Tubuh Nina terguncang dalam kereta menuju Yogyakarta. Dia harus pulang untuk persiapan berangkat ke Jerman. Pikirannya disibukkan dengan kondisi Mbak Shafwana yang sedang kena musibah. Dia ingat siang tadi langsung pergi ke rumah Mbak Shafwana. Dia langsung disambut Suci. Dia melihat Mbak Shafwana yang sedang berebah di atas kasur, perutnya besar karena hamil lima bulan. Mbak Sonya menemaninya sambil memijat kaki sosok perempuan yang menjadi pembimbingnya selama ini.
"Mbak, bagaimana? Baik-baik saja?" tanya Nina.
"Alhamdulillah'alakulihal," ucap Mbak Shafwana bersyukur dikala musibah mendera, ucapan itu menjadi sebuah hiburan baginya agar tak bersedih.
"Aku akan meminta bantuan ayah untuk mencarikan pengacara buat Mas Ahmad," ucap Nina.
Mbak Shafwana tersenyum.
"Makasih, Nin," ucap Mbak Shafwana.
"Mbak, ini teh hangatnya," ucap Suci masuk ke dalam kamar sambil membawakan teh dalam mug keramik.
"Sudah makan?" tanya Nina.
Mbak Shafwana mengangguk.
"Mbak, sore ini aku harus pulang ke Yogya karena besok harus ke Jerman untuk menjemput Kak Ayu. Aku minta maaf tak bisa menemani Mbak saat ini," terang Nina sambil memijat tangan Mbak Shafwana yang terasa dingin.
Perempuan itu mengangguk.
"Selesaikan masalahmu. Semoga Allah memudahkan segala urusanmu, Nin," ucap Mbak Shafwana lemah.
"Ada aku sama Suci kok, Nin. Jangan khawatir," ucap Mbak Sonya.
Nina mengangguk.
"Telepon aku Ci, jika ada apa-apa," ucap Nina pada Suci yang duduk di kursi di samping ranjang.
Nina mengelus lengan Mbak Shafwana.
"Syafakillah, Mbak. Yang sabar. Aku pamit dulu ya," ucap Nina.
Semua teman-temannya sangat baik. Selama ini mereka saling menjaga dan memperhatikan kebutuhan temannya satu sama lain. Itu karena kekuatan iman di antara mereka, melebihi kentalnya ikatan darah. Nina berharap memiliki saudara seperti Suci, Mbak Shafwana atau Mbak Sonya daripada kakak model kayak Ayu.
Suara denting kereta sampai di Stasiun Tugu mulai terdengar. Nina berdiri dari duduknya lalu berjalan keluar dari dalam kereta, berbaur bersama penumpang yang lain keluar dari Stasiun. Rintik hujan mulai turun membasahi kota kelahiran Nina yang istimewa, bagi Nina, Yogyakarta memang istimewa. Nina berlari kecil menghindari hujan yang makin deras, lalu masuk ke dalam taksi yang berhenti di hadapannya.
***
Nina menghela napas panjang. Dia tak bisa membayangkan perjalanan jauh yang akan dilaluinya. Berjam-jam di dalam pesawat, lalu masuk ke sebuah negeri antah berantah yang tak pernah dikenalnya. Ini perjalanan pertama kali Nina ke luar negeri. Dia melihat gawai beberapa kali. Berharap ada sebuah telepon masuk dari Lintang, tapi tak ada satu pesan pun yang masuk. Nina mulai buruk sangka, kalau Lintang tak mau menemaninya ke Jerman untuk mencari Ayu.
Langkah Nina melambat saat masuk ke dalam gate. Bukan karena antriannya panjang, tapi karena melihat sosok Lintang yang berlari-lari menuju ke ujung belakang antrian. Lintang melambaikan tangan pada Nina sambil tersenyum. Nina akhirnya bisa merasa tenang melihat Lintang menepati janjinya.
"Kenapa terlambat?" tanya Nina saat berjalan bersama Lintang melewati garba rata.
"Pecah ban, harus menunggu taksi datang mengantar ke bandara," terang Lintang, "kau pasti sudah su'uzon padaku?" tanya Lintang sambil menoleh pada Nina.
Nina hanya mencebik, lalu masuk ke dalam pintu pesawat. Bagaimana bisa dia tahu apa yang aku pikirkan, batin Nina. Lintang membalas cebikkan Nina dengan senyuman. Nina duduk di samping Lintang. Perjalanan panjang dimulai menuju ke Jakarta lalu ke Berlin.
***
Welcome to Berlin. Suara dentum house music memekakkan telinga dalam sebuah kelab malam di sudut kota Berlin. Kota bersejarah yang tak ada matinya. Berlin ibu kota Jerman, memiliki sejarah panjang dan menjadi saksi naik turunnya sebuah peradaban di daratan Benua Eropa. Ayu sedang duduk seorang diri di sebuah bar sambil menikmati segelas minuman keras. Wajahnya santai tanpa memperdulikan sekitar.
"Hei, kita pulang, ayo!" ajak seorang lelaki berambut blonde, bertubuh kekar dalam bahasa Jerman.
"Aku masih ingin di sini," tolak Ayu dengan bahasa yang sama.
"Kau tahu aku tak suka ditolak," ucap si lelaki blonde lalu mengangkat Ayu.
"Hei, James, turunkan aku!" teriak Ayu yang sebenarnya tak sepenuhnya menolak ajakan lelaki bernama James.
James tersenyum menatap Ayu sambil membopongnya keluar dari kelab. Ayu di turunkan di halaman. Mereka saling pegangan tangan menuju mobil. Tak lama kemudian mobil mereka telah meluncur ke sebuah apartemen sederhana di tengah kota Berlin yang berpendar menghiasi pemandangan malam. Sesampainya di apartemen, mereka berdua mengobrol sambil minum dan menghabiskan malam berdua. Kehidupan tanpa batas benar-benar mereka nikmati tanpa rasa canggung atau takut dosa.
***
Pesawat yang ditumpangi Nina dan Lintang mendarat di Bandar udara Otto Lilienthal. Tak lama kemudian dua penumpang berkulit cokelat kontras dengan penumpang lain yang rata-rata berkulit putih masuk ke bandara. Mereka menyeret kopor keluar bandara, lalu berhenti di bagian Arrival. Lintang mengeluarkan gawainya, lalu melakukan panggilan.
"Halo, Beat, kami sudah ada di bandara. Kami tunggu," ujar Lintang dalam bahasa Jerman.
Nina hanya diam bengong tak paham. Nina tak henti-hentinya melihat sekeliling. Semuanya serba asing, dan luar biasa di mata Nina. Mungkin dia sedang mengalami "syndrome udik yang terjajah". Semua terlihat canggih menurut Nina, dibanding di Indonesia.
"Ayo, kita ke sana. Temanku sudah menunggu," ajak Lintang sambil menyeret kopornya.
Nina tergeragap lalu berjalan cepat mengejar Lintang.
"Duh, seandainya aku berangkat sendiri, aku pasti sudah tersesat," batin Nina masih mengejar langkah Lintang yang berjalan di depannya.
Sosok jangkung itu memiliki langkah yang lebar. Nina baru menyadari betapa jangkungnya Lintang. Perbedaan tinggi badannya dengan Lintang, jika dihitung sekitar lima puluh sentimeter. Punggungnya bidang dibalut baju hangat berwarna kelabu.
"Hai!" sapa Lintang sambil melambaikan tangan pada seorang perempuan bule berambut pirang bermata biru.
"Heiiyyoo!" sapa perempuan itu sambil berjalan mendekat.
Nina merasa minder. Betapa cantik dan tingginya perempuan bule yang ada di hadapan mereka.
"Siapa? Ini Nina?" tanya Beat yang menebak nama Nina.
Nina langsung tersenyum.
"Iya, ini Nina. Nin, kenalkan ini Beatrice, dia seorang dokter anak teman kuliahku dulu," ucap Lintang dalam bahasa Inggris.
"Hai," ucap Beatrice ramah.
Nina mengulurkan tangan. Mereka saling bersalaman.
"Senang bertemu denganmu," ucap Nina dalam bahasa Inggris dengan aksen Indonesia.
Lintang tersenyum geli mendengar aksen Nina. Gadis itu langsung menyikut lengan Lintang dengan wajah cemberut.
Mereka keluar dari bandara di sambut udara dingin. Sambil menunggu pintu mobil dibukakan, Nina yang kedinginan menggosok-gosok telapak tangannya. Melihat Nina kedinginan, Lintang melepas syalnya lalu dipasangkan ke leher Nina.
"Jangan sampai kena flu. Udara di sini ekstrim, berbeda dengan di Indonesia. Kau harus beradaptasi," nasihat Lintang sambil melingkarkan syal di leher dan kepala Nina.
Nina menunduk malu. Lintang hanya tersenyum, lalu membukakan pintu mobil untuknya.Mobil yang disopiri Beat menembus jalan raya kota Berlin menuju sebuah hotel yang ada di tengah kota.
***
Setelah sarapan pagi di hotel, Lintang mengajak Nina mencari alamat Marlon. Nina kecewa dengan menu makanan orang Jerman yang hambar. Belum sehari di Jerman, dia sudah merindukan pecel dan bali telur Mak Yah yang jualan di warung dekat kos-kosannya. Pagi sebelum berangkat kuliah Nina sering sarapan menu masakan warung Mak Yah. Kali ini dia harus banyak menahan diri untuk tidak mengeluh.
Beat sudah menunggu mereka di lobi hotel. Perempuan itu mengobrol dengan santai bersama Lintang dalam bahasa Jerman, sesekali mereka menggunakan bahasa Inggris dan Perancis. Nina berjalan di belakang mereka berdua, tak paham apa yang sedang dibincangkan. Akhirnya, sebagai pengalih perhatian agar tak merasa diabaikan, Nina membuka gawai dan melihat pesan masuk.
Brruugh!
Saat hendak keluar pintu otomatis di hotel, Nina menabrak seseorang sampai gawainya terjatuh. Nina yang terkejut pun spontan melangkah mundur. Dia terpana pada sosok lelaki yang ditabraknya. Lelaki bule berambut cokelat dengan mata hijau, sungguh indah warna matanya sampai Nina tak berkedip.
"Maaf!" ucap lelaki itu dalam bahasa Inggris.
"Maaf! Maaf!" ucap Nina sambil membungkuk.
Lelaki itu tersenyum, lalu mengambilkan gawai Nina yang jatuh tak jauh dari ujung kakinya.
"Ini," ucap lelaki itu sambil mengulurkan gawai Nina.
Nina terkesiap.
"Terima kasih," ucap Nina sambil mengambil kembali gawainya.
Si Mata Hijau tersenyum membuat hati Nina leleh.
"Nina! Ayo!" panggil Lintang dari luar pintu kaca.
Nina baru sadar kalau Lintang dan Beat sudah mendahului mereka keluar dari hotel. Nina menganggukkan kepala pada si Mata Hijau lalu pergi. Lelaki itu hanya menatap Nina dengan senyum manis yang takkan dilupakan oleh Nina.
***
Nina dan Lintang berdiri di depan pintu sebuah rumah yang tak terurus. Rumah yang catnya berwarna putih kusam itu adalah rumah Marlon. Sejak di jalan Lintang mencoba menghubungi nomor Marlon, tapi tak diangkat sama sekali. Beberapa kali Lintang mengetuk pintu rumah Marlon, saat ketukan kelima, barulah pintu rumah terbuka sedikit.Sesosok perempuan berbaju terbuka dengan rambut pirang acak-acakan berdiri di balik pintu.
"Siapa? Cari siapa?" tanya perempuan itu dengan wajah tidak ramah.
"Marlon, apakah dia ada di rumah?" tanya Lintang dalam bahasa Jerman.
Perempuan itu menoleh ke belakang seakan memberi kode pada orang yang ada di dalam rumah. Pintu terbuka lebar saat seorang lelaki berjaket kumal dengan jenggot yang tak tercukur muncul.
"Marlon?" tanya Lintang.
Lelaki itu mengangguk dengan wajah masih penuh tanya.
"Dimana Ayu?" selidik Lintang.
Marlon mengerutkan dahinya, lalu tertawa mengejek.
"Oh, si Jalang itu? Aku tak tahu dimana dia sekarang. Dia sudah pergi beberapa minggu yang lalu," jawab Marlon sambil mengangkat bahunya.
"Kurang ajar kau!" ucap Lintang kesal, "dimana kau sembunyikan Ayu, katakan!" seru Lintang jengkel dengan sikap tak acuh Marlon.
Nina menahan lengan Lintang agar menahan diri. Beat yang sedari tadi menunggu di dekat pagar akhirnya mendekat. Dia menarik Lintang menjauh dari Marlon.
"Sebaiknya kau katakan dimana Ayu, atau kami akan laporkan ke polisi atas tuduhan penculikan. Kau tahu, Ayu bukan orang Jerman, akan panjang urusannya. Pikirkanlah baik-baik," bujuk Beat.
Marlon diam sesaat memikirkan yang terbaik untuknya.
"Aku memang tak tahu dimana si Jalang itu sekarang. Tapi kalau kalian mau bertemu dengannya, datangi saja kelab malam Paradise, kadang dia ada di sana," terang Marlon cuek, "pergi sana, jangan ganggu kami lagi!" seru Marlon, lalu mengajak perempuan di sampingnya untuk masuk ke rumah.
Pintu ditutup tepat di depan wajah Beat.Tak hanya Lintang dan Nina, Beat juga ikut jengkel dengan sikap tak sopan Marlon. Nina menahan kesal sekaligus sedih. Dia tak paham apa yang mereka bicarakan, tapi Nina tahu, Ayu tak ada di rumah itu. Mereka masuk ke mobil, melanjutkan kembali pencarian sosok Ayu.