Nina merebahkan diri ke atas ranjang empuk di kamar hotel. Matanya menatap ke seluruh langit-langit kamar yang berornamen emas yang sangat indah. Saat masuk pertama kali ke kamar yang terlalu mewah baginya, dia langsung memeriksa kamar mandi. Dia sempat membaca di sebuah informasi di internet tentang gaya hidup orang Barat yang hanya menggunakan tisu untuk membersihkan diri setelah buang air. Ternyata yang Nina baca benar adanya. Di samping toilet duduk ada gulungan tisu sudah tersedia. Nina memejamkan mata sambil geleng-geleng kepala seakan tak sanggup jika hanya menggunakan tisu untuk bersih-bersih.
Nina juga mencari tahu tentang kehidupan di Jerman dari berbagai macam blog dan video. Tak segan dia menanyakan pada kakak kelasnya yang sempat terbang ke Inggris untuk mengambil kuliah di musim panas. Dia mencatat apa saja hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan di Jerman. Dia mencari tahu informasi tentang sikap orang Jerman pada umumnya. Kehidupan mereka sangat modern. Namun, mereka tak punya waktu dan sibuk.
Nina turun dari ranjang lalu duduk di depan kopor kecil yang masih berdiri dekat dinding. Dia membuka kopor itu yang berisi berbagai macam roti, kue-kue dan cemilan. Dia sengaja membeli dan membawa banyak dari Indonesia, karena dia mendapat informasi, sangat sulit untuk mendapatkan makanan halal di Jerman. Nina menghela napas kesal pada dirinya sendiri. Dia lupa tak meminta tolong Lintang untuk membelikan dia air mineral. Dia melihat di atas meja juga sudah habis. Mau tak mau Nina harus keluar mencari minuman. Dia tak mau menelepon pihak hotel untuk minta dibelikan minuman.
Nina membuka gawainya. Dia mencoba menelepon Lintang, tapi nomornya sedang sibuk. Mungkin Lintang masih sibuk mencari Ayu. Setelah dari rumah Marlon, Nina diantar kembali ke hotel karena kecapekan. Akhirnya, Lintang dan Beat yang melanjutkan mencari Ayu ke kelab malam Paradise. Nina segan merepotkan Lintang.
"Aku harus keluar dan berani berinteraksi," batin Nina sambil menyandarkan punggungnya ke ranjang.
Dia membuka gawai dan mencoba mencari supermarket terdekat. Nina bersyukur ternyata di dekat hotel ada sebuah supermarket. Nina akhirnya memberanikan diri untuk keluar hotel sendiri. Nina menghela napas panjang sebelum membuka pintu. Bismillah! ucap Nina dalam hati.
Nina berjalan menyusuri lorong hotel, lalu turun ke lantai dasar menggunakan lift. Dia berjalan keluar hotel. Cahaya matahari siang masih berpendar menyilaukan mata, tapi hawa dingin masih menyergap pori-porinya. Nina berjalan melalui taman hotel yang memiliki pancuran bergaya klasik dengan sebuah patung telanjang yang bisa mengeluarkan air dari kendi-kendi. Entah tiba-tiba Nina merasa malu melihat patung telanjang itu. Tentu saja jika sampai ada patung macam itu di Indonesia, tak pelak akan diprotes warga.
Nina bersyukur orang Indonesia masih memegang adat ketimurannya walau semakin hari semakin pudar. Dengan gempuran budaya dan pemikiran asing yang meracuni rakyat Indonesia, tak pelak kita membuka gerbang "bebekisasi". Nina tertawa sendiri saat ingat istilah itu yang pertama kali dilontarkan Suci. Artinya pola sikap dan pola pikir manusia mengikuti yang mempengaruhi alias penjajahan secara tak kasat mata. Apalagi Indonesia mayoritas muslim, arus peradaban asing akan sangat terasa bertentangan dengan prinsip Islam.
Mungkin di sepanjang taman yang indah hanya dirinya yang memakai kerudung. Nina mengedarkan pandangan menikmati keindahan taman yang mulai hilang daunnya, sisa ranting-ranting yang bak kerangka tanpa daging. Namun, pemandangan tetap indah bagi Nina. Gadis itu merogoh dompet yang ada di saku gamisnya. Sebuah uang koin melompat dari sakunya dan menggelinding jauh. Nina mengejar uang koin itu sambil berlari-lari kecil. Saat koin itu berhenti, Nina langsung mengambilnya. Dia berjongkok lalu diangkatnya uang koin itu ke atas. Nina tersenyum.
"Biar kau mungil, tapi hargamu setara puluhan ribu rupiah. Aaah, mengapa sekecil ini jadi terasa begitu berharga," gumam Nina sambil berdiri lalu mengibaskan gamisnya.
Dia berjalan menyusuri taman kembali. Di sisi lain taman, ada sepasang mata hijau yang menatapnya. Sosok itu mengikuti langkah Nina di bagian lain taman, lalu mengikuti keluar gerbang hotel.
***
Lintang dan Beat keluar dari dalam mobil lalu berjalan menuju ke sebuah kelab yang masih tutup. Pintunya tidak terkunci saat mereka masuk. Suasana lengang, terlihat rapi dan suram dibanding saat malam telah datang. Lampu akan berpendar dan bergerak sesuai detak musik. Hiruk pikuk manusia yang menikmati euforia akan berjingkrak-jingkrak di tengah ruang. Minuman keras akan menjadi hidangan utama. Lintang mendekati seorang lelaki yang memakai rompi tebal bertopi.
"Permisi, maaf boleh meminta waktunya sebentar?" sapa Lintang.Lelaki yang masih muda berkumis itu berhenti mengelap gelas-gelas kaca, lalu mengangguk.
"Anda kenal seseorang bernama Ayu?" tanya Lintang.
"Ayu? Tak ada yang namanya Ayu di sini," terang lelaki itu membuat Lintang menunjukkan raut tak paham.
"Anda yakin? Dia orang Indonesia, berambut panjang seini" terang Lintang.
Si pengurus kelab mengerutkan dahi mencoba menebak siapa yang dimaksud oleh lelaki asing yang ada di hadapannya.
"Ada banyak orang yang datang ke sini tiap hari. Aku tak yakin yang kau cari ada di sini," jawab si kumis itu malas menanggapi.
"Anda kenal lelaki bernama Marlon?" tanya Lintang lagi tak mau menyerah.
"Aku tak mengenal nama Marlon. Pergilah. Aku masih banyak perkerjaan," usir si pengurus kelab.
Lintang mendengkus kesal. Dia menahan diri untuk tidak mengomel.
"Terima kasih. Maaf," ucap Lintang lalu pergi meninggalkan lelaki berkumis.
"Bagaimana?" tanya Beat saat Lintang mendekat ke arahnya.
Lelaki itu menggelangkan kepala. Beat juga ikut kecewa.
"Lebih baik kita tunggu sampai malam nanti. Kita masuk saja mencari. Kita kembali ke hotel," saran Beat.
Lintang mengangguk lalu masuk ke dalam mobil.
"Maaf jadi membuat kau ikut repot," ucap Lintang.
"Tak apa. Kau juga selalu baik padaku. Anggap saja aku balas budi padamu," jawab Beat sambil menyalakan mobil.
Mereka berdua kembali ke hotel.
***
Nina berada di sebuah supermarket yang besar. Dia mendorong troli sambil melihat ke sana kemari. Dia mencari minuman dan kebutuhan wanita. Tanpa disadarinya hari kedua di Jerman malah dia sakit perut karena datang bulan. Perutnya terasa kayak diremas-remas, pinggangnya sakit, perutnya mengalami kram. Tubuhnya mulai merasa tak nyaman karena keringat dingin.
"Aiish dimana pembalut," gumam Nina sambil menahan sakit, "kenapa juga saat seperti ini malah datang bulan," batin Nina.
Nina berjalan menuju seorang penjaga supermarket. Seorang perempuan bule tinggi, berambut pirang diikat ekor kuda.
"Permisi, apa Anda tahu dimana letak pembalut?" tanya Nina dalam bahasa Inggris yang beraksen Indonesia.
Si penjaga supermarket menunjukkan raut wajah tak paham.
"Apa maksud Anda? Maaf saya tak paham," ucap si penjaga dalam bahasa Jerman.
Nina menahan napas mencoba mencerna yang dibicarakan si penjaga. Dia gagal paham. Akhirnya Nina memakai bahasa Tarzan dengan menggunakan gerakan tangan sambil berharap si penjaga paham. Namun, sia-sia. Nina hopeless.
"Ada yang bisa saya bantu?" sapa seorang lelaki yang bermata hijau dalam bahasa Jerman pada si penjaga.
"Dia sepertinya orang asing. Saya tak paham bahasa Inggris," terang si penjaga.
Si mata hijau mengangguk paham.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya si mata hijau pada Nina.
Lelaki itu berlaku sebagai penerjemah.
"Ah syukurlah ada yang bisa berbahasa Inggris di sini," batin Nina.
"Saya mencari mmm... itu ...," ucap Nina malu menyebutkannya karena si mata hijau seorang lelaki.
Nina meneguk ludah.
"Pembalut," ucap Nina pada akhirnya lalu menutup wajahnya dengan sebelah tangan.
Dia merasa wajahnya memerah panas karena malu. Si mata hijau tersenyum lalu menerangkan pada si penjaga dalam bahasa Jerman. Si penjaga menunjukkan tempat deretan rak pembalut.
"Mari saya antar," ucap si mata hijau.
"Terimakasih," jawab Nina sambil mengikuti langkah si mata hijau.
Nina sekali-kali melirik si mata hijau yang memperhatikannya. Lelaki itu tersenyum.
"Anda orang Kamboja?" tanya si lelaki dalam bahasa Inggris.
Nina menoleh sambil menaruh pembalut yang dicari ke dalam troli, lalu melanjutkan langkah kakinya.
"Bukan, saya orang Indonesia. Anda juga menginap di hotel? Rasanya tadi pagi kita bertemu," terang Nina yang baru ingat kalau lelaki bermata hijau itu yang ditabraknya di lobi.
"Ah ya, itu Anda," jawab si mata hijau dalam bahasa Indonesia.
Seketika Nina berhenti melangkah. Nina menoleh dengan mata membulat tak percaya apa yang di dengarnya.
"Hei, Anda bisa berbahasa Indonesia?" tanya Nina kagum.
"Sedikit, karena aku pernah tinggal di Indonesia satu tahun untuk kuliah seni rupa di Jakarta," terang si lelaki.
"Seandainya tahu Anda bisa bahasa Indonesia, mengapa tak memakainya sejak awal," ujar Nina penuh dengan kelegaan.
Si mata hijau tersenyum, kerutan di ujung matanya terlihat manis.
"Karena saya baru tahu Anda orang Indonesia," jawab si mata hijau sambil berjalan lagi di samping Nina.
"Siapa nama Anda?" tanya Nina penasaran.
"Ah ya, saya Ylmas* ... Joachim Ylmas," jawab Joachim sambil mengulurkan tangan ke arah Nina, "panggil saja saya Joachim," lanjutnya.
Nina terkesima, lalu mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri. Senyum manisnya terkembang. Dia senang bisa memiliki teman baru di Jerman.
"Nina Aprilia. Panggil saja Nina."
*Cara baca Ylmas adalah Ilmas