Gue seperti tertarik dengan hal yang berbau menantang, dan entah apa yang membuat gue yakin ingin sekali untuk mencobanya meski gue sendiri ragu untuk melakukannya.
Enggak ada salahnya juga gue mencoba selagi Gita enggak ember lalu memberitahu tentang rencanaku yang sungguh menyenangkan.
"Lo serius mau kerja dibutik? Kerjanya bisa menyita waktu kuliah lo." larang Gita.
Gue menggeleng. "sudah sih lo tenang saja. Lagipula, bunda enggak akan marah jika gue bekerja di sini."
Gita mengelus dada. "sahabat gue emang sudah gila." cibirnya.
Salahnya sendiri mengajak gue mampir disalah satu butik muslimah, gue kan jadi khilap. Dan kalau gue khilap pulang-pulang bisa beli gamis satu set. Siapa yang sangka dikaca tertulis pengumuman jika di sini membutuhkan satu orang karyawati untuk bantu-bantu butik. Lumayan kan uangnya bisa gue tabung buat beli novel kesayangan.
"Buruan, Git, temenin gue ngobrol sama pemiliknya? Katanya lo ponakan yang punya butik?" gue menggeret Gita sampai masuk di depan ruangan khusus untuk karyawan yang serius mau melamar pekerjaan.
Suatu kebetulan yang sangat mengasikkan bukan? Gita adalah ponakan yang punya butik, jadi gue enggak usah susah-susah untuk menulis lamaran pekerjaan sebab gue baru kali ini melamar kerja. Rasanya seperti akan dipinang oleh seseorang.
"Nanti kalau ada teman kita yang tahu lo kerja gimana?" tanya Gita khawatir.
"Santai saja Git, gue kan mentalnya baja. Enggak masalah kalau ada yang tahu, gue malah kepikiran mau nawarin mereka buat beli gamis dibutik ini." jawabku bersemangat.
Gita menghela napas. "ya sudah kalau itu mau lo. Ayok kita masuk ke dalam sebelum tante gue sudah menerima orang lain." ajaknya.
Ruangan kecil ini ada AC yang membuat gue harus mengusap kedua lengan beberapa kali. Dinginnya seperti kita tinggal di kutub utara walau gue enggak tahu kondisi aslinya di sana seperti apa.
"Assalamualaikum Tante Adel." sapa Gita lalu mencium tangan tantenya. Gue pun melakukan hal yang serupa.
"Waalaikumsalam, tumben banget ponakan Tante langsung ke ruangan? Biasanya cuma beli lalu lupa untuk menyapa Tantenya." tanya Tante Adel dengan senyum merekah.
Gita nyengir. "maafin Gita ya Tan tapi kali ini maksud kedatangan Gita ke sini mau menanyakan tentang lowongan kerja." jelasnya.
"Loh emangnya kamu mau bekerja di sini? Yakin sudah dapat restu dari abangmu?" goda Tante Adel, langsung membuatku teringat dengan cinta pertamaku yang kebetulan adalah abangnya Gita.
Gita menggeleng. "bukan aku yang mau melamar kok Tan, tapi ..." dia menyikut lenganku.
"Saya, Lay, yang akan melamar kerja di sini, Bu tapi belum buat lamaran kerja." Ucapku jujur.
Tante Adel tertawa sekencang-kencangnya. "jangan terlalu formal begitu dong, Nak. Saya tahu kok kamu kan sahabatnya Gita."
Huft! Syukurlah jika Tante Adel tidak memarahiku karena gue belum buat lamaran kerja. Eh tetapi gue enggak tahu juga sih sebab beliau belum menyinggung ke arah sana.
"Gimana nih, Tan? Apa sahabat aku diterima kerja di sini atau ditolak? Lay belum ada pengalaman kerja sama sekali, Tan." Gita membungkukkan tubuh. "maklum dia anak manja, Tan. Lagaknya mau kerja."
Wah parah! Gita bukannya menjunjung tinggi gue dengan cerita yang baik, tetapi gue malah dijelek-jelekkin sama dia. Gimana sih nih orang, harapan gue bisa diterima kerja di sini bisa pupus begitu saja.
"Maaf ya Tan, Gita orangnya suka gitu. Saya akan berusaha keras kerja di sini kok,Tan." sanggahku memperbaiki image yang sedikit buruk akibat ulah Gita.
Tante Adel mengulurkan tangan. "baiklah, Tante, akan coba training kamu di sini selama satu bulan jika kerja kamu emang bagus, maka Tante enggak akan segan-segan menaikkan gaji kamu. Dan ini berlaku untuk semua pelamar yang ada di sini."
Gue mencubit kedua pipi. "i-ini serius saya diterima di sini, Tan?" tanyaku tak percaya.
"Tentu dong Nak. Mulai besok kamu bisa mulai kerja dan kita sesuaikan saja dengan jam kuliah kamu karena di sini juga banyak anak kuliahan kok." jawab Tante Adel.
Hari ini sungguh membuatku terbang diawan, gue sama sekali enggak menyangka sebentar lagi akan mendapat uang dengan keringatku sendiri. Dan, orang ketiga yang akan gue beritahu adalah, Andra, orang yang ragu gue bisa menjadi anak yang mandiri.
"Enggak apa-apa nih saya belum nulis lamaran kerja, Tan?" tanyaku memastikan.
"Iya enggak apa-apa kok Nak. Tapi kalau kamu enggak sibuk bisa sekalian buat lamaran kerja biar karyawan yang lain tahu kamu sudah diterima di sini." jawab Tante Adel.
"Cie, cie yang sudah dapat kerjaan. Sekarang gue enggak bisa sering ajak lu main dong?" tanya Gita sedih.
"Tentu bisa, Git. Tapi mainnya kali ini kamu harus belanja gamis dibutik Tante." lanjut Tante Adel dengan candanya. Gue pun akhirnya ikut tertawa, sedang Gita hanya cemberut karena enggak ada yang bela.
"Mohon bimbingannya ya Tante Adel, kalau Lay ada salah mohon diingatkan." gue menunduk.
"Iya Nak. Sudah pokoknya kamu tenang saja, Tante, akan memberikan pelajaran yang baik buat kamu."
Gita mengakhir pembicaraan kami bertiga. Baru kali ini gue merasa ada yang hidup dan hilang selama ini. Gue jadi enggak sabar ingin segera menantikan hari esok agar bisa langsung bekerja dibutiknya tante Adel.
Selama dua hari ini dosen masuknya selalu pagi, gue terpaksa besok berangkat siang padahal besok pertama kalinya gue kerja. Mau gimana lagi gue harus terima konsekwensinya.
Baiknya tante Adel memahami kondisi gue saat ini. Beliau juga enggak sungkan melonggarkan semua karyawannya asal setelah datang dibutik, pikiran dan hati hanya untuk bekerja bukan ke mana-mana.
***
Sepulang dari butiknya tante Adel, gue dan Gita memutuskan pulang secara terpisah sebab Gita sudah diminta pulang oleh mamahnya karena persediaan bumbu dapur sudah habis. Gue juga harus banyak istirahat besok kan sudah mulai kerja.
"Mukanya cerah banget, Neng?" goda si botak alias Andra.
"Kok lo masih di rumah sih? Bukannya ke kampus?" tanyaku sarkas.
"Loh terserah saya dong! Emangnya salah jika dosen libur sehari?" Andra balik tanya.
"Iya enggak ada salahnya sih tapi aneh saja." gue malas juga jika lama-lama berdebat sama dia. Nanti yang ada tenaga gue yang harusnya disimpan untuk kerja jadi terbuang sia-sia.
Baru juga gue masuk ke dalam rumah, suaranya menginstrupsi untuk gue berhenti di tempat. Andra tuh memang manusia yang paling menyebalkan diseluruh kompleks ini.
Perasaan tetangga gue yang lain enggak ada tuh yang serese Andra. Heran saja, Andra, dikasih makan apaan sama emaknya. Setahu gue, mamahnya masak sama seperti orang pada umumnya. Atau bisa jadi Andra waktu mau makan lupa baca doa makanya setan ikut makan bersamanya.
"Besok saya akan mengadakan kelas tambahan, tolong kasih tahu teman-teman yang lain." titahnya.
"Jangan gila dong Pak Botak? Ya kali ada pelajaran tambahan?" protesku.
Apa-apaan nih pakai acara kelas tamabahan, itu artinya gue harus pulang sore sedang gue pun enggak mungkin izin di hari pertama gue berangkat kerja. Sepertinya gue harus minta bantuan orang dalam untuk menyakinkan si botak yang selalu bikin gue naik darah.
Dia enggak tahu saja gimana jahatnya gue saat dunia gue diusik oleh seseorang. Apalagi yang mengusik adalah orang yang paling gue hindari kalau bisa gue enggak ketemu sama tuh orang sekalian biar hidup gue, aman, tentram dan sejahtera.