Chereads / Keping Kenangan / Chapter 19 - Sembilanbelas - Tragedi

Chapter 19 - Sembilanbelas - Tragedi

Selepas senja, burung-burung pulang pada rumahnya. Pepohonan yang ramai, percakapan dan rengekan anak burung terdengar memunuhi sepi pepohonan. Aku masih di dalam kamar Kak Devina, hendak pulang setelah perempuan itu menyelesaikan mandinya.

"Devina mana?" tanya seorang lelaki yang baru saja masuk ruangan kamar. Davino.

"Mandi."

Dia meletakkan kantung keresek putih berisi kotak kertas di atas meja rias. Aku kembali menatap keluar jendela, menikmati warna langit sisa senja di ujung cakrawala.

"Gue boleh bicara sebentar?"

Aku menoleh, diam sejenak kemudian mengangguk. Aku kira Davino sudah keluar lagi sejak tadi.

"Di belakang."

Aku mengangguk, mengekor Davino menuju tempat yang biasa kami gunakan untuk menonton film atau sekadar duduk-duduk dengan secangkir teh hangat lalu menatap hujan. Hening saja, namun anehnya mampu membuatku merasa betah. Dan sekarang, aku tahu itu sebab apa.

"Sengaja lo ngehindar dari gue?" tanya Davino langsung pada intinya.

"Maaf."

"Apa lagi sih, Nay. Sebenarnya mau lo gimana?"

"Kenapa memangnya? Lo juga kelihatan baik-baik aja, kan? Apa alasan lo sekarang marah sama gue?"

"Lo lupa? Satu bulan lalu lo nangis-nangis minta gue jangan hilang dari lo, dan sebulan kemudian setelah kejadian di depan pagar rumah lo itu justru lo yang menghilang. Gue udah coba memperbaiki semuanya, tapi lihat apa yang lo lakuin?"

"Gue meminta itu sebelum lo bilang lo balikan sama dia."

Entahlah, aku juga tahu itu kalimat paling salah yang aku ucapkan. Tapi aku kali ini benar-benar bingung harus melakukan apa lagi selain jujur. Aneh, Davino hanya diam. Dia bahkan tak lagi menatapku. Aku yakin, setelah ini semuanya akan benar-benar hancur.

"Lo bilang lo rela gue mencintai siapapun."

"Siapapun asal jangan dia, Dav. Dia udah ninggalin lo."

"Lalu kenapa itu jadi urusan lo?"

"Karena gue peduli sama lo!"

"Peduli? Sebulan ini mana peduli lo sama gue?"

"Lo jangan melupakan kalau lo pernah melakukan hal yang sama."

"Nay!"

"Lo yang memulai, Davino."

"Lo yang nggak ngerti, Nay. Sekarang gini, kalau aja Alvaro masih—"

"Jangan bawa-bawa dia, Dav."

"Dengerin! Kalau Alvaro masih ada, lalu dia balik lagi datang ke hidup lo, apa lo nggak akan melakukan hal yang sama sama gue? Apa lo akan ada di hadapan gue sekarang? Apa lo akan memohon gue untuk nggak hilang dari lo sebulan yang lalu? Nggak, Nay. Walau lo merasa kisah itu udah lapuk dimakan waktu, lo akan tetap memilih dia dibanding gue meski perasaan lo udah berubah."

Aku tidak mengerti arah pembicaraan Davino, dia terlalau banyak bermain kata hingga aku kesulitan memahami maksud utama kalimatnya.

"Lo nggak akan ngerti, Nay. Karena Alvaro bukan Lizy dan lo bukan gue. Kalau setiap kehilangan kasusnya selalu sama kaya lo, mungkin nggak ada kata 'kembali' yang tercipta di dunia ini."

Dia mengatakan itu kemudian pergi. Aku mulai mencerna semua kalimatnya, sampai membentuk kesimpulan.

"Davino," panggilku seraya ikut masuk.

Kesimpulan yang ada di kepalaku masih berupa kalimat-kalimat rumpang, belum mampu aku pahami sepenuhnya.

Kak Devina berlari kecil dari arah dapur, tersenyum lebar. Dia memelukku begitu erat. "Ada apa, Kak?"

"Maaf, ya, tadi Kakak nguping."

Aku diam, menunggu kelanjutan ucapannya.

"Seneng banget dengernya."

"Kak Devina ngerti?"

Dia melepaskan pelukan, menatapku dengan tatapan tak terbaca. "Kamu nggak ngerti, Nay?"

Aku menggeleng pelan. "Astaga. Ya udah, biar Davino yang jelasin lain waktu lagi. Yuk, pulang. Nanti orang tua kamu nyariin."

Aku kira di dalam mobil perjalanan pulang, aku akan mendapat setidaknya penjelasan walau hanya dalam bentuk abstrak. Ternyata tidak sama sekali, justru Kak Devina enggan membahas hal itu dan bersikeras menyuruhku untuk bertanya langsung pada Davino. Menyebalkan.

***

Aku suka malam hari. Waktu paling hening, dimana semua kejadian bisa terangkai utuh dalam kepala. Aku suka melihat lampu-lampu penduduk dari lantai teratas rumahku, seperti ribuan kunang-kunang yang siap membawaku terbang untuk malam itu saja. Sudah lima hari berlalu sejak obrolanku dan Davino di belakang rumahnya. Tidak ada sepatah katapun setelah kejadian itu, kami hanya saling diam dan saling tak mengirim pesan.

Mataku masih setia menatap langit, sebelum getar ponsel membuyarkan semua lamunan itu. Nomor tidak dikenal, aku menatap layar ponsel cukup lama. Panggilan itu berakhir tak aku jawab, hingga ponselku bergetar lagi. Aku mulai penasaran, pukul sebelas malam ada apa seseorang mengubungiku? Apakah ini penting?

Aku mengangkat panggilan tersebut. "Ya, halo."

"Halo, Kanaya. Ini aku, Lizy."

"Lizy?"

"Iya. Kamu nggak lupa, kan?"

"Iya. Ada apa?"

"Bisa ketemu sebentar, nggak?"

"Jam sebelas."

"Iya aku tau nggak sopan, tapi aku pengen bilang sekarang. Ketemu, ya? Di depan super market."

Aku diam sejenak, menimbang-nimbang sembari melihat jam.

"Ya udah, aku kesana. Super market yang mana?"

"Sebelum pangkalan TNI AU."

"Oke."

Aku menyambar pakaian rajut, membuka pintu untuk melihat-lihat keadaan rumah. Jika Ayah tahu, pastilah aku tidak akan mendapat izin. Tidak ada siapa-siapa, aku segera turun dan membuka pintu. Berjalan menuju gerbang awal perumahan, biasanya ada beberapa ojek yang mangkal di sana.

"Pak, ojek, ya?"

"Eh, iya, Neng. Mau kemana?"

"Super market jalan Lanud."

"Oh, bisa. Tapi mau ngapain, Neng? Setau saya udah tutup kalau malam gini."

"Ketemu temen, Pak."

Bapak itu mengangguk, mulai memakai helmnya. Motor mulai melaju dengan kecepatan standar, membuatku leluasa melihat keramaian di malam hari. Beberapa pedagang juga masih setia duduk dibalik gerobaknya, sesekali mengobrol hangat.

Pemandangan itu mulai hilang, berganti perempatan. Bangunan peningalan Belanda ada di sebelah kiriku, masih berdiri kokoh meski dindingnya tidak lagi bersih. Rambu lalu lintas berubah hijau, motor berbelok ke kanan. Sekitar lima ratus meter kemudian, aku sudah bisa melihat nama super market yang tidak lagi menyala. Sebuah mobil merah berhenti di sana. Aku memberikan ongkos kepada pengemudi ojek, tak lupa mengucapkan terima kasih. Bapak itu berbalik melewati jalan tadi, bersamaan dengan ponselku yang bergetar.

Davino.

"Kanaya," panggilnya ketika baru saja panggilannya aku terima.

"Iya?"

"Dimana?"

"Kenapa memang?"

"Dimana?"

"Jalan Lanud, depan super market."

"Ngapain?"

"Ketemu Lizy. Dia mau ada obrolan katanya."

"Kenapa lo mau?"

"Mungkin penting."

"Balik lagi! tinggalin tempat itu."

"Ojeknya udah gak ada."

"Astaga. Ya udah gue kesana."

"Loh memang—"

Belum selesai berbicara, dia sudah memutuskan panggilan. Seseorang turun dari mobil itu, tersenyum hangat padaku. "Nay."

Aku mendekat, menghampiri dia yang kini berada di samping pintu kemudi. Jalanan ini begitu ramai karena merupakan akses menuju bandara, tetapi meski begitu jalanan ini cukup sepi pedagang. Hanya ada satu toko sepatu yang masih buka, itupun kini sudah mulai bersih-bersih hendak menutup tokonya.

"Kenapa harus disini?" tanyaku membuka obrolan dan berdiri di hadapannya.

"Aku nggak banyak tahu tentang daerah ini. Selama di Indonesia, aku kan tinggal di Jogja."

"Oh. Terus, mau ngomong apa?"

Lizy menghela nafas lelah, rambut pirangnya sesekali tertiup angin menerpa kulit putih wajahnya.

"Kamu tau, kan, saya kesini buat siapa?" tanyanya. Aku juga tidak mengerti mengapa tiba-tiba saja dia mengganti aku menjadi saya.

"Davino?"

"Iya. Saya ninggalin semuanya di sana, bahkan keluarga Ayah saya. Saya pilih kuliah di sini, atau dimanapun asal dengan Davino."

"Lalu?"

Lizy yang semula bersandar pada pintu mobil, kini berdiri tegak sejajar denganku.

"Saya yang harusnya nanya sama kamu. Kenapa kamu harus ada di hidup Davino?"

Aku tidak mengerti. Apa hubungannya kehadiranku dan hubungan mereka?

"Kamu selalu berhasil Kanaya, kamu selalu berhasil menjadi pencuri."

"Lizy, aku nggak ngerti."

"Kamu nggak akan ngerti karena disini yang berperan antagonis itu kamu."

Aku diam. Lizy mencengkram bahuku. "Kamu seharusnya nggak ada di dunia ini, Kanaya. Nggak pernah ada di hidup Davino bahkan di hidup Alvaro."

Alvaro? Apa Davino menceritakan semuanya? Tapi apa untungnya?

Lizy semakin erat mencengkram bahuku, membuatku meringis mencoba melepaskan. Perempuan itu tak lagi ramah, wajahnya penuh amarah. "Saya nggak pernah ada urusan dengan kamu sebelumnya. SEBELUM KAMU AMBIL ALVARO DARI SAYA, DAN SEKARANG KENAPA SEKALI LAGI KAMU HARUS AMBIL ORANG TERBAIK DI HIDUP SAYA? KENAPA KAMU SELALU MENANG, KANAYA? KENAPA?!"

Tidak. Aku tidak pernah mengambil Alvaro dari siapapun, aku juga tidak pernah merasa menjalani kompetisi. Aku menggeleng pelan.

"Saya mengikhlaskan Alvaro hingga akhir hidupnya bersama kamu, tapi bukan berarti kamu berhak mengambil seseorang di hidup saya, sekali lagi. Saya benci kamu, Kanaya. Saya benci!"

Air matanya luruh tak terkendali, ia melepas cengkraman pada bahuku. Tubuhnya bersandar di mobil, aku mendekat satu langkah, berniat menenangkan tangisnya. "Lizy, aku—"

"PERGI KAMU!" sentaknya seraya mendorong keras tubuhku. Sorot lampu menyilaukan membuatku menoleh, klakson mobil terdengar nyaring sekali. Belum sempat aku mampu mengendalikan gerak tubuhku, mobil dengan cepat menghantam tubuhku. Sakit sekali rasanya.

"KANAYA!"

Suara Davino, aku masih bisa mendengarnya. Beberapa orang berkerumun, samar aku juga melihat Davino menyusup diantara kerumunan orang-orang dan pengendara yang sengaja berhenti. Davino mengangkat kepalaku, air matanya luruh. Aku melihatnya.

"TELEPON AMBULANCE!" teriak Davino. Beberapa orang bergerak membuka ponsel. Aku hanya bisa menatap Davino dengan pandangan rabun seperti tertutup oleh cairan merah yang membasahi bulu mataku. Davino mengusap pelan wajahku. "Nay, bertahan. Gue mohon."

Nafasku terasa semakin sulit, seluruh tubuhku sakit sekali. Aku menutup mataku, mencoba menghilangkan rasa sakit dengan tidur. "Kanaya, lo dengar gue?"

Sirine ambulan menjadi suara terakhir yang aku dengar. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Meski begitu, aku merasa ketenangan luar biasa setelahnya.

***