Sepertinya gue kali ini harus sedikit setuju dengan ungkapan 'hati senang walaupun tak punya uang' sebab gue memang sedang diposisi itu. Uang bulanan dari ayah dan bunda sudah sangat menipis, hanya bisa untuk makan satu minggu itupun gue harus jajan yang super hemat.
Kali ini gue juga senang karena Andra benar-benar mendukung keputusanku untuk bekerja. Tidak seperti bunda yang ragu jika gue kerja, katanya beliau takut jika gue enggak mampu membagi jam kuliah dan kerja.
"Berhasil ya, Lay?" tanya Bunda menantikan hasilnya.
"Kalau menurut Bunda sendiri apa, Lay, berhasil mendapat persetujuan dari kak Andra?" gue sedang iseng ingin mengerjai Bunda.
Bunda mengamati wajahku. "kalau dilihat dari wajah kamu sih harusnya emang berhasil ya?" tebaknya.
Gue bersorak kegirangan. "tepat sekali, Bunda. Alhamdulillah, Lay, berhasil meminta kak Andra untuk mengundur jam mata kuliah tambahan."
Bunda memelukku seraya membisikkan sesuatu. "sekarang kamu sudah dewasa harus bisa menempatkan diri dihadapan banyak orang ya?"
Kira-kira apa maksud Bunda bicara begitu. Gue sama sekali enggak tahu dengan ucapan Bunda.
"Maksudnya gimana ya, Bun? Lay masih enggak paham." tanyaku salah tingkah.
"Bunda berharap kamu harus bisa jaga sikap. Jangan kamu samakan kehidupan di rumah dengan di luar rumah. Bisa kan, Lay?" tanya Bunda meragukan kemampuanku.
"Tentu dong, Bunda. Pokoknya, Bunda enggak usah khawatir karena Lay bisa jamin akan mengabadikan diri sepenuhnya di butiknya tante Adel."
"Nah itu baru anak Bunda yang hebat." Bunda lalu meninggalkan gue seorang diri.
Rasanya gue enggak sabar ingin segera ganti hari karena penasaran banget dengan suasana tempat kerja yang sesungguhnya itu seperti apa. Mungkin dengan adanya gue bekerja bisa jadi suatu pelajaran yang sangat berharga.
***
Sarapan sudah di atas meja makan, kini saatnya gue kembali ke kamar lalu berdandan secantik mungkin tetapi masih terlihat natural.
"Wah siapa nih yang masak?" tanya Ayah khas rambut yang masih berantakan.
"Coba tebak siapa yang masak nih, Yah?" gue enggak sabar mengatakan sama mereka kalau makanan yang ada di meja makan ini pure hasil jerih payah tangan gue.
Asiknya gue bergelut dengan dapur sampai lupa membangunkan mereka. Dan, gue pun sengaja bangun pagi biar enggak terlambat dihari pertama kerja. Namun, ada satu yang gue khawatirkan yakni hasil masakan ini enggak cocok dengan selera ayah dan bunda.
Ayah melihatku dari atas sampai bawah. "sepertinya kalau kamu yang masak sangat tidak mungkin terjadi. Beli di mana sih, Lay?"
Gue cemberut. "ini beneran hasil dari masakan Lay sendiri loh, Yah. Masa enggak percaya, Yah?" gue menunjukkan bekas parutan kunyit yang jelas tercetak di tangan kanan.
"Kalian berdua ini ngapain sih? Ribut sampai kedengaran dari kamar loh!" Bunda mengambil kursi ditarik ke belakang.
"Ini nih, Bun. Ayah nyebelin banget masa enggak percaya jika ini yang masak adalah aku, Bun?" aduku enggak bisa menyembunyikan guratan kesedihan.
"Jangan begitu sama anak sendiri dong, Yah." bela Bunda, sedang Ayah hanya mengangguk santai. "siapa tahu makanan ini hasil dari kafe lalu dibawa ke sini, Yah?" tanyanya.
Kenapa bisa mudah ditebak begitu saja sih? Gue kan jadi enggak tahu harus menyamaratakan tingkahnya dengan mereka. Takutnya setelah pulang dari sini baik gue dan orangtua keracunan sampai harus seperti itu.
Memang enggak ada yang salah tetapi karena kelalaian merela berdua yang fokus dengan makanan masing-masing. Kalau gue minta bantuan Gita juga sungkan karena bisa ketemu sama kak Lutfi. Jangan sampai itu terjadi.
"Sudah, sudah! Jangan ribut lagi, Bunda, tahu kok masakan sebanyak ini yang masak itu Lay." Bunda mengambil piring tak lupa mengisinya dengan nasi dan lauk untuk Ayah, sedang Bunda sendiri mengambilnya paling akhir.
Kata, Bunda, seorang istri harus mendahulukan suaminya sebab suaminya seharian sudah lelah bekerja, ketika pulang tugas seorang istri melayani sang suami dengan tulus.
"Kok, Bunda, bisa tahu darimana?" gue pun mengingat apa acara memasak tadi ada orang yang melihatku atau enggak.
"Tentu dong! Sudah tidak perlu dibahas lagi, ayo semuanya kita makan dulu." Bunda menginstruksi lalu Ayah yang memimpin membaca doa sebelum makan.
Gue sangat bersyukur bisa dilahirkan oleh Bunda dan punya Ayah yang mempunyai ilmu agama yang tinggi. Keseharian kami memang terlihat sangat sederhana tetapi selalu ada arti kekeluargaan di dalamnya.
"Kamu yakin mau kerja?" tanya Bunda melihatku menyiapkan bekal makanan untuk makan siang.
Gue menoleh ke belakang. "yakin dong, Bun. Kenapa sih, Bunda, masih enggak percaya sama kemampuan anaknya sendiri?"
"Bukan enggak percaya, Lay. Bunda tuh hanya takut kamu kecapekan dan jatuh sakit." bantah Bunda lalu membantuku mengisi air minum dibotol kecil.
"Insya Allah, Lay, enggak akan kenapa-napa kok, Bun." gue menggenggam tangan Bunda. "sudah ya, Bunda, harus percaya sama anaknya sendiri, bisa?"
Bunda menghela napas berat. "baiklah, Lay. Kalau kamu emang enggak betah harus segera mengundurkan diri ya?"
Berangkat kerja saja belum, Bunda, sudah begini khawatirnya. Gue suka diperhatikan begini tetapi kalau terus-terusan dikekang juga enggak nyaman. Nantinya pergaulan gue hanya itu-itu saja terlalu monoton.
Setelah drama yang cukup panjang gue akhirnya bisa lepas juga dari kekhawatiran bunda yang menurutku sangat berlebihan. Kini sekarang gue sudah siap mengais rezeki dengan motor kesayanganku ini.
***
Butik masih sepi, hanya ada satpam yang terus berjaga di sana. Gue enggak tahu harus apa dihari pertama kerja. Apa mungkin selain butik ini, mereka kumpul di tempat yang lain ya?
"Permisi, Pak, saya mau tanya?" tanyaku sedikit mengeraskan suara.
Laki-laki berbadan ramping yang bernama tag Adi menoleh ke arahku. "iya mau tanya apa ya, Dik? Pasti mau beli gamis ya?"
Apa?! Badan gue segede gaban begini dikira masih bocah? Emang sih gue itu pendek tetapi enggak terlalu pendek untuk ukuran orang Asia. Adi enggak tahu apa kalau gue juga karyawan di sini.
Kesal juga pagi-pagi begini sudah ada yang mengajak emosi. Sebelumnya, Adi, memang gue sering dipanggil 'Dik' oleh banyak orang. Kebanyakan dari mereka mengira bahwa gue ini baby face makanya enggak terlihat seperti orang kuliahan.
Gue menggeleng. "bukan, Pak. Perkenalkan nama saya, Layinah, karyawan baru dibutiknya bu Adel, Pak."
Adi bukannya balik memperkenalkan diri, malah tertawa tanpa sebab. Memangnya wajah gue ini badut sampai, Adi, tertawa begitu? Kalau bukan karena gue orang baru, sudah gue marahin tuh orang.
"M-maaf, Pak, apa ada yang salah dengan ucapan saya?" tanyaku hati-hati.
"Ouh sorry." Adi, memegangi perutnya yang rata. "kamu yakin karyawannya bu Adel?" tanyanya masih enggak percaya.
"Tentu yakin dong, Pak. Kalau enggak kerja saya enggak bisa makan!" jawabku judes biar Adi tahu gue enggak main-main bekerja di sini.
Adi mengangguk. "baiklah kalau kamu emang karyawan di sini, tunggu sebentar ya soalnya yang bawa kunci butik itu kak Ema."
"Siap, Pak." Adi mengulurkan tangannya tetapi gue menggeleng. "ouh iya maaf. Perkenalkan nama saya Adi Setya Budi, saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik."
"Insya Allah, Pak Adi. Mohon arahannya ya Pak?"
"Loh kenapa kamu enggak minta bimbingannya?" tanya Adi tersenyum jahil.
"Iya dong, Pak. Nanti kalau saya bilang minta dibimbing dikira minta diseriusin sama Bapak." candaku memaksa untuk tertawa.
Dasarnya, Adi, memang bukan orang yang galak tetapi gue juga harus bisa jaga sikap sebab takut jika sewaktu-waktu gue salah bicara dan enggak sengaja menyinggung perasaannya. Motor kesayangan gue bisa enggak aman jika berada disekitarnya.
"Tenang saja, Lay, saya masih jomblo kok. Kamu bisa kok jadi salah satu gebetan saya." Adi cekikikan membuatku enggan menanggapinya.
"Jangan mau sama, Adi, pacarnya ada di mana-mana. Nanti lu akan jadi korbannya yang ke seribu." sambung seorang perempuan tinggi, berwajah oriental. Gue yakin dia pasti salah satu karyawan yang ada di sini.