Chereads / ELBE'S LOVE STORY / Chapter 6 - BAB 5

Chapter 6 - BAB 5

Lintang berdiri sambil menatap sebuah makam yang sudah ditumbuhi rumput pendek. Dia sedang berada di sebuah komplek pemakaman umum yang tertata rapi. Tatapan syahdunya seakan membuka sebuah rahasia luka yang menggores hatinya. Dia berjongkok di samping makam. Di nisan itu tertulis nama Kartika. Lintang mengelus nisan itu, lalu sejenak berdoa. Tak terasa sebulir bening menetes dan mengalir sampai ujung bibirnya.

"Bagaimana kabarmu Ndut?" tanya Lintang bermonolog.

Panggilan Ndut merupakan panggilan sayang Lintang pada Kartika karena saat kecil adiknya sangat gemuk.

"Aku pulang menjengukmu. Tak terasa sudah setahun aku tak melihatmu. Maafkan aku," lanjut Lintang.

Lintang menghela napas mengusir rasa sedihnya.

"Ndut ... kau tahu aku dalam masalah. Kau dulu begitu cemburu pada Ayu, walau berkali-kali kuberitahu padamu, kalau kami akan mencoba berbagai cara agar perjodohan itu takkan terjadi. Syukurlah aku tak jadi menikah dengan Ayu. Dia mengambil keputusan kabur bersama teman bulenya ke Jerman. Satu masalah selesai, malah datang selanjutnya. Sekarang, orangtua kita malah menjodohkan aku dengan adiknya Ayu. Nina namanya. Entah kenapa, melihatnya aku seperti melihatmu. Apakah kau punya saudara kembar yang tak kami ketahui?"

Lintang tertawa kecil.

"Namun, itu tak mungkin. Aku sendiri bersama ibu dulu menjemputmu di panti asuhan saat kau masih bayi. Jadi tak mungkin kau memiliki saudara kembar," ucap Lintang lalu diam sejenak.

"Aku tak tahu jika Ayu memiliki seorang adik. Walau wajahnya mirip wajahmu, dia bukanlah dirimu. Ayu dan Nina juga demikian. Mereka bak langit dan bumi. Ayu begitu bebas dan terbuka, sedangkan adiknya terlihat begitu pemalu dan tertutup. Bahkan cenderung susah untuk didekati" terang Lintang.

"Apakah kau cemburu aku bercerita tentang Nina? Kuharap kau tak cemburu. Nina tak memandangku, bahkan tak mengenalku dan tak mau tahu tentang masalah perjodohan. Dia juga kabur seperti Ayu. Kemarin aku bertemu dengannya, duduk di sebelahnya, bahkan tak tahu kalau aku lelaki yang akan dijodohkan dengannya. Konyol kan? Sepertinya keluarganya tak pernah memberitahu tentangku pada Nina, bahkan bisa jadi fotoku tak ditunjukkan oleh mereka. Atau Nina yang memang tak peduli. Apakah menurutmu aku harus balas dendam pada mereka?" tanya Lintang sambil tertawa kecil, menertawai keironisan hidupnya.

"Ndut ... aku belum bisa melupakanmu. Seandainya kau masih hidup, aku tahu kau akan mendengarkan semua keluh kesahku dan menyelesaikan permasalahan bersama-sama. Seandainya saat itu aku tergerak untuk menyusulmu ke Indonesia, aku bisa menemanimu lebih lama di saat terakhirmu," ucap Lintang sambil meneteskan kembali air mata penyesalan.

Lintang ingat saat dia menyatakan keinginannya menikahi Kartika dan membawanya berangkat ke Jerman untuk kuliah. Orang tuanya syok mendengar keputusan Lintang dan Kartika. Mereka tak tahu sejak kapan di antara mereka terdapat perasaan "terlarang". Secara hukum mereka kakak adik, tapi secara hukum agama, tak ada hubungan darah di antara mereka.

"Kalian itu kakak adik. Bagaimana bisa kalian mau menikah? Saru ... iku saru,"* ucap Ibu Lintang.

"Kartika bukan adik kandungku, Bu," jawab Lintang sambil melirik Kartika yang juga duduk menunduk di kursi di sebelahnya. Kartika mulai terisak.

"Tak bisa. Bapak gak setuju. Kamu berangkat saja ke Jerman. Kamu sudah punya calon istri, si Ayu itu. Titik," terang Pak Pramodya tegas.

Lintang diam tak berkutik. Dia hanya menatap Kartika yang hanya bisa menangis. Ibunya juga menangis. Lintang dilema. Dia sudah membuat semua perempuan di keluarga Pramodya menangis. Dia bercermin pada dirinya, lelaki macam apa dirinya jika hanya membuat sedih perempuan-perempuan yang dicintainya.

"Pak, Bu ... masalah ini jangan salahkan Kartika. Aku yang mencintainya. Salahkan saja aku," ucap Lintang sambil berdiri lalu beranjak pergi masuk ke dalam kamarnya.

Lintang melipati baju lalu memasukkannya ke dalam kopor. Dia ingin pergi dari rumah secepatnya agar masalah tidak membesar. Dia ingin menghindari Kartika agar perasaannya tak semakin membesar dan tak terbendung lagi. Setelah semua peristiwa itu dia benar-benar menghilang dan serius belajar kedokteran di Jerman selama beberapa tahun tanpa pulang ke Yogyakarta.

***

Nina berjalan di koridor kampus menuju ke kantor HMJ anak-anak prodi Bahasa Indonesia. Sesuai jadwal yang tertera di program, mereka akan rapat tentang pelaksanaan program literasi. Beberapa orang yang mengenalnya menyapanya di sepanjang koridor. Nina begitu anggun dengan gamis biru muda dan kerudung merah muda lembut. Sesampainya di kantor HMJ Nina langsung mengetuk pintu lalu membukanya.

"Assalamu'alaikum," ucap Nina sambil membuka pintu tapi tertahan oleh seseorang yang hendak keluar dari ruangan.

Nina terkejut melihat sosok yang keluar dari kantor HMJ. Handika, anak prodi Sejarah bermaksud keluar kantor bersama ketua HMJ mereka si Hendro. Nina mundur memberi jalan buat mereka.

"Kalian mau kemana?" tanya Nina ramah.

"Kami mau ke stand taman kota. Kamu kesana kan nanti?" tanya Hendro.

Nina mengangguk.

"Oh ya Nina, selamat ya atas acara lamarannya. Ditunggu undangannya," ucap Hendro sambil memasang sepatunya.

Deg! hati Nina berdegup terkejut.

"Duh Ndro ... kenapa bilang hal itu di depan Handika. Mati pasaranku Ndro. Pasti si Suci ini yang ember," batin Nina.

Nina menatap Handika ingin melihat respon lelaki itu ketika mendengar ucapan Hendro.

"Acaranya gak jadi. Mana si Suci?" tanya Nina merasa kesal sama Suci teman satu offeringnya yang ember mulutnya.

Sosok Handika yang ada di belakang Hendro menatap Nina. Desir halus menyentuh hati Nina. Sosok itu yang menarik perhatian Nina sejak jadi mahasiswa baru. Sosoknya tegap, berkulit cokelat, dengan kumis tipis.

"Ada tuh di dalam," jawab Hendro.

Nina mengangguk lalu melepas sepatunya kemudian masuk ke dalam kantor melewati Handika yang memandangnya dengan tatapan yang penuh tanda tanya.

***

Nina langsung mendekati Suci yang sedang mencetak berkas untuk persiapan rapat.

Puuuk!

Nina langsung memukul punggung Suci.

"Ciii! Mati pasaranku, Ci. Gara-gara kamu bilang ke Hendro aku pulang ke Yogya kemarin ada acara lamaran. Mana ada Handika di situ," keluh Nina pada teman akrabnya.

Suci tertawa cekikikan.

"Maaf, Non. Aku sengaja kok," ucap Suci teman Nina yang berkulit putih dan bermata sipit.

Nina melirik Suci yang masih sibuk mencetak file. Nina kesal.

"Nin ... kan mbak Shafwana sudah bilang jagalah hati jangan kau nodai. Daripada kamu tergoda untuk maksiat hati dengan Handika lebih baik sudahi saja. Kamu bilang kemarin ada acara perjodohan, ya aku bilang apa adanya sama Hendro kamu pulang ke Yogya untuk itu. Dengan begitu kan Handika akan menyerah mengejarmu dan kamu juga akan tahu diri agar tak main hati," nasihat Suci.

Nina paham tapi dia belum bisa melepas Handika. Hubungan Nina dengan Handika sebenarnya bisa dibilang tidak ada hubungan resmi seperti halnya orang pacaran. Dia hanya sering interaksi dan menganggap Handika sebagai kawan yang baik hati dan perhatian padanya. Tak ada pernyataan "Aku suka padamu" atau "Maukah kau jadi pacarku?" di antara mereka. Yang ada hanya saling peduli, dan mereka nyaman satu sama lain. Nina tahu pacaran itu haram, tapi seakan dalam hatinya selama ini mereka tak pernah pacaran, hanya berteman saja.

"Jangan berpikir berlebihan, aku dan Handika gak pacaran kok," elak Nina.

Suci menatap Nina serius.

"Teleponan sampai malam sampai hape panas itu apa? Sering jalan berdua itu apa? Tiap akhir pekan jalan keluar makan berdua itu apa?" tanya Suci yang mengharapkan temannya jujur dengan hatinya sendiri.

"Itu kan ... ah sudahlah. Aku dan Handika gak pacaran kok. Kami hanya berteman," elak Nina lagi.

"Ya sudahlah aku cuma bisa nasehatin kamu agar jaga pergaulanmu dengan laki-laki, apalagi yang bukan mahrammu," terang Suci akhirnya menyerah dengan Nina yang keras kepala.

Nina merengut. Melihat itu Suci pun tersenyum.

"Ayolah, sudahi merengutnya. Ini berkas rapat kita sudah selesai. Kita tunggu kawan-kawan kumpul," ajak Suci sambil menyodorkan setumpuk kertas program literasi HMJ yang akan dirapatkan.

Nina mengambil kertas itu, lalu membacanya.

"Oh ya, hanya saja kita belum mendapatkan mobil untuk mengangkut barang-barang dan buku-buku. Apakah kau punya saudara atau teman yang bisa dipinjam mobilnya?" tanya Nina sambil memeriksa kertas.

Suci diam berpikir.

"Mungkin aku bisa minta tolong kakak iparku, untuk meminjamkan mobil, tapi dia dokter yang sibuk. Aku coba saja dulu siapa tahu beliaunya mau membantu kita selama beberapa hari ini," terang Suci.

"Wo xi huan ni,"* ucap Nina dengan nada bercanda pada Suci, "baiklah kita tunggu yang lain datang. Itu dalam tasku ada keripik tempe kesukaanmu, buka saja," lanjut Nina meminta Suci membuka tas ranselnya.

Suci pun tanpa sungkan membuka lalu mengambil makanan kesukaannya.

"Xièxiè,"* jawab Suci sambil tersenyum ceria.Bunyi gawai Nina berbunyi. Sebuah pesan masuk. Nina membuka gawainya. Sebuah pesan dari Handika.

[Apa benar kata Hendro?]

[Benar, tapi aku kabur dari acara itu. Ini semua karena Mbak Ayu yang tak mau dijodohkan dengan cucu teman kakek. Akhirnya aku yang disuruh "pasang badan" menggantikan Ayu. Aku begitu kesal, mungkin beberapa hari ke depan saat liburan semester aku mau menyusul ke Jerman untuk mencari Ayu dan menyuruhnya pulang. Dia yang harus tanggung jawab, bukan aku]

Nina hanya memandang layar gawainya lama. Tak ada balasan apa pun dari Handika. Dalam hati Nina khawatir jika Handika memiliki prasangka yang tidak-tidak terhadapnya. Dik, kapan kau punya keberanian datang ke orangtuaku? Selamatkan aku dari perjodohan ini, tanya Nina dalam hati lalu duduk memeluk lutut di tengah ruang kantor HMJ. Dia meletakkan kepalanya di atas lututnya merenungi nasibnya.

*Tabu ... itu tabu

*Aku suka padamu

*Terima kasih