Ini semuanya gara-gara si botak, andai saja dia enggak membuat keributan pasti gue enggak akan sepusing seperti sekarang. Kalau gue pikir lagi jalan pintas adalah bilang sama mamahnya Andra tetapi enggak mungkin pasti beliau ujung-ujungnya juga akan mengadu sama bunda.
Daripada bunda tahu gue bekerja dari mulut orang lain, lebih baik gue sendiri yang bilang. Paling kalau bunda tahu ujung-ujungnya cuma dimarahi karena gue terlalu gegabah dalam mengambil keputusan tanpa bermusyawarah.
"Bunda lagi sibuk apa?" tanyaku bergelayut manja.
"Lagi baca majalah, tumben nih kamu begini? Pasti ada maunya ya?" tuduh Bunda tepat sasaran.
Gue mencolek dagu Bunda. "ih, Bunda nih pintar deh, tahu saja kalau anaknya ada maunya." Ucapku genit.
"Tentu Bunda tahu. Kamu kan walaupun bandel begini tetap anaknya Bunda." majalah sudah ditutup oleh Bunda. "sekarang kamu mau bilang apa sama Bunda?"
"Paling juga mau minta uang jajan lagi, Bun. Koleksi novelnya kan masih kurang, Bunda." sambung Ayah selalu jadi team provokator.
Suatu obrolan enggak akan seru jika enggak ada provokator. Namun kali ini gue akan membuat orang tua gue tercengang dengan rayuanku ini. Bukan lagi soal meminta dibelikan novel baru tetapi karena ada hal lain.
"Enggak kok Bun. Seriusan, Lay, enggak minta dibelikan novel baru." bantahku memasang wajah serius.
"Iya, iya deh Bunda percaya kok." Bunda mengelus rambut panjang gue yang selalu tertutup jilbab. "katanya mau bilang, silakan bilang saja, Lay."
Gue memainkan sepuluh jari tangan. "s-sebenarnya, Lay, besok sudah mulai diterima kerja dibutik tantenya Gita, Bun, Yah." Ucapku menatap mereka bergantian.
Ayah terdiam cukup lama lalu tertawa sampai memegang perutnya.
"Lay, kalau mau ngerjain Ayah dan Bunda enggak begini caranya? Mana mungkin seorang Layinah mau kerja, apalagi dibutik?" Ucap Ayah tak percaya.
"I-ini serius tahu, Yah! Lay benar-benar kerja dibutik tantenya Gita dan besok adalah hari pertama Lay kerja." kesal juga Ayah masih menganggap kalau gue cuma bercanda. Beliau enggak tahu apa jika gue sudah keringat dingin memikirkan hari esok akan seperti apa.
"Inna serius? Enggak lagi ngerjain Bunda dan Ayah kan?" tanya Bunda.
Kalau, Bunda dan Ayah dalam mode serius panggilan mereka akan berubah menjadi 'Inna'. Dan jujur gue enggak terlalu nyaman dengan panggilan itu karena bagi gue seperti panggilan anak kecil. Ditambah gue juga kesal setiap kali masuk ke kamar mandi ada tulisan nama 'Ina' di sana.
"Lay serius ya Bun,Yah. Emang ada nih wajah Lay berbohong?" gue mengusap seluruh wajah.
"Kenapa, Inna, memutuskan untuk kerja? Uang jajan dari Ayah dan Bunda kurang?" tanya Ayah.
"Emangnya, Lay, salah jika kuliah sambil kerja?"
Gue bisa membaca kedua raut wajah mereka enggak suka jika gue bekerja. Padahal gue sempat mengira mereka akan bangga karena gue sudah mulai hidup mandiri.
"Enggak salah sih Lay tapi ini kerja sambil kuliah. Apa kamu enggak khawatir akan menganggu kuliahmu?" tanya Bunda enggak rela.
Gue menggeleng. "insya Allah enggak akan menganggu kok Bun, Yah. Jadi apa kalian merestui Lay buat bekerja?"
Ayah menghela napas. "ya meskipun berat tapi Ayah setuju kamu kerja."
"Ayah kok begitu? Anak kita mau bekerja loh? Nanti apa kata teman-temannya kalau tahu dia kerja?" Bunda terkejut melihat respon Ayah yang berpihak sama gue.
Satu restu berhasil gue dapatkan, sekarang tinggal menyakinkan Bunda. Sepertinya enggak akan sulit sebab kami sesama perempuan selalu mengedepankan perasaan bukan pikiran.
Baru kali ini gue melihat Bunda sangat khawatir sampai seperti ini. Apa salahnya sih kuliah sambil kerja? Seharusnya Bunda bangga bukannya sedih.
"Bunda masa iya, Lay, sudah dewasa begini masih harus diatur-atur? Coba dong, Bun, sekali saja, Lay, melakukan apa yang menurut, Lay, menyenangkan." rayuku.
"Kamu yakin mau kerja? Ini enggak main-main loh, Inn?" Bunda masih meragukan kemampuanku. Kalau begini gue jadi semakin tertantang semangat untuk kerja.
"Lay yakin banget, Bun. Lumayan kan Bun uangnya bisa Lay gunakan buat beli novel?" gue sudah membayangkan lemari belajar hanya terisi dengan deretan novel bukan cuma buku mata kuliah.
Ayah mengetuk kepalaku. "pikirannya jangan cuma buat beli novel terus tapi juga ditabung buat masa depanmu sendiri." omelnya.
Gue nyengir. "siap Ayah. Lay akan menyisihkan uang menjadi dua tabungan, satu untuk beli novel dan satunya lagi untuk masa depan, Lay, sendiri."
"Nah itu baru anak Ayah." Ayah mengobrak-abrik rambutku.
Kali ini gue enggak ada tenaga buat omelin Ayah yang sudah membuat rambutku menjadi berantakan. Karena gue hari ini juga harus bisa dapat restu dari Ayah dan Bunda, kalau enggak gue bakalan enggak enak sama tante Adel harus minta kelonggaran di hari pertama kerja.
Mungkin kalau gue bilang sama tante Adel tentang kondisiku yang sekarang beliau akan mengerti karena gue bukannya malas berangkat kerja tetapi ada jam mata kuliah tambahan dari dosen tersayang. Hanya saja gue takut jika teman-teman kerja merasakan sebuah keadilan yang tidak merata.
Salah satu yang menjadi alasan gue kerja biar bisa dapat teman banyak karena gue yakin pengalaman orang yang sudah pernah bekerja tidaklah main-main.
"Bunda gimana? Sudah setuju kan kalau, Lay, bekerja?" pintaku sangat berharap.
"Sudahlah, Bun, diizinkan saja. Lay kan kerja di tempat yang terpacaya dan lagipula di sana juga jarang ada pembeli laki-laki kecuali mereka belikan gamis untuk pasangan atau keluarganya." Ayah juga ikut membantuku menyakinkan Bunda.
Bunda menatapku lekat. "baiklah, Bunda, setuju kamu bekerja tapi dengan catatan harus bisa fokus antara kuliah dan pekerjaan. Kamu sudah sanggup?"
"Insya Allah, Lay, sudah memikirkan semuanya dengan matang kok, Bun." gue memeluk Bunda. "terima kasih ya Bun sudah percaya sama Lay."
"Iya, Lay. Bunda pun berharap setelah bekerja kamu bisa berubah menjadi pribadi yang semakin tambah dewasa."
Alhamdulillah! Sudah enggak perlu ada yang dikhawatirkan lagi, kedua restu sudah gue kantongi. Sekarang gue harus meminta bantuan dari Bunda untuk menyakinkan tetangga tersayang, si botak Andra.
"Bun apa, Lay, boleh minta bantuan?" tanyaku lirih.
"Tentu saja boleh dong, Lay. Mau minta bantuan apa?"
Ayah menatapku jahil. "paling juga minta sesuatu yang sangat penting." tebaknya.
"Begini, Bun, tadi sebelum, Lay, masuk ke rumah kak Andra mengatakan besok ada jam tambahan di mata kuliahnya." jedaku mempersiapkan mental. "maksudnya, apa Lay boleh minta Bunda untuk membujuk kak Andra untuk tidak memberikan jam mata kuliah tambahan?"
"Baiklah nanti coba Bunda minta nak Andra buat ke rumah membicarakan soal hal ini." Bunda mengangguk paham tanpa memprotes.
"Salah dong, Bun! Harusnya Bunda dan Lay yang datang ke rumahnya nak Andra bukan sebaliknya." protes Ayah.
"Benar juga kata, Ayah, Lay. Sebaiknya kita emang harus yang ke sana. Atau begini saja, kamu coba ke sana sendirian, kalau emang enggak berhasil maka Bunda akan bantuin?" saran Bunda.
Paling malas jika harus berhubungan dengan si botak karena gue tahu bicara sama dia hanya membuang waktu secara percuma. Andra akan luluh jika gue bicara dengan orang yang bisa membuatnya tidak bisa berkutik seperti Bunda dan Ayah.
Iya sudahlah, enggak ada salahnya gue coba dulu. Kalau memang enggak bisa membuat Andra merubah pikirannya maka gue akan meminta bantuan Ayah dan Bunda.