Penasaran juga sih kenapa kedua anaknya Tante Adel dipekerjakan di sini. Belum ada sehari kerja bersama mereka gue tahu kemampuan Anisa seperti apa, dan kalaupun dia kerja kantoran pasti bisa diandalkan oleh atasannya.
"Ada yang mau kamu tanyakan?" tanya Tante Adel tahu gue sedikit berpikir keras.
"Beneran saya tanya enggak apa-apa nih, Bu?" tanyaku ragu.
"Tentu enggak apa-apa dong, Lay. Saya justru senang ada karyawana yang mau mengutarakan isi hatinya."
"Sudah enggak apa-apa kok, Lay. Mamah gue enggak bakalan gigit, paling cuma keluar taringnya." canda Anisa yang membuat gue bukannya nyaman justru semakin takut.
Tante Adel menatap Anisa tajam. "coba bilang sekali lagi?"
Anisa nyengir. "maaf, Mah. Aku kan cuma bercanda." dia menyingkut lenganku. "iya kan, Lay?"
Mau tak mau gue pun hanya mengiyakan saja, masalah gue dimarahi oleh Tante Adel urusan belakangan karena beliau pun tahu anaknya yang mulai duluan.
"Sudah tanya saja, Lay. Saya benaran enggak apa-apa kok kalau kamu mau tanya sesuatu." desak Tante Adel.
Gue menghela napas. "kenapa kok Anisa dan pak Adi kerja di sini, Bu?" tanyaku takut.
Lagi. Anisa tertawa, membuat gue dan Tante Adel berpikir apa ada yang lucu sehingga Anisa tertawa begitu.
"Kenapa sih, Nis? Dari tadi ketawa terus?" Tante Adel mulai terlihat kesal.
Anisa menutup mulutnya. "enggak ada apa-apa kok, Mah. Aku hanya ingin ketawa karena, Lay, memanggil abang dengan sebutan pak."
"Emangnya salah ya, Nis?" tanyaku.
"Kenapa kok panggilnya 'Pak'? Adi seumuran sama lo." Anisa masih tertawa.
"Ouh maaf, Nis, Bu, saya benar-benar enggak tahu kalau kak Adi seumuran dengan saya." Ucapku kikuk.
"Iya enggak apa-apa kok, Lay. Saya sudah biasa mendengar Adi dipanggil begitu." Tante Adel mengelus jilbabku.
Salah siapa punya wajah boros begitu, gue kan jadi mikirnya umurnya Adi sekitar 35 tahun. Berbeda banget dengan Anisa yang baby face, gue mengira dia masih SMP ternyata sudah SMA.
"Hay guys, apa kalian merindukan gue?"
Panjang umur sekali tuh orang, baru juga kami ghibahin eh orangnya sudah muncul. Untung saja kami ghibahnya enggak yang jelek-jelek. Eh tetapi enggak masalah juga sih, ghibahnya kan sama keluarganya sendiri.
"Dih, percaya diri banget lo, Bang. Siapa juga yang rindu sama lo." jawab Anisa judes.
Adi mendekat ke arah kami lalu mengusap wajah Anisa. "masa sih adiknya Abang yang sangat cantik ini enggak rindu sama sekali sama Abangnya?" godanya.
"Sudah, sudah. Jangan berantem di sini dong, kalian berdua apa enggak malu dilihatin sama Lay?" Tante Adel mencoba melerai kakak beradik.
"Tahu tuh, Mah. Abang pindahin saja dibutik Mamah yang ada di sebrang sana saja." sepertinya, Anisa, benar-benar terlihat kesal. Dan gue pun enggak tahu apa yang membuat dia sampai sekesal ini.
"Kamu tuh kenapa sih? Lagi datang bulan?" tebak Adi lalu menatap genit ke gue.
Anisa memukul bahu Adi. "enggaklah! Dikira semua perempuan kalau lagi marah tuh sedang datang bulan."
Haduh! Kenapa sih gue harus terjebak diantara perseteruan antara kakak dan adik ini? Tante Adel sudah mencoba melerai mereka berdua tetapi Anisa masih saja kesal sama Adi. Kami semua pun bingung dengan apa yang terjadi sama Anisa.
"Mohon dimaklumi ya, Lay, kedua anak saya kalau marah emang suka enggak tahu tempat."
"Iya enggak apa-apa kok, Bu. Saya sangat paham sekali."
Tante Adel mengelus dada. "apa sih yang membuat kamu jadi semarah ini sama Abang? Apa karena Abang perginya kelamaan?"
"Enggak, Mah. Aku cuma kesal karena Abang enggak bawa pesananku." Anisa bersedekap.
Adi menelan ludah. Sepertinya dia sudah tahu kesalahan apa yang telah dia perbuat sampai membuat Anisa menjadi seperti ini.
"Maafin, Abang, ya Dik?" Adi memasang wajah seceria mungkin untuk menghibur Anisa yang tengah kesal.
"Tuh kan bener, Abang, lupa belikan." Anisa semakin marah.
"Tentu enggak dong, Dik. Abangmu ini masih ingat betul pesanan kamu." Adi kembali ke motor lalu membawa dua buah plastik kresek.
Anisa masih mempertahankan wajah kesal, gue tahu kenapa Anisa begitu karena Anisa mau memastikan bahwa Adi memang membawa pesanannya.
"Taraaa ... ini kan pesanan kamu?" Adi membuka dan ternyata Anisa marah sama Adi hanya karena ini? Syukurlah, bunda dan ayah enggak memberikan gue adik, bisa botak nih kepala direngekkin terus sama adiknya.
"Terima kasih ya, Abang." Anisa lalu menyambarnya. "tadi pagi tuh aku sudah menaruh tedy bear di jok motor eh aku nya lupa kalau enggak akan muat dengan bonekaku."
Yaps! Tepat sekali, Anisa marah hanya karena sebuah boneka tedy bear. Kelakuan anak SMA memang suka membuat orang dewasa harus lebih sabar dari biasanya.
Adi mengusap rambut Anisa yang tertutup jilbab. "sekarang sudah enggak marah lagi kan?"
Anisa menggeleng. "sudah enggak dong."
"Kenapa, Lay?" Adi terus menatapku. "ingin boneka seperti punya Anisa?"
"Eh enggak, Bang. Saya hanya salut saja sama Bang Adi bisa sesabar ini." gue terlihat salah tingkah.
Apa yang gue lihat tadi pagi ternyata Adi memang enggak semenyebalkan sekarang. Beruntungnya Anisa mempunyai abang yang sabar seperti Adi.
"Abang tuh sebenarnya sweet banget tapi kadang ya gitu sedikit kambuh, Lay." Ucap Anisa.
Tante Adel menatap Anisa tajam. "eh kamu enggak sopan ya sama Lay?"
Gue mengkerutkan dahi. Apa maksud Tante Adel yang mengatakan Anisa enggak sopan? Padahal yang bisa gue amati barusan Anisa enggak menyinggung perasaanku.
"Enggak sopan gimana sih, Mah? Aku kan enggak bilang kasar." tanya Anisa.
"Kamu tuh harusnya panggil Lay dengan 'Kak', umur kalian kan beda dua tahun." omel Tante Adel.
Ouh rupanya Tante Adel mempermasalahkan panggilan. Gue sendiri enggak masalah dipanggil begitu karena gue juga engggak mau jika terlihat sudah tua.
"Enggak apa-apa kok, Bu. Wajah saya dan Anisa kan sama imutnya, enggak masalah kok dipanggil nama saja, Bu." gue mencoba melindungi Anisa.
"Jangan, Lay. Sebab dikeluarga kita harus menghormati orang yang lebih tua dari kita." sambung Adi bijak. Kalau begini terus lama-lama gue bisa berbelok dan jatuh hati sama dia.
"Maaf ya Kak Lay, tadi aku kira umur Kakak sama seperti aku karena Kakak emang terlihat baby face." sesal Anisa.
"Beneran enggak masalah kok, Nis. Saya paham banget."
"Iya sudah kalian lanjutkan saja istirahatnya, saya masih ada pekerjaan yang belum selesai." Tante Adel membawa kotak bekal yang dibawa Adi.
"Perlu aku bantu, Mah?" tawar Adi.
"Enggak usah, Bang. Sebaiknya kamu ajak Anisa dan Lay buat makan siang."
Sudah tidak terlihat lagi tante Adel, gue pun bingung harus melanjutkan makan siang sekarang atau nanti sebab Anisa pun belum menyentuh makanannya kembali.
"Ayo silakan dilanjut lagi, Kak Lay. Nanti habis ini kita bisa lanjut ghibah apalagi ghibahin Abang." Ucap Anisa jahil.
"Ouh iya, Nis." jawabku singkat.
Lima menit sudah kami menghabiskan makanan yang ada dibekal masing-maisng. Gue pun tak lupa menawari mereka camilan yang tadi sempat gue bawa.
"Kakak kenapa sih milih bekerja jadi pelayan?" tanya Anisa.
"Buat melanjut hidup dong, Nis." jawabku bercanda.
"Enggak mungkin banget deh, Kak. Gita bahkan bilang loh kalau Kakak juga biasa hidup dimanja. Dan sekarang bisa berubah begitu." tanya Anisa lagi.
Di sini sepertinya ada yang aneh, tadi Anisa dimarahi karena panggil gue enggak ada kata 'Kak' bukankah Gita seumuran dengan gue? Apa bedanya gitu?