Chereads / ELBE'S LOVE STORY / Chapter 11 - BAB 10

Chapter 11 - BAB 10

Nina duduk di tepi ranjangnya masih memakai mukena sehabis salat berjamaah bersama teman sekontrakan. Dia ingin mengirim pesan kepada Handika, tapi suara hati menahannya. Dia teringat perkataan Mbak Shafwana tadi sore saat di rumah beliau. Mereka membicarakan tentang bagaimana seharusnya seorang muslimah bergaul dengan lawan jenis. Pembahasannya cukup memberikan pencerahan untuk Nina 

"Jika kita menyatakan keimanan kepada Allah maka akan memiliki konsekuensi terikat pada hukum syara'. Ini sebagai bentuk cinta kita pada Allah yang menciptakan kita, yang menciptakan bumi yang kita diami, yang mengkaruniakan udara pada kita dengan gratis, Pemilik langit dan bumi. Oleh karena itu, dalam setiap apa yang kita pikirkan, kita putuskan, dan kita lakukan harus berdasarkan apa yang Allah inginkan, berlandaskan pada keimanan kita pada Allah," terang Mbak Shafwana.

"Sebagai seorang muslimah, kebahagiaan yang hakiki itu adalah mendapat ridho Allah. Itu yang harus kita pegang. Begitu juga ketika kita ingin memenuhi naluri kita, yaitu ingin memiliki keturunan, memperbanyak jenis manusia. Naluri ini jika tidak kita penuhi hanya akan membuat kita gelisah, gak akan mati kok hanya gegara cinta. Untuk memenuhi hal ini maka haruslah menggunakan timbangan syara' dalam memutuskan bagaimana cara pemenuhan naluri ini. melalui pernikahan, tidak melalui pacaran seperti yang dilakukan kebanyakan orang zaman now, " terang Mbak Shafwana dengan kalimat yang lemah lembut. 

Nina menunduk. Kata-kata Mbak Shafwana mengena di hatinya. Menikah? Apakah Handika mau menikahiku? tanya Nina dalam hati. 

"Mbak, bagaimana caranya agar kita bisa mengenal pasangan kita jika kita tak pacaran terlebih dahulu. Kita kan gak ingin salah pilih," tanya Suci. 

"Sebelum menikah ada fase ta'aruf. Masa perkenalan. Kita diperkenankan mencari informasi tentang pasangan kita melalui orang-orang terdekat dan terpercaya, bahwa calon kita memang seperti yang disampaikan dalam biodatanya. Kita bisa tanya visi misinya untuk menikah, sehingga kita bisa tahu apakah dia memiliki niat yang lurus karena Allah untuk membangun cinta dengan kita, ataukah sekedar ingin menikah karena alasan duniawi dan materi saja.

Apakah dia memiliki visi untuk berumah tangga demi mengokohkan bangunan dakwah dan mencetak anak-anak yang sholih untuk membangun peradaban Islam dan kaum muslimin? Kalian bisa tanyakan itu pada calon suami kalian kelak. Jangan sampai salah memilih, Rasulullah sudah memberikan rambu, pilihlah yang baik agamanya. Jika dia memiliki agama yang baik, minimal dia akan mudah dinasihati. 

Fase ini seorang laki-laki boleh melihat calon istrinya agar bisa memutuskan kemantapan hatinya. Prinsip pergaulan antara laki-laki dan perempuan dalam pernikahan itu adalah tolong menolong, bukan masalah jinsiyah atau seksual belaka. Pacaran setelah menikah, why not? Menurut Mbak hal itu malah memberikan sensasi petualangan yang lebih riil, hati tenang, berpahala, daripada pacaran, isinya galau, pegangan tangan juga dapat dosa, jatuh cinta nanti putus, sakit sekali pas jatuhnya. Pacaran hanya jagain jodoh orang. Menghabiskan waktu, uang, tenaga pada yang belum menjadi hak kita. 

Lebih baik membangun cinta setelah menikah daripada mengawalinya dengan kemaksiatan, berujung pada kekecewaan karena ternyata sosok yang kita nikahi berbeda dengan saat pacaran. Kalau memang sudah fix calonnya, maka masuk fase khitbah atau melamar. Di saat ini sang Calon harus datang kepada orang tua atau wali meminta sang Calon istri, jika sudah mantap, jangan nunggu lama-lama, maka menikahlah ," terang Mbak Shafwana panjang lebar.

"Mbak, apa boleh seorang perempuan melamar terlebih dahulu?" tanya Nina yang akhirnya menyuarakan hatinya.

Mbak Shafwana langsung tersenyum. Nina jadi malu. 

"Tentu boleh. Rasulullah saja pernah dilamar seorang perempuan.Tidakkah dulu bunda Khadijah ra melamar Rasulullah terlebih dahulu?" tanya Mbak Shafwana retoris.

Ada secercah bahagia di hati Nina, dia ingin melamar Handika, tapi rasa malu menyapanya. Secercah cahaya dihatinya akhirnya redup kembali. Keinginannya melamar Handika akhirnya surut. Semua perkataan Mbak Shafwana itulah yang membuat Nina ingin memutuskan melamar Handika terlebih dahulu. Tapi apakah Handika sudah siap berumah tangga? Aku harus menahan diri dulu, tak boleh tergesa-gesa, batin Nina lalu menaruh gawainya di samping bantal. 

Suci masuk ke dalam kamar. 

"Ada apa dengan wajah manyunmu itu?" tanya Suci, "Gegana eh?" lanjut Suci sambil naik ke atas ranjangnya.

Nina pindah duduk di samping Suci. 

"Eh, Ci, bagaimana jika aku melamar Handika terlebih dahulu?" tanya Nina.

Suci langsung menaikkan alis. 

"Tapi aku malu mau duluan meminta," ungkap Nina.Suci diam menimbang pikir. 

"Aku tak tahu. Bagaimana kalau sampaikan saja niatmu lewat Mbak Shawfana, siapa tahu Mas Ahmad bisa bantu membicarakannya dengan Handika. Saranku, jangan langsung kau putuskan sendiri. Kau harus bilang orang tuamu, harus mengenal keluarganya juga. Apalagi masalah perjodohanmu dengan Lintang. Kalian harus menyelesaikan hal ini terlebih dahulu" terang Suci.

Nina diam menghela napas karena galau. 

"Itulah. Masalah perjodohanku dengan Lintang kan belum fix. Sebelum jelas kondisi Mbak Ayu, orang tua kami juga takkan berani memutuskan begitu saja," ucap Nina. 

"Beritahu orang tuamu saja dulu, sambilan kamu cari tahu info detail tentang Handika," saran Suci. 

"Aku kenal baik Handika. Dia salatnya juga lima waktu kok," terang Nina. 

"Apa masih belum jelas yang diterangkan Mbak Shafwana tadi sore? Ayolah, lelaki baik itu memang standar minimalnya salatnya terjaga, tapi apakah hanya itu saja? Tidak kan?" tanya Suci retoris sambil membuka buku catatan kuliahnya.

Nina pindah duduk ke ranjangnya sendiri dengan bibir manyun. 

"Kamu gak mendukung aku dengan Handika?" tanya Nina kecewa.

Suci menoleh ke arah Nina. 

"Hei, suudzon itu namanya. Aku hanya ingin yang terbaik untuk sahabatku. Entah itu Handika, entah itu Lintang, atau siapa kek. Asal kau bahagia, aku juga ikut bahagia. Tapi, aku tak ingin sahabatku melangkah di jalan yang tidak diridhoi oleh Allah. Pacaran itu bukan jalan yang Allah ridhoi saat mencari jodoh. Karena aku sayang kamu, makanya kunasihati kamu," terang Suci yang membuat Nina langsung terharu. 

Nina melempar bantal ke arah Suci. 

"Mmmmhhh...wŏ xīhuān nĭ... wŏ xīhuān nĭ... wŏ xīhuān nĭ...." ucap Nina sambil bergaya imut pada Suci. 

"Hiiih sok imut," ucap Suci sambil tertawa lalu melempar balik bantal Nina.

Nina menangkap balik bantalnya. Setiap muslimah itu istimewa, jadi berpikirlah istimewa, berperilakulah sebagai orang yang istimewa dengan tetap menjaga kehormatan diri. Menjadikan syara' sebagai standar hidup untuk memutuskan segala sesuatu. Baik, jauhi pacaran, harus mencari kejelasan tentang Handika, putus Nina dalam hati lalu merebahkan diri di atas ranjang menunggu azan isya' berkumandang.

***  

Nina duduk di kursi perpustakaan kampus. Laptopnya berpendar di hadapannya. Dia sedang asyik menulis artikel tentang bedah film untuk mengisi situs Pena Muslimah. Nina membedah sebuah drama Korea yang memenangkan piala penghargaan dari negeri Paman Sam menggunakan pisau analisis psikologi dan Islam. Sesekali dia mendengarkan rekaman wawancara dengan dosen psikologi untuk menuliskan pendapat beliau. Tiba-tiba suara panggilan masuk mengagetkannya saat memakai earphone. 

"Halo, Assalamu'alaikum," sapa Nina. 

"Wa'alaikumsalam. Nina, ketemuan yuk. Aku sudah balik ke Solo," ajak seorang yang sangat dikenalnya.

Nina diam tak langsung menjawab. 

"Nin...halo," sapa suara di seberang. 

"Maaf Dik, aku lagi sibuk ini, dikejar DL artikel. Mungkin lain kali saja. Gak apa-apa kan?" ujar Nina. 

"Baiklah kalau begitu. Sebenarnya ada yang ingin kusampaikan secara langsung, tapi kalau kamu gak bisa juga gak papa," ucap Handika dengan nada kecewa. 

"Mm...Dik, dua hari lagi aku berangkat ke Jerman mencari Mbak Ayu. Mungkin akan lama baru pulang ke Indonesia lagi," jelas Nina. 

"Berangkat sama siapa?" tanya Handika. 

"Lintang," jawab Nina, "dia yang lebih tahu Jerman," lanjut Nina yang membuat hati handika berdenyut sakit. 

"Apakah harus bersamanya? Ayahmu?" tanya Handika. 

"Ayah tak bisa. Lagipula orang tuaku lebih tenang jika aku bersama Lintang," jelas Nina.

Terdengar suara desah napas berat Handika di ujung panggilan. Nina bisa memahami berat bagi Handika melepas dirinya berangkat ke luar negeri apalagi sama Lintang. 

"Kau cemburu?" tanya Nina memberanikan diri. 

"Tidak. Kalau memang itu lebih baik bagimu menurut orang tuamu, memangnya aku bisa apa," jawab Handika.

Dik, aku akan sangat senang jika kau cemburu, batin Nina dengan raut kecewa. 

"Ya sudahlah. Selamat sibuk, nanti aku antar kau berangkat dari bandara ya," janji Handika.

"Hmmm...baiklah," jawab Nina.

Mereka saling mengucap salam dan panggilan pun berakhir. Nina menatap laptopnya yang berpendar. Dia melihat jam tangan masih jam sepuluh pagi. Sisa satu jam lagi DL berakhir.Sebuah pesan masuk ke gawai Nina. Dari ayahnya. 

[Pulang, dokumen jalanmu sudah selesai] 

Nina hanya membaca pesan tanpa membalas. Sore ini berarti dia harus pulang mempersiapkan semuanya. Nina bersandar ke belakang, kepalanya menatap plafon perpustakaan kampus yang di cat putih dan sarang laba-laba yang menghiasi di sudut jendela lebar yang ada di hadapannya. 

"Ya Allah, jagalah aku dan mudahkan aku menemukan Mbak Ayu," gumam Nina merasa takut ke luar negeri. 

Tempat asing yang tak pernah tahu seluk beluknya. Bagaimana nanti di sana? Entahlah, ucap Nina dalam hati. Gadis itu mulai menulis lagi. 

Pukul sebelas siang tulisan Nina kelar. Dia mencoba mengupload tulisan di website Pena Muslimah milik Mbak Shafwana. Mata Nina terbelalak. Website banned*. Ada apa ini? tanya Nina dalam hati. Nina langsung menghubungi nomor Suci. 

"Assalamua'alaikum Ci, apa yang terjadi? Situs kita di banned," terang Nina. 

"Kabar buruk Nin, Mas Ahmad ditangkap dengan delik penyebaran berita hoax dan melawan penguasa. Makanya semua situs kita ditutup semua," terang Suci.

Nina langsung lemas begitu mendengar kabar tentang Mas Ahmad. Badannya panas dingin. Nina merasa khawatir jika semua admin juga akan ditangkap seperti Mas Ahmad. 

"Dimana Mbak Shafwana sekarang?" tanya Nina. 

"Beliau ada bersamaku di rumah," terang Suci. 

"Ya sudah, tunggu aku juga ke situ," terang Nina.

Nina tak bisa membayangkan bagaimana terguncangnya hati dan jiwa Mbak Shafwana yang sedang mengandung lima bulan anak pertama mereka. 

"Yaa Allah, dimana keadilan?" gumam Nina. 

Nina tahu seperti apa Mas Ahmad dan Mbak Shafwana. Mereka orang-orang yang ikhlas dalam membangun kesadaran pemikiran masyarakat melalui tulisan. Mereka orang-orang yang sholih. Nina menghela napas. Dia langsung menutup laptop, lalu segera keluar dari perpustakaan menuju rumah Mbak Shafwana.

*Situs di blokir