Sepulang dari wisata alam, Davino mengantarku ke rumah. Aku mengambil beberapa pakaian dan meminta izin pada orang tuaku untuk menginap di rumah Davino untuk satu sampai dua hari. Selain itu, aku juga menjelaskan tentang alasan aku menginap di rumah Davino. Seperti biasa, mereka akan setuju. Selain karena keluarga kami memang dekat, mereka juga tahu perihal pertemanan aku dengan Kak Devina yang bahkan bisa dikatakan seperti adik dan kakak.
Beberapa kali panggilan masuk dari Kak Devina, Davino menyuruhku untuk tidak mengangkat panggilannya. Kami mampir ke sebuah pusat perbelanjaan untuk membeli kado.
"Kak Devina gak punya apa, sih, Dav? Kayanya semua barang perempuan dia punya."
"Nggak cuma barang perempuan, jersey cowok aja dia punya."
"Serius? Buat apa?"
"Buat dia pakai, itu dia beli cuma karena suka sama warna dan gambarnya."
Aku terkekeh. "Ada-ada aja."
"Gue kado apa ya, Nay?"
"Yang bermanfaat."
"Pembalut," ucap Davino seolah mendapat ide paling cemerlang.
"Eh, ya jangan pembalut juga!"
"Yang udah pasti bermanfaat kan pembalut."
"Kan ada yang lain, Dav."
Davino mulai mengedarkan pandangan. "Lo udah dapat, Nay?"
"Udah."
"Apa?"
"Tas kuliah."
"Ah, mahal. Gue beli dompet recehan aja, deh."
"Yang bener aja, Dav."
"Bingung gue."
"Ya udah, baju aja. Anak kuliahan itu butuh stok baju yang cukup banyak."
Davino mendesah pasrah, akhirnya dia juga membeli baju yang bagi aku dan Davino cukup bagus. Meski tadi ia mengatakan hadiah dariku terlalu mahal, kini ia membayar lebih mahal untuk hadiah yang dia beli untuk kakaknya. Sepanjang dari dalam gedung pusat perbelanjaan, Davino menggerutu menyesal membeli baju ini karena sangat menguras dompetnya. Aku tak berhenti tertawa, Davino yang beberapa kali menatapku kini ikut tertawa pelan.
"Lo, sih, rekomendasiinnya salah."
"Lo kan setuju," ucapku membela.
"Soalnya lo yang ngomong."
"Apaan, sih, Dav," ucapku sedikit salah tingkah.
"Dasar baperan," ucap Davino seraya mengacak gemas puncak kepalaku.
Motor melaju membelah jalanan, diantara hari yang semakin sore. Aku menatap punggung di hadapanku, senyum begitu saja terbentuk. Aku juga tidak mengerti, apa yang aku pikirkan. Rasanya, aku menemukan nyaman yang hilang. Aku menggeleng pelan, mengusir pemikiran itu.
Devina. Perempuan cantik tinggi semampai, rambut sebahu dan paling pintar berekspresi kesal. Seperti sekarang. Dia menatap sinis kedatangan aku dan Davino, aku tersenyum sedangkan Davino tentu saja tak peduli.
"Dari mana?!"
"Biasa aja, sih. Gue nggak budek."
Kak Devina mengabaikan adiknya, dia beralih menatapku. "Nay, kenapa telepon nggak diangkat?"
"Nggak denger, Kak. Mode silent," ucapku beralasan.
"Ya udah, dimaafin. Jadi nginep kan?"
"Jadi, Kak."
"Okay, malam nanti kita punya satu member baru. Eh, itu di keresek apaan? Buat gue ya? Mana-mana?"
"Sparepart motor. Mau lo? Sini gue ganti gusi lo pakai busi motor."
"Jahat. Yuk, Nay, masuk aja. Biasa, komplek perumahan ini emang suka ada orang gila nyasar."
"Gak usah ngomongin diri sendiri!"
"HEH! Jangan jawab lagi atau gue gantung lo di penangkal petir?! Biar gosong lo disana!"
Ajaibnya, Davino diam. Davino pernah bercerita kalau ancaman yang Devina berikan pasti akan benar-benar ia lakukan. Dulu, ketika mereka adu mulut karena berlari-lari di rumah Nenek mereka hingga memecahkan guci cukup besar, Devina sampai kesal karena Davino tidak juga mengaku bahwa ia yang memecahkan. Sebagai Kakak, akhirnya dia juga yang menjadi sasaran kemarahan orang tuanya.
Devina mengancam Davino untuk mengaku, ancaman yang Devina berikan ketika itu adalah menggunting semua kancing yang ada di pakaian Davino. Tentu saja, Davino hanya memikirkan kancing yang melekat pada pakaian yang ia gunakan, maka Davino masih tetap tidak mengaku. Akhirnya, di pagi hari Davino dikejutkan dengan lemarinya yang acak-acakan. Kancing baju dimana-mana, juga satu gunting tergeletak di dekat baju seragam sekolahnya. Devina menepati ancamannya, ia menggunting semua kancing di setiap baju. Devina tak peduli apakah itu seragam sekolah, baju resmi, atau pakaian penting lainnya.
Akhirnya, penjahit tetangga Davino seperti baru saja tertimpa Duren. Ikut melongo melihat jumlah jahitannya dan sekantung kancing. Sejak hari itu, Davino akan menuruti keinginan Kakaknya ketika perempuan itu mulai memakai ancaman.
"Bunda ada tamu, nih."
Tante Diana keluar dari ruangan dapur, tersenyum lebar melihatku digandeng oleh Kak Devina. "Ini, sih, bukan tamu. Anak bungsu Bunda."
"Tuh, Dav, lo punya adek. Cantik lagi."
"Lo nggak mau resign aja gitu jadi Kakak gue?"
"Bunda tuh denger, kan?"
Tante Diana hanya menggeleng lelah, melihat kelakuan anaknya yang selalu saja begitu jika dalam satu atap yang sama. "Kanaya makan dulu yuk," ajak Tante Dinia padaku.
"Udah makan, Tante. Nanti aja, deh."
"Makan lagi, kamu makin hari makin kurus aja."
Tante Dinia menarik lenganku ikut dengannya ke meja makan, sedangkan di belakangku Devina dan Davino melongo tak percaya hanya aku yang diajak Ibu mereka untuk makan. "DEVINA SAMA DAVINO JANGAN MAKAN SEBELUM BAIKAN. BUNDA NGGAK MAU YA KALAU KALIAN SAMPAI LEMPAR-LEMPARAN TOMAT LAGI DI MEJA MAKAN!"
***
Beratapkan langit malam dan taburan bintang, obrolan semakin hangat diantara keluarga ini. Terlihat jelas mata perempuan cantik di hadapanku berbinar, bahagia pastinya bisa melalui malam pergantian umurnya bersama keluarga yang utuh.
"Naya harus ikut, ya?"
"Nggak usah, Tante. Itu, kan, liburan keluarga."
"Naya juga kan keluarga kami," ucap Om Ando.
"Bener kata Ayah, kamu itu udah jadi bagian dari keluarga Kakak, Nay. Ikut, ya?"
"Memang mau kemana?"
"Bromo," ucap mereka serentak. Aku tersenyum kecil, menggeleng pelan.
"Kenapa?"
"Bromo kan satu lokasi sama Semeru," ucap Davino membuat mereka bertatapan mulai mengerti mengapa aku tidak ingin kesana.
Aku menoleh pada Davino, lelaki itu menatapku. "Tapi Naya mau ikut, iya kan, Nay?" lanjut Davino.
Aku menatapnya seolah mengatakan aku tidak ingin ikut, namun Davino justru meraih jemariku di bawah meja.
"Ini waktunya, Nay," ucap Davino pelan.
"Kalau nggak mau juga nggak apa-apa kok, Nay, Kakak ngerti."
Aku menatap Kak Devina, sepertinya untuk sekarang aku tidak seharusnya mengutamakan ego atau masalah pribadiku. Perempuan di hadapanku ini sudah aku anggap sebagai Kakakku sendiri, apakah aku akan tega untuk tak memenuhi keinginannya hanya karena aku tidak suka tempat itu?
"Naya mau, Kak."
Kak Devina menatapku, tersenyum senang. "Bener?"
Aku mengangguk.
Obrolan terus berlanjut malam itu, Davino yang duduk di sampingku masih terus menggenggam jemariku, baru ia lepaskan ketika perlahan satu demi satu orang dimeja makan kembali ke kamarnya untuk tidur. Kak Devina tersenyum menatap ponselnya, kemudian dia menatap aku dan Davino bergantian. "Kalian masih mau disini?"
"Iya," jawab Davino.
"Gue masuk duluan ya, Adek ganteng. Mau video call sama si sayang."
"Bucin," cibir Davino.
"Sirik aja lo jomlo! Dah, ah, Naya, Kakak masuk duluan, ya? Kalau Davino macam-macam kamu teriak aja, okay?"
Aku terkekeh pelan. "Iya, Kak."
Kak Devina berjalan meninggalkan meja makan, sementara ponselnya ia angkat sejajar dengan wajahnya. Dahulu, aku dan Alvaro tak pernah melakukan hal itu. Alvaro selalu bilang, dia tidak ingin aku melihat wajahnya terlalu sering. Dia ingin aku terus merindukannya, sebab itulah aku hanya diizinkan untuk mendengar suaranya saja. Amel benar, Alvaro telah melatihku sejak dahulu sebagai ungkapan pamit yang tidak benar-benar ia katakan.
Davino mengibaskan jemarinya di hadapan wajahku, membuatku mengerjap tersadar dari lamunan.
"Ngelamunin apa, lo?" tanyanya.
"Nggak."
"Nggak usah dijawab juga gue tau."
Hening kembali, aku berdiri berjalan menuju pagar pembatas rooftop. Davino ikut berdiri di sampingku, menatap gemerlap lampu perumahan menjadi satu-satunya yang ramai malam ini. Aku menoleh menatap Davino yang entah sejak kapan dia terlihat diam.
"Gue ganteng, kan, Nay?" ucapnya tiba-tiba seraya menoleh padaku. Aku terkekeh pelan, mencubit lengannya. "Dasar!"
Davino ikut tertawa, kemudian hening lagi. Kali ini, Davino mengrluarkan ponselnya. "Nay," panggilnya.
"Hm."
"Gue dapat email."
"Email apa?"
Dia memberikan ponselnya, menyuruhku membaca isi surel itu.
------
from : ***@gmail.com
Davino, ini aku. Lizy. Sengaja pakai email Papi, supaya mau kamu baca.
Apa kabar, Dav?
Satu tahun, aku cuma bisa sampai disini buat pura-pura nggak ingin tahu kabar kamu. Setiap hari, setiap inget kamu, rasanya aku selalu menyesali kenapa dulu aku harus pindah ke sini. Mungkin, karena waktu itu terlalu muda untuk mengambil keputusan yang bertolak belakang sama keinginan Papi.
Aku kangen, Dav. Aku pengen di sana, sama kamu.
Mungkin itu aja yang mau aku bicarakan, Dav.
Aku tunggu balasannya.
--------
Entah bagaimana mungkin perasaanku seperti ini, seperti tidak rela dia kembali ke sini lalu sekali lagi menjadi bagian dari hidup Davino. Melihat Davino menjadi diam karena isi surel ini, aku semakin tidak suka. Aku ingin Davino biasa saja untuk menanggapi surel ini, atau abaikan saja. Tidak, tetapi ini tidak benar.
"Kenapa nggak dibalas?"
"Bingung, Nay."
"Lo masih suka dia?"
Davino menoleh menatapku. "Harusnya gimana, Nay?"
"Dav, pertanyaan gue bukan pertanyaan pendapat."
"Gue juga nggak ngerti, gue pengen balas tapi gue bingung harus balas apa. Kalau lo ada di posisi gue, lo akan balas apa?"
Aku membisu.
"Rumit, kan, Nay?"
"Iya."
"Udah, ah, gak usah dibalas."
"Iya."
"Atau kapan-kapan aja gue balas."
"Iya."
"Apaan, sih, Nay. Iya iya mulu. Ngantuk lo ya?"
Aku tersenyum. "Dikit."
"Nonton bola dulu, yuk, sama gue."
"Gue nggak suka bola, Dav."
"Temenin gue," ajaknya sedikit memaksa, menarik lenganku menuju ruang televisi. Mau tidak mau aku ikut duduk di sampingnya, dengan satu bungkus makanan ringan.
"Davino," panggilku ketika babak pertama baru saja selesai.
"Apa?"
"Gue pengen tau, kenapa lo cuma maksa berteman sama gue di kelas itu?"
"Karena sebelumnya gue udah kenal sama lo."
"Kita nggak pernah kenalan."
"Tapi gue tahu lo."
"Karena malam itu? Lo tolongin gue?"
"Sebelum itu."
"Sebelum itu, kapan?"
"Di stasiun."
"Hah?"
Davino menyimpan bungkus makanan ringan yang tersisa setegah, kemudian mengubah posisi duduknya hingga menghadapku. "Lo percaya nggak kalau gue tahu seperti apa wajah Alvaro sebelum dia lepas dari pelukan lo di stasiun?"
"Lo nggak lagi ngarang kan?"
"Sebelum dia pergi, dia cium kening lo. Di sebelah sini," ucapnya seraya menyentuh bagian tengah keningku. Benar. Dia menunjuk letak yang sangat benar, padahal aku tidak sama sekali menceritakan apa saja yang dilakukan Alvaro di stasiun.
"Lo ada disana?"
"Gue turun dari kereta yang akan Alvaro tumpangi. Gue kira lo dan Alvaro hanya sekadar selingan diantara perjalanan gue, ternyata Tuhan bawa lo sampai di sini. Malam ketika gue nolongin lo, gue nggak tahu kalau lo adalah perempuan yang ada di stasiun itu. Jujur, gue kaget lihat wajah lo. Gue kaya terlempar ke waktu yang lalu, waktu dimana gue lihat perempuan nangis di hadapan lelaki lalu lelaki itu mencium keningnya. Om David lalu cerita tentang lo, dia juga cerita tentang Alvaro. Nggak tahu kenapa, gue ngerasa bisa merasakan sakitnya ada di posisi lo. Akhirnya hari itu gue memutuskan untuk kenalan sama lo, menjadi teman lo. Ternyata susah juga."
"Terus sekarang?"
"Enak temenan sama lo, Nay."
"Kenapa?"
"Karena lo nggak baper sama gue."
Aku mengalihkan pandangan, menatap televisi. Menyembunyika ekspresi terkejut di wajahku.
"Gue jarang punya teman cewek, karena setiap kali gue mulai nyaman sama pertemanannya, dia malah nyatain perasaannya. Lo nggak akan gitu kan, Nay?"
Aku mengangguk, tersenyum. Pastilah perasaan aneh yang beberapa kali muncul hanyalah perasaan sepintas sebagai seorang teman, aku juga tidak ingin merusak semua pertemanan yang sudah terjalin. Terlebih lagi, Davino sudah berbaik hati membantuku untuk berdamai dengan semua yang terjadi di masa lalu, semua tentang Alvaro.
Meski mungkin akan menjadi teori yang bersebrangan dengan teori pertemanan lainnya, tapi aku akan berjanji pada diriku sendiri jika hal itu memang terjadi aku tidak akan membiarka siapapun tahu mengenainya. Pertemanan diantara lelaki dan perempuan jarang sekali atau bahkan tidak ada yang tidak melibatkan perasaan. Aku menolak teori itu, meski pastilah banyak yang tidak mempercayaiku termasuk diriku sendiri, tetapi biarlah kutanam sebagai upaya untuk menahan semua rasa dan mengendalikan setiap perasaan aneh yang jika suatu hari tiba-tiba hadir. Yang terpenting, Davino tidak boleh tahu jika hal itu terjadi.
***Keping Kenangan***