Seluruh tubuhku gemetaran seperti mau bertemu dengan orang penting saja. Berbekal dengan pakaian yang sederhana gue hanya bisa berharap bisa melunakkan keras kepalanya dia.
"Wah calon menantu Mamah ada di sini nih?" goda Tante Rika, mamahnya Angga.
Gue tersipu malu. "calon menantu dari hongkong ya, Tan."
Jangan ada yang salah paham arti sikapku dengan Tante Rika karena beliau bilang begitu hanya ingin mengkode anaknya untuk segera menikah. Sayang sekali anaknya masih betah melalang buana tanpa memberi kepastian dengan semua perempuan yang pernah dipacarinya.
"Coba deh, Lay, bujukin anak bujangnya Tante untuk segera melamar anak gadis orang." Tante Rika benar-benar kesepian. Memang tuh si botak tega banget melihat mamahnya yang sudah sangat ingin menimang cucu.
"Kita jebak saja, Tan. Pura-pura saja ada perempuan yang berbadan dua lalu minta tanggung jawab sama bo... eh maksud aku, kak Andra, Tan."
Mulut gue ini memang ember banget, bisa-bisanya gue hampir keceplosan memanggil nama anaknya dengan nama ledekan.
"Jangan deh, Lay. Tante agak serem kalau itu, gimana nanti perempuan itu ketagihan dan mengambil harta anak, Tante dengan kedok bahwa itu anaknya?" Tante Rika menggeleng tak setuju.
"Iya juga sih, Tan. Nanti kalau bayinya ganteng bisa keenakan tuh kak Andra." gue membayangkan bayi perempuan sewaan mirip Justin Bieber dan Andra bisa bangga dengan anak pura-puranya.
"Apa-apaan nih? Kalau mau nyindir harus dihadapannya langsung dong, Mah." sambung Andra cemberut lalu duduk di samping Tante Rika.
"Eh ada anak bujangnya Mamah sudah datang." Tante Rika tersenyum miring.
"Ngapain kamu ke sini? Mau ngapelin saya?" cibir Angga.
Coba saja di sini enggak ada Tante Rika, gue sudah membalas nyinyiran si botak. Percaya diri banget gue ngapelin dia, lebih baik gue juga ngapelin abang penjual telur gulung bisa dapat kenyangnya. Belum lagi kalau penjualnya ganteng, semakin betah lama-lama di sana.
"Hust, kamu nih kalau bicara suka sembarangan." tegur Tante Rika.
Gue melirik Angga lalu tersenyum menang. Makanya jangan coba-coba melawan gue di rumahnya sendiri kalau enggak mau dikalahkan oleh gue.
"Maafin sikap childish Kak Andra ya Lay?" imbuh Tante Rika.
"Iya enggak apa-apa kok, Tan. Aku sudah terbiasa sama nyinyiran Kak Andra." gue meleletkan lidah. Andra terlihat sangat kesal sekali.
"Mamah nih bukannya belain anaknya sendiri malah belain anak orang?" rengek Andra.
Tante Rika berdiri lalu menyingkirkan kaki Andra yang menghalangi jalannya. "iya sudah Tante tinggal duluan ya? Kalian ngobrol saja enggak apa-apa."
Gue menggenggam tangan Tante Lusi. "jangan dong, Tan. Nanti aku dibully lagi sama kak Andra." cegahku.
Sebentar lagi Andra akan merasa menang jika Tante Rika membiarkan kami mengobrol berdua. Dan rencana yang telah gue buat bisa gagal.
"Enggak apa-apa Lay. Di sini kan tempatnya terbuka, kamu enggak usah takut kalau sampai Andra macam-macam sama kamu." Tante Rika masih kekeuh dengan pilihannya.
"Andra, anak baik-baik loh, Mah, mana mungkin macam-macam sama anak orang, apalagi orangnya dia." Andra melirikku tanpa minat.
"Emangnya apa yang mau Lay bicarakan sama Andra sampai Tante enggak dibolehin pergi?" tanya Tante Rika enggak tega gue dibully sama anaknya.
"Begini, Tan, Kak, aku mau minta sedikit konpensasi sedikit, apa boleh?" tanyaku gugup.
"Konpensasi apaan? Kalau berhubungan sama kuliah, saya enggak mau berikan nanti kamu bisa menyepelekan mata kuliah saya." tegasnya tanpa bisa dibantah.
Hadeh! Gue belum juga menyampaikan ke intinya, si botak mikirnya negatif terus. Kalau ada lomba orang tersuudzon, gue rasa Andra akan keluar menjadi juara pertama karena saking parahnya dia tidak percaya sama orang lain kecuali keluarganya sendiri.
"Iya entah ini termasuk konspensasi masalah kuliah atau enggak yang jelas ..." gue menetralkan diri agar tidak terlalu gugup. "besok saya sudah mulai bekerja, dan tolong banget buat Kakak, jam tambahannya diganti minggu depan saja. Aku akan usahakan untuk datang kok, bisa kan, Kak?"
Satu kata yang keluar dari mulutku saat ini hanyalah pasrah. Kalaupun memang si botak enggak mengizinkan mengundurkan jam mata kuliah tambahan maka dengan terpaksa gue enggak akan masuk demi hari pertama gue kerja.
Andra tertawa terbahak-bahak. "coba ulangi sekali lagi? Tadi kamu bilang apa?" ledeknya.
Gue menunduk malu. "aku besok sudah mulai bekerja dibutik tantenya Gita, Kak. Bisa kan jam tambahannya diganti jadi minggu depan saja?"
"Jangan diketawain dong! Gimana, Dra? Kasihan loh sama Lay. Mamah dulu pernah ada diposisinya, Lay." Tante Rika mana tega melihat gue sedih begini.
"Bukan begitu, Mah. Saya hanya kaget saja, masa iya sih anak manja begini bisa kerja?" Andra meremahkan kemampuan gue.
"Beneran loh, Kak. Aku emang kerja dan kalau Kakak enggak percaya bisa tanya sama Gita atau mau aku antar ke butiknya langsung?" tawarku.
Apapun akan gue lakukan biar bisa ontime dihari pertama kerja. Setelah ini gue mana mau memohon sama si botak yang menyebalkan. Gue sampai begini dianya enggak ada respon, sibuk dengan pemikirannya sendiri.
"Enggak perlu! Oke saya akan mengundurkan, enggak jadi besok tapi minggu depannya. Dan saya harap kamu beneran bisa datang ke kelas tepat waktu." Andra melirikku sekilas.
Gue membulatkan mata. "i-ini serius Kakak mau mengundurkan harinya? Enggak jadi besok kan, Kak?" tanyaku tak percaya.
"Iya serius. Lagipula besok saya juga ada nikahan teman, habis mengajar langsung cabut ke tempatnya." jelas Angga sembari mengangguk.
"Alhamdulillah." gue mengadahkan kedua tangan ke atas. "terima kasih banyak ya Kak Andra?"
"Iya sama-sama." Andra terlihat salah tingkah.
Syukurlah! Rupanya, Andra, masih punya hati juga, gue kira tadi dia akan menolak secara mentah-mentah. Bunda juga akan senang mendengar berita yang akan gue bawa pulang.
"Emangnya kamu kerja sebagai apa?" tanya Tante Rika tertarik dengan topik baru.
"Kerja sebagai pelayan toko, Tan. Kayaknya seru sih, Tan, aku mau mencoba hal yang baru." jelasku dengan kedua mata berbinar.
"Bagus! Anak muda sekarang memang harus keluar dari zona nyaman." puji Andra langsung membuat gue syok.
Ini gue lagi enggak mimpi kan? Bisa-bisanya Andra memujiku dengan tulus tanpa ada embel-embel. Sungguh suatu sejarah yang harus diabadikan, namun sayang banget gue tadi enggak sempat merecodenya.
"Emangnya kamu enggak malu kerja di toko?" tanya Tante Rika memandangku kasihan.
Gue menggeleng. "tentu enggak, Tan. Bagi aku apapun pekerjaanya yang penting dapat uang dan halal, Tan."
"Bener kata Lay, Mah. Ngapain sih harus mendengarkan nyinyiran orang sebab kita enggak akan kenyang hanya dengan nyinyiran mereka." lagi. Andra kembali setuju dengan ucapan gue.
Tante Rika berdiri lalu duduk di sampingku. "anak kesayangan, Tante, sekarang sudah tumbuh jadi perempuan yang dewasa ya?"
"Iya dong, Tan. Nanti kalau aku masih anak kecil enggak bisa membahagiakan ayah dan bunda dong?" candaku sambil tertawa garing.
"Nanti kalau Lay jadi bocil terus hidup Andra yang pusing dong, Mah. Setiap hari harus digangguin sama bocil ini." ledek Andra.
Baru juga gue mau muji dia karena sudah baik eh sekarang balik nyinyir lagi. Memang ya dia paling enggak bisa melihat orang lain senang.
"Saya hanya bercanda kok, Lay. Kamu harus semangat dengan pekerjaan itu karena sudah jadi pilihanmu. Dan sekali lagi abaikan nyinyiran orang." imbuhnya.
Enggak perlu malu jika pekerjaan yang kita kerjakan buruk dimata orang lain karena kita butuh bertahan hidup dan itu enggak cukup jika harus mendengarkan nyinyiran orang lain.