Nina sudah siap untuk keluar makan malam bersama Handika. Mereka janji bertemu di Lawang Sari, sebuah restoran dekat kampus yang baru buka beberapa minggu. Nina mengambil jaket lalu keluar kamar.
"Kamu mau kemana, Nin?" tanya Mbak Sonya senior mereka di Al Husna.
"Mau ada acara sama teman, Mbak," ucap Nina lalu mengambil helm milik Suci.
"Hati-hati di jalan, jangan malam-malam pulangnya," nasihat Mbak Sonya.
"Ya. Assalamua'alaikum."
"Wa'alaikumsalam," jawab Sonya.
Sosok Nina menghilang di balik pintu.
"Kemana tuh anak? Paling-paling jalan lagi sama tuh cowok," ucap seorang perempuan agak gemuk berkulit putih tetiba muncul dari arah dapur mendekati Mbak Sonya.
"Husssh, jangan suka su'udzon," ucap Mbak Sonya.
Si gemuk mencebik.
"Setiap orang membutuhkan proses untuk berubah, Sus. Siapa tahu Nina belum siap jika harus meninggalkan si Handika," bela Mbak Sonya.
"Iya sih," jawab si gemuk yang bernama Susi teman satu kontrakan Nina.
"Makanya, tugas kita cuma menasihati saja. Kalau dia gak mau berubah dan masih belum bisa jaga pergaulan dengan laki-laki, ya itu hak Allah yang kasih hidayah untuk hijrah. Setidaknya kita sudah menasihatinya karena sayang, jangan malah membenci apalagi berlagak sok suci," terang Mbak Sonya.
Susi mengangguk lalu menggapit lengan Mbak Sonya untuk menyeretnya ke dapur.
"Ayo sudahlah, kita cuci piring, jangan suka ngomongin orang melulu," ajak Mbak Sonya.
Mbak Sonya paham sosok Nina, dia memang membutuhkan waktu untuk berubah. Bukan berarti Sonya meremehkan semangat perubahan Nina untuk lebih baik. Sonya tahu bagaimana beratnya Nina ketika ingin istiqomah menggunakan jilbab dan kerudung panjang saat dia tahu kewajiban seorang muslimah harus menutup aurat dengan benar sesuai dengan surat Al Ahzab 59 dan An Nur 31.
Orang tua Nina yang memang Njowu* tulen tak mengizinkan Nina pakai jilbab panjang yang tertutup. Nina menangis waktu itu, dengan mengumpulkan segenap keberanian, Sonya menemani Nina melobi orang tuanya langsung ke Yogykarta, walau akhirnya orang tua Nina tetap tak mengizinkan memakai jilbab lebar dengan alasan orang tuanya ingin Nina melanjutkan darah seni tari yang ada di dalam keluarganya. Pada awalnya, orang tua Nina ingin anak gadisnya masuk ke sekolah seni agar ada penerus ibunya yang seorang dosen seni tari.
"Tak usah menyalahi adat. Dulu kami sudah mengizinkan kamu untuk masuk ke kampus Keguruan, gak jadi masuk ke institute seni. Lha sekarang kok malah ingin pakai baju kayak orang hamil, apa kata orang," ucap Ayah Nina saat itu.
Perkataan ayah Nina masih terngiang di telinga Sonya yang duduk di samping Nina saat itu. Akhirnya Nina memilih kabur dari rumah kembali ke Solo dan entah bagaimana, akhirnya orang tua Nina melembut dengan sendirinya.
Sama halnya dengan hubungan Nina dengan Handika, Sonya tahu Nina membutuhkan waktu untuk melepas lelaki itu. Ada waktunya nanti, Nina pasti akan kecewa dan berbalik ketika berharap cinta pada manusia. Tugas mereka sebagai sesama muslimah hanya menasehati dalam kebenaran dan tak boleh lelah untuk itu, karena cinta sesama agar bisa bersama mendapat surgaNya.
***
Udara malam terasa lembab, hujan baru saja reda. Jalanan basah menyisakan genangan. Nina mengendarai sepeda motor milik Suci menembus hawa dingin menuju ke restoran Lawang Sari. Lampu merkuri menyinari jalanan yang basah menjadikan efek gemerlap yang lembut di mata Nina.
Nina memarkir sepeda motor di samping kafe. Seorang juru parkir menatapnya sambil mengulas senyum. Nina menyapa dengan anggukan kepala.
"Titip sepeda motornya ya, Mas," ucap Nina.
"Inggih Mbak. Selamat makan."
Dari luar restoran terdengar suara klenengan* gamelan tembang Jawa Uler Kambang. Restoran itu didesain tradisional Jawa dengan ukir-ukiran yang indah. Nina mengedarkan pandangan ke segala arah mengagumi interior restoran yang mewah. Nina melihat hanya beberapa orang yang sedang menikmati hidangan sambil mendengarkan klenengan. Nina kira itu suara kaset, ternyata memang ada live show di restoran itu. Pertunjukkan karawitan lengkap dengan gamelan, yaga,* dan sinden yang sedang nembang. Suaranya merdu, mirip sinden Supadmi, walau umurnya masih terbilang muda.
Di meja depan dekat panggung ada seorang lelaki yang memakai jaket dari bahan jins denim. Oh, Dika sudah datang, batin Nina. Gadis itu mendekati sosok yang sedang menikmati pertunjukkan.
"Dika!" kejut Nina sambil menepuk punggung lelaki itu.
Spontan lelaki itu menoleh sambil menaikkan alisnya karena terkejut. Nina terkesiap, dia salah orang.
"Kau!" ucap Nina dan lelaki itu bersamaan.
Nina tak menyangka jika yang di sapanya adalah si Lintang.
Ya Allah kenapa ketemu dia lagi, batin Nina. Dia ingat bisikan hatinya tadi siang. Perjumpaan pertama sekedar pertemuan, perjumpaan kedua adalah kebetulan dan perjumpaan yang ketiga adalah musibah.
"Kita berjodoh," ucap Lintang lalu menyesap kopi hitamnya.
Nina mencebikkan bibirnya.
"Ada acara apa kau kemari?"tanya Lintang, "jangan-jangan kau membuntutiku," lanjutnya dengan maksud bercanda.
"Kepedean," ucap Nina lalu duduk di kursi dekat Lintang.
Nina menyomot roti croissant milik Lintang yang masih utuh lalu memakannya. Lintang hanya menatap Nina tanpa protes.
"Lapar? Kupesankan makanan," ucap Lintang sambil tersenyum melihat wajah Nina yang manyun.
"Tak usah, terima kasih. Aku ada janji sama seseorang untuk makan malam di sini," terang Nina.
Lintang mendekat ke arah Nina dengan wajah penasaran.
"Sama siapa? Laki-laki apa perempuan?" tanya Lintang dengan nada menginterogasi.
Nina menjauhkan wajahnya sambil mengerutkan dahi.
"Kepo weew," ucap Nina spontan.
Lintang menjauh, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi.
Sesosok bule dalam balutan baju batik datang mendekat. Lintang langsung berdiri menyambut lelaki berjenggot itu. Nina hanya menatap mereka dengan penuh tanya.
"Kados pundi kabaripun Mas Lintang?"* tanya si Bule dengan nada Jawa medhok.
Nina tak merasa aneh dengan sosok-sosok seperti si bule itu, karena di Yogya, Nina juga sering ketemu bule Njowu.
"Alhamdulillah Lik Wahyu," jawab Lintang sambil menjabat tangan bule berjenggot yang dipanggil Pak Lik Wahyu.
Nina sebenarnya ingin tertawa mendengar nama panggilan si bule itu, tapi demi kesopanan Nina tetap menahan tawa.
"Silakan duduk, siapa Nona yang cantik ini. Istrimu tho Tang?" tanya Lik Wahyu.
Nina akhirnya tak bisa menahan tawa. Dia menahan mulutnya yang cekikikan mendengar logat Lik Wahyu. Lintang tersenyum.
"Bukan," ucap Nina.
"Ya," jawab Lintang bersamaan dengan ucapan Nina.
Nina memukul lengan Lintang. Lik Wahyu jadi bingung memandang Lintang dan Nina bergantian.
"Ah yaa yaa, saya tahu kalian pasti sedang bertengkar. Biasa pasangan seperti itu, satu bilang ya, satu bilang tidak, ckckck...bisa dimengerti...bisa dimengerti," ucap Lik Wahyu.
Nina tersenyum kecut sambil melirik Lintang. Laki-laki itu tersenyum menang karena berhasil mengerjai Nina dengan membuat orang lain salah paham dengan status Nina.
"Nyonya Lintang mau makan apa?" tanya Lik Wahyu.
Wajah Nina penuh tanya sambil melihat ke arah Lintang.
"Lik Wahyu ini pemilik Lawang Sari," terang Lintang, "pesan saja, aku yang traktir," ucap Lintang.
"Baik," ucap Nina lalu menyebutkan menu makanan tradisional Jawa yang disediakan di restoran itu.
"Tunggu sebentar, hidangan segera disiapkan," ucap Lik Wahyu.
"Lik, sebentar," panggil Lintang, lalu membisikkan sesuatu pada Lik Wahyu.
Si Bule Njowu* itu mengangguk paham, lalu beranjak pergi meninggalkan Lintang dan Nina berdua.
Nina memperhatikan sinden yang berbusana Jawa dengan dada yang aduhai. Kebayanya terlalu pas bodi dengan kain brokat tembus pandang. Nina melirik Lintang yang menyesap kopinya. Apa yang ada dalam pikiran Lintang melihat hal yang seperti itu? tanya Nina dalam hati.
Gawai Nina berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari Handika. Nina mengangkat panggilan. Suara Handika terdengar ke telinga Lintang yang membuat dahi lelaki itu berkerut memastikan pendengarannya tak salah. Nina ditelepon seorang laki-laki.
"Halo, assalamu'alaikum," sapa Nina.
"Wa'alaikumsalam. Kamu sudah di Lawang Sari?" tanya Handika.
"Ya, aku menunggumu," jawab Nina.
"Aku ... aku minta maaf tak bisa menepati janji malam ini. Ibuku tiba-tiba sakit, malam ini aku pulang ke Yogya," terang Handika.
Terdengar oleh Nina suara latar belakang di telepon, panggilan keberangkatan kereta.
"Ya gak papa. Salam buat ibumu. Semoga cepat sembuh," ucap Nina menutup obrolan dengan Handika di ujung panggilan.
Lintang menatap Nina. Gadis itu menjadi murung karena kecewa.
"Ada apa? Temanmu tak bisa datang?" tanya Lintang.
Nina mengangguk lemah. Lintang bisa melihat dengan jelas betapa Nina kecewa karena laki-laki yang sudah berjanji akan datang ternyata berhalangan hadir. Syukurlah! batin Lintang sambil tersenyum menang.
Suara gamelan berhenti. Tiba-tiba suara yaga mendendangkan bowo langgam Taman Sari kesukaan Nina. Pandangan gadis itu kembali ke arah panggung sambil tersenyum. Nina memiliki kenangan tersendiri dengan langgam ciptaan Ki Nartosabdo. Teringat olehnya saat masih kecil sering diajak ayahnya ikut karawitan, jejak kenangan itu begitu membekas.
Dia ingat saat masih kecil bermain di tanah kosong sambil mencari bunga dan serangga bersama Ayu, bermain ke sawah mencari keong, lalu ke sungai mencari ikan. Nina ingat pernah menolong seorang anak laki-laki yang hampir mati tenggelam di sungai. Lagu ini menyibak kenangan Nina, hingga semuanya muncul kembali bak sebuah film yang diputar dalam benaknya.
Gumelaring kang sekar-sekar (Bunga-bunga terhampar)
Ngambar arum ngebeki taman sari (Harumnya memenuhi taman bunga)
Amamet prana satuhu (Menyentuh jiwa sejati)
Karya lejaring driya (Menciptakan rasa cinta)
Peksi ngoceh kumbang ambrengengeng (Burung berkicau, kumbang mendengung)
Nimbrung (Ikut serta)
Suasana endah mulya (Suasana indah)
Lir tamaning pra hapsari (Bak tamannya para bidadari)
Nadyan lagi ketemben aku ketemu, Nimas.
Uwis pulih kembang kang ilang kepanggih.
Nadyan akeh kembang kang arum gandane, Nimas.
Ora ono tak anggep dadi mustika.
Memanikku ya amung kowe wong kuning.
Sen isening kembang jroning taman sari.
Ora wangi marga kalah lan wong kuning, Nimas.
Prasajawa Nimas sira mundhut apa.
Lintang menunduk memandang cangkir kopinya yang setengah isi. Hatinya tetiba terasa sakit. Kenangan tentang Kartika muncul begitu saja saat mendengar langgam Taman Sari. Sudut bibir Lintang naik membentuk senyum miris karena sedih. Dia menaruh cangkirnya lalu menghela napas. Dia ingat senyum Kartika, suaranya, lagak gaya dan tawa adik angkatnya yang sudah tiada. Dia memiliki kenangan tersendiri dengan langgam ini saat mereka makan nasi goreng sekeluarga di pinggiran Malioboro sambil menikmati sajian pertunjukkan karawitan yang memang diadakan secara rutin di sana.
Lintang melirik Nina yang memakai kerudung hijau pupus. Dilihatnya gadis itu tersenyum sambil menonton klenengan*. Kebesaran Ilahi terpampang di hadapan Lintang. Ada orang yang memiliki wajah mirip tapi tak sedarah. Sayang sekali Nina bukanlah Kartika, ucap Lintang dalam hati. Nina menoleh ke arah Lintang sambil tersenyum, wajahnya bak pinang dibelah dua dengan Kartika. Lintang hanya bisa menghela napas, lalu membalas senyum Nina.
*Bagaimana kabarnya Mas Lintang?
*Intonasi bicara yang mirip pembicara asli
*Bergaya Jawa tulen
*Penyanyi langgam Jawa laki-laki
*Intro lagu
*Karawitan Jawa