Malam menjelang. Nina duduk di atas ranjangnya di dalam kamar kos-kosan yang berukuran 3x3. Kamar itu memiliki dua ranjang yang saling berseberangan, sebuah lemari kayu dan dua rak pendek tempat segala macam kosmetik dan benda-benda milik mereka. Nina sekamar dengan Suci di kamar yang sederhana berdinding kusam. Sebenarnya mereka tidak hanya tinggal berdua saja, tapi dengan banyak anak-anak kos yang lain mengontrak jadi satu rumah. Mereka menamakan kontrakan mereka Al Husna.
Tuuut! Tuuut!
Suara gawai Nina melakukan panggilan kepada ibunya di Yogyakarta.
"Assalamua'alaikum," sapa Nina saat panggilannya tersambung.
"Wa'alaikumsalam. Hehehehe...," terdengar suara tawa ibu Nina.
Nina menatap gawainya heran. Ada apa tho Ibu langsung ketawa? pikir Nina.
"Akhirnya kamu yang telepon duluan. Seneng ya bikin pusing bapak sama ibumu?" tanya ibu Nina, "aku taruhan sama bapakmu, kira-kira Nina bakalan telepon gak ya. Ibu menang," lanjut ibu Nina yang membuat Nina juga langsung tertawa.
"Kamu pasti penasaran, kenapa kok kami gak panik cari kamu?" tebak ibu Nina.
Nina merasa tebakan ibunya benar.
"Inggih sepuntene,"* ucap Nina dengan nada merendah.
"Kamu ... sebenarnya juga gak salah kok, Nduk. Kami yang terlalu berharap. Seharusnya memang Ayu yang menikah sama Lintang, bukan kamu. Tapi...orang tua Lintang sore itu memang datang ke rumah. Kami sudah membicarakan semuanya dan hasilnya ...," ucap Ibu Nina menggantung.
Dalam hati Nina berharap perjodohan itu dibatalkan dan Nina bisa bebas.
"Mereka tak keberatan jika kamu yang menggantikan menikah sama Lintang," lanjut ibu Nina.
Deg! Hati Nina kecewa sampai tak bisa berkata-kata.
"Nduk, kami sudah tua. Kami minta sekali ini saja penuhi permintaan kami. Lagipula ini kan wasiat kakekmu sebelum meninggal. Tabu jika tak dipenuhi. Mengenai kakakmu nanti kami cari solusinya agar kembali ke Indonesia. Yang penting sekarang agar keluarga Pramodya tak kecewa dengan keluarga kita. Mereka keluarga yang memegang prinsip. Ibu harap kamu bisa memahami hal ini," terang ibunya.
Nina diam sesaat.
"Apa Bapak Ibu pernah memahami Nina? Bapak Ibu apa pernah menanyakan Nina setuju apa tidak?" tanya Nina mencurahkan uneg-uneg* yang ada dalam hatinya.
Kesunyian menyela, tak ada jawaban di seberang panggilan.
"Halo, Bu...," panggil Nina.
"Maafkan kami," ucap ibu Nina.
"Baiklah begini saja. Sebentar lagi Nina liburan semester selama dua bulan. Biar Nina jemput Mbak. Bagaimana pun juga dia harus tanggung jawab, bukan Nina. Jika Nina berhasil, maka Mbak Ayu yang akan tetap menikah dengan Lintang. Jika Nina tak berhasil membawa Mbak Ayu pulang, Nina yang akan menikah dengan Lintang," ucap Nina.
"Kamu memang anak yang baik. Seperti itu saja," ucap Ibu Nina.
Dalam hati Nina tetap berharap Ayu mau pulang. Sebenarnya Nina juga kesal harus membuat taruhan seperti itu dengan orang tuanya, tapi mengingat tentang bakti terhadap orang tua, Nina merasa tak tega jika menyakiti orang yang telah melahirkan dan membesarkannya.
"Sudah makan?" tanya ibunya
"Dereng,"* jawab Nina yang belum makan malam.
Sebuah panggilan masuk. Nomor asing.
"Bu, ada panggilan telepon yang lain. Kututup dulu ya," ucap Nina.
"Ya sudah," ucap ibunya.
"Inggih. Assalamu'alaikum," ucap Nina.
"Wa'alaikumsalam," jawab ibunya.
Panggilan yang lain berhenti saat Nina memutus panggilan dengan ibunya. Nina mengerutkan dahi. Kode nomor teleponnya sepertinya bukan panggilan dalam negeri. Sepertinya dari luar, apa Mbak Ayu ya? batin Nina.
Pintu kamar terbuka. Suci masuk ke dalam kamar sambil membawa kantong plastik yang berisi makan malam mereka.
"Ada apa, Nin?" tanya Suci melihat Nina tercenung sambil melihat gawainya.
"Barusan telepon sama ibu di Yogya. Terus ada nomor asing masuk tapi diputus," jelas Nina.
"Makan yuk," ajak Suci lalu mengambil piring plastik dari rak.
Nina turun dari ranjang. Mereka duduk berhadapan di atas tikar karet. Makan malam mereka kali ini hanya sebungkus nasi lalapan ayam.
"Nin, kenapa kamu menolak perjodohan itu?" tanya Suci penasaran.
"Aku masih pingin nerusin kuliah dulu. Lagipula aku ...," ucap Nina terputus.
"Handika kan alasannya?" tanya Suci memutus ucapan Nina.
Nina melempar daun kemangi ke arah Suci.
"Aku masih punya banyak idealisme yang belum tercapai. Aku belum mau menikah dalam waktu dekat," terang Nina.
Suci tertawa.
"Emangnya kamu sudah lihat wajah si Lintang itu kayak apa? Kok kamu langsung menolak begitu saja," tanya Suci.
Nina menggeleng. Suci tertawa.
"Siapa tahu dia lebih gantheng daripada Handika," ucap Suci.
"Iya sih, dia dokter, lulusan luar negeri, sudah mapan, orangnya seperti apa aku juga gak tahu," ucap Nina.
"Nah tuh. Kenalan dulu makanya, siapa tahu kamu berubah pikiran setelah itu. Aku pikir setiap orangtua ingin yang terbaik untuk anaknya, begitu juga orangtuamu," terang Suci.
Nina berhenti mengunyah. Dia membenarkan perkataan Suci dalam hati, tapi dia masih ingin sendiri, tidak ingin cepat-cepat menikah karena ingin belajar lebih banyak lagi. Cita-citanya sebagai guru belum tercapai. Sederhana, dia hanya ingin mengabdi pada masyarakat dengan ilmunya. Jika dia menikah dengan Lintang, mau tak mau harus ikut ke Jerman. Nina tak bisa membayangkan kehidupan di sana seperti apa. Lebih baik Nina tetap dalam pendiriannya.
Sebuah pesan masuk ke gawai Nina. Gadis itu membuka gawainya dengan tangan sebelah.
[Nin, ini aku Ayu. Ini nomor baruku. Jangan beritahu ibu bapak ya. jangan punya pikiran membujukku pulang ke Yogya. I'm happy here.* Oh ya, kamu sudah ketemu Lintang? Nggantheng* kan orangnya, kayak bintang Korea]
Nina membalas pesan Ayu [Brengsek kau, Yu...] tapi dihapusnya. Nina diam sebentar memikirkan kata yang tepat.
[Aku kabur ke Solo. Aku belum ketemu sama Lintang] jawab Nina.
Sebuah emoticon LOL muncul dari Ayu. Hati Nina begitu gemas ditertawakan kakaknya.
Nina mencoba menghubungi nomor Ayu, tapi langsung di tolak begitu saja. Nina kesal.
[Kupikir kamu cocok dengannya Nin daripada aku. Jangan menyesal ya nanti] tulis Ayu.
Sebuah gambar masuk terdownload otomatis. Sebuah foto Lintang membuat Nina membelalakkan mata. Si Hyun Bin. Astaghfirullah! batin Nina lalu menepuk jidatnya.
***
Nina sudah siap pagi-pagi dengan semua barang yang akan dipamerkan di stand expo di halaman kampus. Selepas subuh dia dan Suci sudah berangkat ke kampus untuk mengecek barang. Tinggal menunggu kakak ipar Suci, Mas Prasojo, untuk menjemput mereka membantu mengangkutkan barang dengan mobil mereka. Dari kejauhan ada dua sosok yang mereka kenal. Hendro dan Handika. Dua orang yang tak pernah terpisahkan. Mereka turun dari sepeda motor sambil membawa alat pemanggang dan kompor portabel.
"Kamu itu anak Sejarah kenapa ke jurusan kami terus," sindir Suci pada si Handika saat mereka sudah mendekat.
"Hehehe ...karena ada yang manis-manis di sini. Kebetulan aku suka yang manis," canda Handika sambil tersenyum manis. Nina menatap sosok itu lalu membalas senyum Handika.
"Gombal," sahut Nina yang ditanggapi tawa kecil oleh Handika. Suci langsung ilfell.
"Sudah semuanya?" tanya Hendro.
"Siap. Teman-teman yang lain nanti menyusul di TKP. Kita nunggu mobil ipar si Suci menjemput," jawab Nina, "bagaimana stand yang ada di taman kota? Siapa yang jaga hari ini?" tanya Nina.
"Si Anita dan yang lainnya. Terima kasih atas kerjasama dan kerja keras kalian," ucap Hendro.
Sebuah mobil warna silver datang mendekat ke arah mereka.
"Itu mobil Mas Pras," ucap Suci dengan mata berbinar karena yang ditunggu akhirnya muncul.
Suci melambaikan tangannya. Mobil itu semakin mendekat. Nina mengecek lagi bahan makanan yang akan dijual di expo mahasiswa.
"Assalamu'alaikum. Kalian dari prodi Bahasa Indonesia?" tanya sebuah suara.
"Iya, Mas siapa?" tanya Suci.
"Saya Lintang, teman Prasojo," jawab lelaki itu.
Demi mendengar nama Lintang, Nina langsung menoleh. Nina terkesiap, spontan menutup muka karena malu. Duh ya Allah, kenapa si Lintang bisa di sini? Pasti dia sengaja. Dia pasti akan menertawakanku karena kebodohanku tak mengenalinya kemarin, batin Nina.
Lintang menatap sosok berkerudung biru muda yang memunggunginya. Lintang langsung tersenyum.
"Ayo," ajak Lintang.
"Kemana Mas Pras?" tanya Suci sambil mengangkat kotak container berisi buku-buku yang akan dijual di pameran bersama Hendro ke dalam mobil.
"Beliau ada acara," jawab Lintang singkat, lalu berjalan menuju ke arah Nina.
"Ayo" ajak Handika.
Nina berbalik sambil menunduk dia mengangkat kotak container yang lain. Handika bergerak untuk membantu Nina, tapi Lintang sudah mendahului memegang box. Nina mengangkat wajahnya menatap Lintang dengan tatapan malu.
"Ayo," ajak Lintang.
Nina mengangguk lalu mengangkat kotak container bersama Lintang. Handika hanya menatap mereka. Akhirnya dia mengangkat kotak container yang lain sendirian.
***
Nina menyiapkan alat pemanggang. Dia memakai celemek dan topi koki. Matanya menatap Handika yang menjaga stand Sejarah tak jauh dari stand milik mereka.
"Tak kuduga kita bisa ketemu lagi di sini. Apakah ini takdir?" ucap Lintang di samping Nina.
Gadis itu menoleh.
"Maafkan aku tak mengenalimu saat di halte. Andai tahu itu kau mungkin aku sudah menjauhimu sejak awal," ucap Nina.
"Aduuuh, kata-katamu menusuk hatiku," ujar Lintang sambil memegang dadanya sambil bercanda, "kumaafkan, tapii...Apakah aku seseram itu sampai kau tak mau bertemu denganku? Ucapanmu sungguh sarkas. Tidakkah aku mirip Hyun Bin seperti yang dikatakan anak-anak SMA kemarin. Tidakkah itu keren?" tanya Lintang dengan nada menyombong.
Nina melirik Lintang.
"Narsis," komentar Nina yang ditanggapi tawa oleh Lintang, "aku yakin kau pasti menertawakan aku saat itu," ucap Nina.
"Tepat sekali, karena kau bodoh," ucap Lintang terus terang.
Nina mendelik kesal. Wajahnya langsung merengut melihat Lintang tertawa.
"Kau pikir kabur bisa menyelesaikan masalah?" tanya Lintang.
"Kenapa sekarang kau salahkan aku. Salahkan Ayu," jawab Nina defensif.
"Setiap hal bisa dikomunikasikan. Kau kira aku juga setuju dijodohkan? tapi ingatlah perasaan orang tua kita," terang Lintang menghadap Nina sambil melipat tangan di dada. "jangan egois," lanjut Lintang.
"Terus kau maunya seperti apa?" tanya Nina yang merasa kesal karena akhirnya dia yang disalahkan.
"Kita menikah, setelah beberapa bulan, aku akan menceraikanmu. Bagaimana?" tanya Lintang.
Nina diam tak bisa langsung memutuskan. Dia tahu betapa sakral sebuah pernikahan, dia heran mengapa Lintang begitu meremehkan hal itu.
"Pernikahan bukan sesuatu yang main-main. Jangan memulai sesuatu yang akan membuatmu menyesal," jawab Nina dengan wajah serius.
Lintang terlihat sebal, lalu mengalihkan pandangan ke arah yang lain.
"Memangnya kamu punya solusi yang lain?" tanya Lintang.
Nina menatap ke arah lain, para mahasiswa baru mulai berdatangan.
"Liburan semester ini aku akan ke Jerman menjemput paksa Ayu. Kalian selesaikan dan bicarakan saja sendiri apa jalan yang akan kalian tempuh. Jangan lagi melibatkan aku. Aku tak mau dikorbankan," terang Nina sambil tersenyum menyapa para mahasiswa yang berjalan menuju stand.
Sekelompok mahasiswi baru datang datang mendekat.
"Mbak bisa pesan sosis bakar sama burgernya empat. Es lemon tea-nya empat," ucap seorang mahasiswi malu-malu sambil menatap Lintang yang sedang berdiri di samping Nina.
"Ah ya, sebentar silakan duduk," ucap Nina sambil mempersiapkan pesanan para mahasiswa baru.
Mereka masih menggunakan jas almamater dalam acara pengenalan kampus. Nina jadi ingat pas masih mahasiswa baru, disaat itulah dia bertemu dengan Handika yang sedang duduk di sampingnya. Dalam balutan jas almamater, menggunakan tas yang terbuat dari kantong plastik besar berwarna merah. Handika masih unyu.
Nina memanggang sosis sambil menatap Handika yang sedang menjelaskan sesuatu kepada para mahasiswa baru. Senyum terbit di bibirnya. Nina sadar Lintang menghilang dari sisinya, ternyata lelaki itu sedang berfoto-foto bersama beberapa mahasiswi baru di taman tak jauh dari stand. Nina menghela napas. Bener-bener deh, jual muka, sok ngartis Korea, batin Nina.
"Kamsahamnida Oppa!"* ucap para mahasiswi sambil melambaikan tangan saat selesai berfoto dan mengobrol sambil ketawa ketiwi. Nina mendengkus kesal.
*Iya, minta maaf
*curahan hati
*belum
*tampan
*Aku bahagia di sini
*Terima kasih Kakak!