Chereads / ELBE'S LOVE STORY / Chapter 9 - BAB 8

Chapter 9 - BAB 8

Nina duduk berselimut di atas ranjangnya sambil memeluk lutut. Malam dingin, jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Para penghuni kontrakan sudah tidur. Hanya terdengar suara kendaraan lewat di kejauhan dan suara cicak yang berdecak. Dia menoleh melihat ranjang yang ada di sebelah. Si Suci sudah tidur sehabis salat isya berjamaah. Nina menatap gawainya. Dia membuka nomor Handika.

[Assalamua'alaikum]

[Bagaimana kabar ibumu?] tanya Nina.

Pesan terbaca. Handika online.

[Wa'alaikumsalam. Beliau masuk rumah sakit. Tekanan darahnya naik. Syukur tak sampai stroke] balas Handika.

[Syafahallah]

[Sudah makan?] balas Nina.

[Belum sempat. Sebentar lagi keluar cari makan, nunggu Mas datang dulu] jawab Handika.

[Jaga diri baik-baik, jangan lupa makan] balas Nina.

[Sudah malam. Istirahatlah. Esok ada kelas kan?] balas Handika.

[Dik...tadi di Lawang Sari aku ketemu Lintang] tulis Nina tapi setelah itu Nina menghapusnya.

[Ya] balas Nina singkat pada akhirnya.

Nina bersandar ke dinding. Dia menghela napas saat mengenang kejadian tadi sore di Lawang Sari bersama Lintang. Menurut Nina, Lintang lelaki yang baik. Dari segala aspek memang tak ada cacat, kecuali rasa percaya dirinya yang tinggi. Sampai saat ini mereka bahkan tak ada saling bertukar nomor. Entah, tak ada debar sama sekali dalam hati Nina pada Lintang.

Sepanjang sesi makan malam saat itu, Nina bisa melihat ada kesedihan yang tertangkap di mata Lintang sejak langgam Taman Sari dilantunkan. Apakah ada rahasia yang Lintang sembunyikan? tanya Nina dalam hati, Tapi apa urusanku? Toh, dia bukan siapa-siapaku, lanjut Nina.

Nina membuka gawainya lagi. Dia menghubungi nomor Ayu tapi nomornya tidak aktif. Nina menangkupkan wajahnya ke bantal yang ada di pangkuannya, kesal. Kemana aku cari alamat dan nomor Ayu di Jerman? tanya Nina dalam hati. Nina mengangkat wajahnya. Oh ya, Mas Puguh. Dia pasti ada komunikasi sama Mbak Ayu, ucap Nina dalam hati lalu mencari nomor kontak teman Ayu.

Puguh teman kuliah Mbak Ayu di prodi seni tari. Mereka cukup dekat bahkan dikabarkan pacaran, tapi pada faktanya Mbak Ayu malah tertarik pada Marlon, bule Jerman itu. Nina mencoba menghubunginya, tapi juga tak aktif. Huuuft ... nasib. Aku juga tak punya nomor Lintang, keluh Nina membuat dia kesal sendiri. Tubuhnya merosot turun, merebahkan diri di atas bantal.

Nina membuka gawainya sekali lagi. Dia membuka aplikasi jejaring sosial dan mencari nama Lintang Pramodya di alat pencari. Nina tersenyum, dia menemukan akun milik Lintang. Tak ada yang istimewa dari akun Lintang. Kelihatannya Lintang bukan tipe yang suka eksis di dunia maya. Nina melihat foto yang diupload bisa dihitung dengan jari. Statusnya juga hanya sekitar aktivitas akademis, pekerjaannya sebagai dokter, artikel kesehatan. Gak asyik, batin Nina. Gadis itu meminta pertemanan.

Nina menelusuri foto yang tersimpan di akun Lintang. I think he has happy life*, batin Nina. Gadis itu menatap sebuah foto keluarga Lintang. Mereka sekeluarga berempat di sebuah rumah yang kemungkinan besar di luar negeri. Nina melihat sosok yang mirip dirinya di samping Lintang sedang tersenyum manis. Siapa dia? tanya Nina dalam hati sambil memperbesar foto. Eh, gadis ini benar-benar mirip aku, ucap Nina dalam hati. Nina tak ambil pikir lalu mengirim pesan lewat aplikasi pesan yang terhubung dengan akun Lintang.

[Assalamu'alaikum. Apakah kamu tahu alamat Ayu di Jerman?] tulis Nina lalu dikirimnya.

Pesan terbaca. Nina menunggu balasan dari Lintang. Matanya sampai pedih menatap gawai. Pesan itu tak dibalas. Nina kesal lalu menutup mata. Nina memilih tidur.

***

Lintang duduk di ruang kerja ayahnya. Dia membuka pesan dari Nina dan memang sengaja hanya membacanya tanpa membalas. Lintang tersenyum. Dia sendiri tak tahu dimana alamat Ayu. Dia hanya tahu Marlon kekasih Ayu tinggal di Berlin. Besok dia akan mencari teman-teman dekat Ayu, siapa tahu bisa memberitahu alamat Ayu.

Seseorang masuk ke ruang kerja. Ayah Lintang, sosok yang tambun bercambang dan berkumis.

"Kau akhirnya pulang ke rumah. Beberapa hari ini kamu menginap dimana?" tanya ayah Lintang.

"Di rumah Prasojo," jawab Lintang singkat. "Bapak mau ngomong apa?" tanya Lintang santai sambil bersandar ke sofa yang ada di tengah ruangan.

"Sejak di Yogya kita belum membicarakan tentang pernikahanmu," ucap Pak Pramodya.

"Aku malas bahas itu. Aku akan balik ke Jerman secepatnya. Pasienku sudah menunggu," ujar Lintang.

Pak Pramodya diam menatap Lintang.

"Kau harus tetap menikah dengan keluarga Mertodimedjo," ucap Pak Pramodya."suka atau tidak suka," tegasnya lagi.

"Kenapa ayah ibu selalu saja menekanku. Apa untungnya untuk kita atas pernikahan dua keluarga ini?" tanya Lintang.

"Ya karena itu wasiat kakekmu," jelas Pak Pramodya.

Lintang bangkit dari duduknya. Dia malas membahas tentang pernikahan.

"Seminggu lagi aku balik ke Jerman. Jangan bujuk aku lagi," ucap Lintang sambil beranjak keluar dari ruang kerja ayahnya.

"Hei. Jangan lupa cari si Ayu!" seru Pak Pramodya.

Lintang tak menanggapi ayahnya. Dia berjalan menuju kamarnya.

Pak Pramodya membuka laci meja kerjanya. Dia mengeluarkan sebuah amplop besar berwarna cokelat. Lelaki itu mengeluarkan surat yang ada di dalam amplop, ternyata berisi surat wasiat kakek Lintang. Di salah satu klausul wasiat, dikatakan bahwa cucu pertama keluarga Pramodya dinikahkan dengan cucu dari keluarga Mertodimedjo. Di lembar berikutnya Pak Pramodya membaca salinan surat wasiat kakek Ayu, yang mengatakan jika cucu pertama keluarga Pramodya menikah dengan cucu keluarga Mertodimedjo maka akan diberi tanah perkebunan teh milik keluarga Mertodimedjo sebagai balas budi kebaikan kakek Pramodya pada masa lalu.

Pak Pramodya diam menghela napas. Dia menatap amplop lain yang ada di atas mejanya. Dia membuka amplop yang berisi laporan tahunan perusahaan milik keluarga Pramodya. Perusahaan mereka terancam pailit karena banyak hutang, oleh karena itu hubungan pernikahan itu akan menguntungkan bagi keluarga Pramodya. Hal ini yang ditutupi Pak Pramodya dari Lintang. Lelaki itu mengetuk-ketukkan jarinya ke meja mencari akal agar pernikahan kedua keluarga tetap berjalan sebagaimana mestinya.

***

Lintang bersandar di bantal, di atas ranjangnya yang empuk. Dia membuka gawainya, lalu membuka media sosial miliknya. Ada permintaan pertemanan dari Nina. Lintang tersenyum. Gadis ini cepat juga, batin Lintang. Dia teringat saat di Lawang Sari tadi sore. Sosok Nina terus membayanginya. Lintang pikir itu karena Nina mirip dengan Kartika, walau secara sifat, sangat jauh. Nina sosok yang mandiri, dan ceplas ceplos. Lain dengan Kartika yang sifatnya manja dan lebih imut hingga orang memandang Kartika sosok rapuh yang mendorong orang akan melindunginya. Lintang menerima pertemanan itu, lalu menaruh gawainya di samping bantal.

Baginya tak masalah apakah dia akan menikah dengan Ayu atau Nina, tapi dia juga takkan sampai hati memaksa mereka. Pernikahan bagi Lintang tak boleh berdasarkan keterpaksaan dan ketergesa-gesaan. Seorang istri harus taat pada suami, jika dalam hati istri tak ada keikhlasan bagaimana bisa taat? pikir Lintang. Lintang pikir perjalanan menuju pelaminan masih jauh. Dia ingin saling mengenal terlebih dahulu. Lintang masih beberapa hari bertemu Nina. Bak sebuah buku cerita, lembar awal mereka baru saja dibuka.

Ayu mungkin tak bisa diharapkan, tapi Nina membutuhkan waktu, apalagi dalam hati gadis itu masih ada Handika. Lintang menutup mata sambil berpikir bagaimana cara agar Nina melepaskan Handika, tapi setelah itu dia berpikir hal itu bukan urusannya. Lintang beranjak ke kamar mandi untuk berwudlu lalu beranjak tidur.

***

Nina terlihat cantik dengan kerudung ungu muda dan gamis warna lavender. Dia baru saja keluar kelas Linguistik lalu berjalan menuju ke gazebo yang ada di taman kampus. Dia melihat Suci sedang duduk mengetik menggunakan laptop.

"Assalamua'alaikum," sapa Nina.

"Wa'alaikumsalam. Duh, Tuan Putri nih. Dah lama nunggu kok baru muncul," keluh Suci.

"Maaf. Ini juga baru keluar kelas. Ayo berangkat," ajak Nina yang meminta Suci mengantar Nina ke kampusnya Mas Puguh.

"Eh sebentar, aku upload tulisan dulu," ucap Suci.

"Jadi menulis tentang tema tentang hijab?" tanya Nina sambil duduk di samping Suci.

"Yang kontroversi hijab sudah kuupload, sekarang lagi menulis tentang kekerasan terhadap perempuan dan pandangannya dari sudut pandang Islam," terang Suci lalu menekan tombol enter. "punyamu yang bedah film apa sudah kamu up?" tanya Suci.

Nina garuk-garuk pipi sambil nyengir kuda.

"Aku masih bikin laporan HMJ dulu. Nanti saja deh," terang Nina.

"Yuk, sudah. Aku antar kamu ya, tapi nanti pulang sendiri aku mau ada acara sama Mbak Sonya," terang Suci, "oh ya jangan lupa nanti setelah Ashar kita ada jadwal di rumah Mbak Shafwana," lanjut Suci.

Nina tersenyum sok imut, "Oke!"

Kedua gadis itu memakai helm lalu menaiki matik milik Suci ke sebuah kampus seni yang terkenal di Solo. Mereka melaju di antara kendaraan yang memadati jalan lalu berhenti di sebuah lampu merah. Nina menoleh ke belakang. Dia melihat Lintang dalam mobil sport merah agak jauh dari tempatnya berhenti. Ah, Ya Allah kenapa ketemu dia lagi, batin Nina. Nina menoleh lagi, tapi sepertinya Lintang tak memperhatikannya. Nina memilih untuk tak peduli. Lampu berubah menjadi hijau, sepeda motor mereka melaju kembali.

Mereka melaju masuk ke area kampus yang luas. Nina memberi tahu dimana letak gedung fakultas seni tari. Tak jauh dari sasana krida kampus, mereka berhenti di depan sebuah gedung perkuliahan. Kampus masih ramai orang. Anak-anak angkatan baru masih masa pengenalan kampus, sedangkan yang angkatan tua masih ada yang kuliah. Sebentar lagi masuk masa kuliah semester pendek bagi yang tak lulus mata kuliah biasanya akan mengulang di semester itu.

"Kita cari Mas Puguh dulu di situ, kalau tak ada kita ke gedung fakultas saja. Siapa tahu beliaunya ada di kantor," ucap Nina lalu turun dari sepeda motor.

Nina dan Suci masuk ke gedung perkuliahan. Terdengar suara gamelan di ruang studio tari. Nina melongokkan kepala melihat ke dalam studio tari melalui jendela yang ada di pintu. Dia melihat Mas Puguh sedang berlatih menari dengan seorang perempuan, dikelilingi mahasiswanya yang duduk menonton.

"Ada orangnya? tanya Suci.

"Ada," jawab Nina.

"Oh. Aku tinggal ya. Keburu telat nanti," ucap Suci langsung pamitan setelah memastikan sosok yang dicari Nina sudah ditemukan, "Bye!" ucap Suci.

"Bye!" jawab Nina.

Nina masuk ke dalam ruang studio lalu duduk di sebuah kursi yang kosong di pinggir ruangan. Mahasiswa yang ikut kelas tari menatapnya. Nina hanya mengangguk sambil menebar senyum. Sosok mas Puguh yang tegap tapi begitu luwes ketika menari. Pantas kalau beliau langsung ditarik menjadi dosen tari di kampus. Telihat begitu serasi dan indah mereka membawakan Tari Driasmara, sebuah tari berpasangan yang menceritakan kisah kasih Panji Asmara Bangun dengan Dewi Sekartaji. Dri dari kata driya yang artinya rasa, sedangkan asmara berarti cinta. Sebuah tarian yang romantis. Nina menikmati pertunjukkan gratis itu, sampai akhirnya Nina menyadari ada sosok yang berdiri di sampingnya. Sosok itu bersandar di dinding sambil menikmati pertunjukkan. Ya Allah dia lagi. Apa tak ada kerjaan selain berkeliaran di sekelilingku, batin Nina. Lintang menoleh, lalu tersenyum ke arah Nina. Gadis itu hanya membalasnya dengan sebuah cengiran.

*Kupikir dia memiliki kehidupan yang bahagia