kenapa sih rasa sakitnya enggak hilang-hilang, gue kan jadi enggak bisa fokus cari keberadaan kak Andra.
"Kamu di kamarnya Kakak. Masih pusing, Lay?" tanya Tante Rika lagi.
Gue mengangguk lemah. "m-masih, Tan. Kenapa bayangan ini enggak pergi juga ya Tan?" tanyaku bingung.
Posisi gue sekarang enggak nyaman banget. Sekarang ini gue butuh sosok bunda di sini biar bisa menangis sekencang-kencangnya. Kalau ada Tante Rika, gue kan malu dikira nanti gue itu perempuan yang lemah.
"Makanya jadi orang tuh jangan suka melawan, waktunya makan ya makan. Kalau begini siapa yang harus direpotkan!" dengusnya kesal.
Orang ini sudah bisa mencecar itu artinya dia baik-baik saja. Akhirnya usaha gue enggak sia-sia. Tanpa banyak berpikir gue langsung memeluknya erat.
"Gue kangen sama lo, Kak." gue sengaja membenamkan kepala. Orang yang bisa bikin hari-hari gue selalu berwarna.
"Tante juga mau bilang terima kasih banyak sama kamu, berkat kamu juga kan Kak Andra bisa kembali seperti biasanya." puji Tante Rika lalu ikut memeluk gue dan Kak Andra.
***
Kenangan manis sekaligus pahit, gue sampai enggak bisa bayangin gimana jadinya jika Andra enggak bisa kembali lagi seperti biasanya. Hari-hari gue pasti akan datar seperti jalan raya.
"Tante masih enggak habis pikir sama kalian berdua loh." Tante Rika cekikikan, tetapi beliau lupa ada air mata yang tak bisa dicegah menurun dengan lepas.
"Loh emangnya kenapa, Tan?" tanyaku bingung.
"Kalian berdua itu apa ya? Saling membutuhkan tapi gengsi. Tante kan jadi bingung ya? Eh enggak cuma, Tante, saja sih bunda kamu juga merasakan hal yang serupa loh."
"Iya mungkin karena kami emang sudah dekat sejak lahir, Tan."
Apa ada yang salah dengan tingkah laku gue dan Andra? Di sini gue mencium bau-bau yang sangat mencurigakan. Dan pastinya enggak akan menguntungkan terutama bagi gue sendiri.
"Bener sih, Lay." Ucap Tante Rika pasrah.
"Apa ada sesuatu yang mengganjal dihati Tante? Barangkali ada bisa banget loh, Tante, cerita sama aku."
Sepertinya gue tahu apa penyebab Tante Rika berubah begini. Bukan karena melihat hubunganku dan Andra yang sedikit kocak tetapi ada hal lain yang beliau rasakan.
Tante Rika menengok sekitar ruangan. "jangan bilang sama Andra ya, Lay? Bisa kan?"
"Tentu bisa dong, Tan. Emangnya apa yang Tante rasakan sekarang? Apa karena kak Andra enggak mau membawa pacarnya ke rumah?" tebakku.
"Betul sekali, Lay." Tante Rika mengubah posisi duduknya. "coba saja kamu bayangkan setiap hari ada saja laporan dari orang suruhan Tante yang mengatakan Andra ganti pasangan. Maksimal bertahan hanya seminggu. Siapa yang enggak pusing, Lay?"
Tepat sasaran! Gue bilang juga apa pasti diam-diam Tante Rika sengaja menyewa seseorang untuk memata-matai tingkah laku Andra. Pantas saja kan selama ini jika Andra sudah keluar dengan pakaian bagus, selalu ada mobil yang mengikutinya.
"Mungkin karena kak Andra sedang mencari seseorang yang tepat, Tan?" belaku. Kalau sampai Andra tahu bisa besar kepala.
"Iya, Tante, tahu, Lay. Tapi kan, Tante, maunya kamu yang jadi istrinya, Andra, sama seperti janji kalian waktu kecil."
Gue menelan ludah susah payah. "itu kan hanya janji seorang anak kecil yang belum tahu apa-apa, Tan. Kalau sekarang hati kami kan sudah berbeda, Tan." jelasku takut membuat Tante Rika kecewa mendengar pengakuanku ini.
"Apa kamu masih cinta sama mantan?" tanya Tante Rika lagi.
Tak bisa berkutik lagi. Kenapa jadi gue yang gantian menjadi topik pembicaraan malam ini?
"M-masih, Tan." jawabku terbata-bata.
"Andai saja dulu kalian sekolahnya sama-sama terus. Andra juga sih pakai acara sekolah dikalangan elite, jadinya begini enggak bisa ngawasi kamu." sesal Tante Rika sambil menyobek kertas menjadi bagian kecil-kecil.
Mulai gue masuk SD sampai SMP pasti satu sekolah, padahal mereka semua tahu umurku dan Andra terpaut jauh. Kalaupun satu sekolah hanya satu tahun karena Andra harus melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Syukurlah waktu itu Andra memilih sekolah elit. Bukan, tetapi lebih tepatnya sekolah yang isinya orang-orang pintar dan kaya raya. Kalau cuma bermodalkan pintar saja enggak akan bisa masuk sebab uang SPP setiap bulannya mahal sekali, minimal bisa buat beli ponsel android.
Gue nyengir. "namanya juga selera, Tan. Lagipula, kak Andra, kan pintar, Tan, sayang banget kalau enggak masuk di sekolah favorit. Enggak seperti aku yang kapasitas otaknya cuma standard, Tan."
"Makanya belajar yang giat biar bisa seperti saya." timpal Andra yang tiba-tiba saja masuk rumah tanpa mengetuk pintu terlebih dulu.
"Kamu ini kebiasaan jelek enggak dihilangin, kalau mau masuk rumah tuh salam gitu! Jangan main nyelonong saja." Tante Rika mencubit pipi Andra gemas.
"Sakit, Mah. Jangan main cubit pipi begini dong?" andra mengusap pipi yang sedikit timbul warna merah.
"Kamu juga jahat sama Lay. Tanpa kamu suruh pun, Lay, juga pasti giat belajar. Benar kan, Lay?" tanya Tante Rika meminta pembenaran dari gue.
"Betul dong, Tan." gue menatap Andra. "gue nih sebenarnya anak yang pintar loh, Kak." Ucapku bangga.
"Kenapa sih pada julid begini?" Andra lalu pergi lagi. Gue cekikikan karena dia enggak ada yang belain, makanya jangan jahat sama anak orang.
"Kamu lihat sendiri kan, Lay? Perempuan mana yang betah sama Andra kalau kelakuannya begitu." Tante Rika menggeleng pelan.
Kasihan juga sama Andra yang belum menemukan perempuan yang tepat, tetapi gue juga enggak bisa bantu buat carikan jodoh untuk dia karena gue enggak mau teman atau saudara jauh gue jadi korban phpnya.
Baru kali ini gue merasakan waktu berjalan sangat lambat. Kenapa juga ayah dan bunda enggak pulang juga sih? Berada di sini gue jadi akward banget.
"Kita berdoa saja, Tan. Semoga kak Andra bisa menemukan perempuan yang tepat biar, Tante, enggak kesepian lagi." hiburku.
"Tolong carikan perempuan yang baik seperti kamu dong, Lay. Tante tuh sudah pingin banget menimang cucu." keluh Tante Rika.
"Nanti, Lay, akan coba bicarakan sama kak Andra ya, Tan?"
"Terima kasih ya, Lay. Seandainya saja kamu dan Andra bersatu dalam mahligai rumah tangga." Tante Rika menatap foto gue dan Andra sedang rebutan ice cream.
"Mamah tuh selalu maksa deh." cibir Andra sudah mengganti pakaiannya jadi santai, enggak lagi memakai baju koko.
"Bukan maksa, Kak, tapi siapa tahu kan kalian berdua bisa bersama." Tante Rika masih berusaha keras menjodohkan kami.
"Iya sudah kapan-kapan saya akan bawa perempuan ke rumah." Andra menghela napas.
Tante Rika menganga tak percaya. "ini beneran, Kak? Enggak lagi bohongin, Mamah kan?"
"Iya, Mamah. Ini beneran serius loh tapi sebelumnya saya mau bicara berdua saja dengan Lay, bisa kan?" tanya Andra melirik seakan memberikan kode.
"Ouh tentu bisa dong, Kak." Tante Rika menaruh bantal sofa. "Tante, tinggal ke dalam sebentar ya? Kalau kamu mau cari Tante bisa masuk saja ke dalam."
"Baik, Tan."
Kira-kira apa yang akan Andra bicarakan berdua sama gue? Bulu kuduk jadi berdiri semua, takut kalau yang dibahas oleh Andra mengarah ke hal yang serius seperti pernikahan. Bisa saja kan Andra bingung mau cari calon istri yang sesuai dengan kriteria tante Rika, dan pilihan terakhirnya ke gue.
Jangan sampai itu beneran terjadi karena gue enggak akan mau menikah dengan Andra. Bukan karena, Andra, jelek atau enggak kaya raya, tetapi masa iya sih gue menikah sama teman masa kecil gue.
Lebih baik gue nikahnya sama orang yang baru gue kenal, jadi kami bisa mendalami sikap satu sama lain. Berbeda jika dengan teman kecil sudah hapal bobroknya seperti apa.