Chereads / Keping Kenangan / Chapter 14 - Empatbelas - Kepingan Masalalu

Chapter 14 - Empatbelas - Kepingan Masalalu

Pengawal hari membawa harum embun ke dalam celah jendela kamar, mataku terpana pada biru paling menenangkan diluar jendela, ketika awan-awan belum sepenuhnya terlihat. Kak Devina masih tidur tenang di sampingku, semalam ia tidur amat larut karena mengobrol dengan kekasihnya melalui jaringan telepon. Diantara suara ayam berkokok saling bersautan, aku teringat ucapan Davino malam tadi. Entah mengapa tiba-tiba risau menyelimuti diriku, beberapa kemungkinan-kemungkinan berhasil meracuni pikiranku.

"DEVINA!" panggilan itu membuat lamunanku pecah, Kak Devina yang tertidur pulas juga terperanjat kaget. Aku bangun, berniat membuka pintu. Belum sampai kakiku menyentuh lantai, Kak Devina berdeham sejenak kemudian membalas panggilan Adiknya dengan suara yang sama kerasnya.

"APAAN SIH, MASIH PAGI LO BUTA ATAU GIMANA?"

"AYO LARI PAGI BIAR GAK LEBAR BADAN LO."

"GUE LANGSING. EMANGNYA LO, BUNCIT."

"GUE PUNYA ROTI SOBEK, LO AJA GAK TAU."

"HAH ROTI? PEMBALUT MAKSUD LO?"

"CEPET DEV!"

"OGAH, GUE MAU JALAN SAMA COWOK GUE."

"AH BUCIN."

"BERISIK LO JOMLO!"

Baiklah, aku perlu memastikan tidak ada kerusakan apapun di telingaku setelah ini. Aku membuka kunci pintu, Davino siap memaki namun terhenti karena melihatku berdiri di hadapannya. "Berisik tau! Lagian yang sopan, dong. Ini pintu bukan pajangan, kan bisa diketuk."

"Kasih tau, Nay. Biar pinter dikit."

"Molor mulu lo, gak malu sama Ayam?"

"Berisik!"

"Udah, udah, lo mau lari pagi, kan? Sama gue aja."

"Lebih bagus. Yuk," ajaknya.

"Tunggu di bawah, gue ganti baju dulu. Masa pake piyama gini."

"Oke."

Davino berlari kecil menuruni anak tangga, aku tersenyum kecil melihat tingkahnya. Setelah beberapa menit berlalu, aku pamit pada Kak Devina yang kini sibuk memilih pakaian yang akan ia kenakan untuk bertemu kekasihnya. Ah, cinta lagi. Tetapi tidak apa, bukankah siapapun bebas mengutarakan perasaannya dengan cara yang mereka inginkan. Seperti Kak Devina, dia memilih pakaian dengan sangat selektif karena tidak ingin kekasihnya menatap perempuan lain selain dirinya. Hal itu akan dilakukan meski kekasihnya telah meyakinkan dirinya bahwa ia menerima Kak Devina bersama dengan hal-hal yang biasa dan nyaman ia gunakan.

Aku dan Davino berlari kecil di minggu pagi yang ramai, ketika matahari belum waktunya terbangun. Davino beberapa kali menoleh ke arahku, membuat aku sedikit terganggu. Tiba-tiba tatapan kami beradu, aku tentu saja membuang pandangan. Davino justru tertawa pelan, menyenggol bahuku pelan. "Nggak ada apa-apa, Nay, yaampun muka lo tegang amat"

"Ya terus ngapain liat-liat?"

"Ini," ucap Davino seraya mengibas kuciran rambutku.

"Kenapa?"

"Kan gue pernah bilang, cakep. Serius deh, Nay, lo makin keliatan seger kalau gini. Jangan ditutupi terus pakai rambut, tulang pipi lo bagus."

"Iya."

Aku kembali fokus pada jalanan, meski sebenarnya ada yang tidak beres di dalam sana. Aku berhenti berlari, mulai berjalan santai. Jika terus seperti ini, tidak mungkin bisa aku menuruti apa yang Davino minta malam itu. Tidak mungkin, ini akan sangat sulit terlebih kedekatan aku dan Davino yang semakin hari semakin tak asing.

"Kenapa? Sakit?"

Aku menoleh, Davino yang semula berjarak cukup jauh dariku kini kembali dan berjalan di sampingku.

"Nggak, Dav."

"Capek?"

"Nggak, Dav. Pengen aja berhenti."

"Lomba lari sama gue, yuk."

"Sampai mana?"

"Lapangan basket."

"Siapa takut. Tapi gue yang hitung."

"Oke."

"Satu."

"Dua," ucapku kemudian lari lebih dulu, seraya tertawa.

"WOI TIGANYA BELUM!"

"TIGAAA," ucapku panjang ketika telah berada sepuluh meter darinya.

Tidak bisa dipungkiri, Davino sangat baik dalam hal olahraga. Hampir bersamaan sampai di lapangan basket, aku tertawa melihatnya kesal. Dia menggelitik pinggangku membuatku semakin kencang tertawa tak lupa meminta Davino berhenti menggelitik.

"Curang!"

"Iya, aduh maaf deh. Geli, Dav."

Aku terduduk di tengah lapangan, Davino juga. Tertawa kelelahan, di bawah pagi yang masih sangat suci. Olahraga pagi itu dilanjutkan dengan bermain basket, Davino adalah orang paling keras tertawa ketika aku beberapa kali tak berhasil merebut bola darinya.

"Curang, ah."

Davino tertawa. "Apanya yang curang, Nay? Lo aja yang gak bisa."

Aku masih mencoba merebut bola, kali ini dari arah depan. Ketika bola itu hampir kudapatkan, Davino tak sengaja me nyenggol kakiku membuat langkahku tak sempurna. "Aduh," ringisku ketika merasa pergelangan kakiku terkilir. Sebelum terjatuh, Davino segera meraih pinggangku, menatap khawatir pada kakiku.

"Nay? Kenapa?"

"Terkilir deh kayanya."

"Duduk dulu," ujarnya membantuku duduk.

Davino memeriksa pergelangan kakiku, mengurut beberapa bagian. "Pulang aja, yuk."

"Jalan?"

"Iya. Bisa?"

"Gue nggak yakin."

"Sakit banget?"

"Lemes, Dav."

"Ya udah, sini," ucapnya seraya menepuk punggungnya.

"Gendong?"

"Iya."

"Nggak usah, ah."

"Halah nggak enakan segala lo, badan tipis kaya kertas daur ulang aja sosoan gak enak."

"Heh! Gak usah bilang tipis juga!"

Davino terkekeh. "Iya, deh. Sini tangan lo."

"Beneran nggak apa-apa?"

"Beneran astaga, nanya mulu kaya orang kesasar."

"Maaf ya kalau berat."

"Iya. Sini."

Aku mengulurkan jemariku, kemudian diraihnya. Berhasil. Aku berada dalam gendongannya dengan mudah, bahkan sangat mudah. "Berat, Dav?"

"Mana ada. Lo gak pernah makan, ya?"

"Makan, lah."

Davino terkekeh. Aku melirik wajah lelaki tepat di samping wajahku, sungguh aku tidak berbohong Davino sangat tampan. Tuhan, bagaimana bisa aku akan bertahan untuk tak menyukainya sebatas suka seorang teman. Jika dia akan melakukan hal-hal seistimewa ini hanya karena hal-hal kecil, bagaimana mungkin aku akan menahan senyumku ketika dia dengan baik hati menatapku sambil tersenyum. Tidak, ini gila. Aku tidak boleh melanjutkan semuanya.

Davino membantuku duduk di kursi teras depan rumah, ia menyuruhku membuka sepatu sementara ia akan mengambil kotak obat. Kak Devina berlari kecil dari dalam rumah, memakai piyama yang sama dan alas kaki berbulu persis anak-anak. Dia segera duduk di sampingku, bertanya banyak hal. Aku hanya menjawab, "Nggak kenapa-kenapa, Kak, cuma terkilir."

Davino keluar membawa kotak obat, mengambil balsem lalu mengoleskannya pada kakiku. Sesekali ia mengurut pelan, membuatku meringis.

"Heh, pelan-pelan aja!" ucap Kak Devina marah.

"Ini udah pelan, Devina!"

"Pelan lo kan seukuran lelaki, lebih pelan lagi dong."

"Astaga, udah lo aja deh. Bawel bener, Naya aja diem."

"Kalau gue bisa, gue bantu dari tadi."

"Ya udah jangan berisik!"

Aku tersenyum geli, memang tidak ada habisnya dua saudara ini. Aku juga tidak mengerti dendam apa hingga mereka seperti sekarang. Davino menyelesaikan pijitannya, ia berdiri menyimpan kotak obat di atas meja. "Masuk?"

Aku mengangguk. Davino membimbing lenganku untuk berpegangan pada pundaknya sementara ia menahan tubuhku dengan memegang pinggangku.

"IYA, TERUS DEK, PEPET TERUS DEK. ADEK GUE EMANG PALING PINTER KALO MODUS."

"Berisik lo sendal hotel!"

Aku tertawa, mencubit pelan lengannya. "Kok sendal hotel, sih?"

"Nggak tau, Nay, kepikirannya itu," ucapnya diiringi kekehan.

Kak Devina ikut duduk bersama kami, menonton serial kartun. Dia mengambil duduk disampingku, membuatku menjadi pembatas diantara mereka. "Sepi banget, Om sama Tante kemana?"

"Arisan," jawab mereka kompak.

Aku mengangguk mengerti. Davino beranjak dari duduknya, berjalan ke atas menuju kamarnya. Aku mulai mengerakkan kakiku yang mulai membaik, bersamaan dengan itu Kak Devina meminta bantuanku memilih pakaian yang sudah ia seleksi. Aku tersenyum menuruti keinginannya. Meski masih sedikit sakit, aku sudah bisa berjalan dengan baik.

"Ini gimana Nay?" tanya Devina untuk baju pertamanya. Dres abu-abu.

"Terlalu formal, Kak."

Kak Devina mengangguk paham. Melempar baju tadi ke atas kasur yang hampir penuh oleh baju. Beberapa kali ia berganti, dan beberapa kali juga aku mengeluarkan beragam komentar. Entah itu, terlalu ketat, terlalu polos, terlalu santai, terlalu ramai, terlalu tomboy, dan banyak lagi.

"Nay, kamu ikut Kakak, ya?"

"Ikut gimana maksudnya?"

"Ikut jalan sama Kakak, sekalian kenalan sama pacar baru Kakak."

"Nggak deh, Kak. Ganggu, dong."

"Nggak, Nay. Dia yang mau ketemu. Katanya dia kenal kamu, ada yang mau dia obrolin dan hal itu penting."

"Siapa namanya?"

"Geovan."

Nama yang tak asing ditelingaku, seseorang juga pernah menyebut namanya melalui telepon. Aku mengangguk setuju. Kak Devina menyuruhku memakai kamar mandi lebih dulu, sementara perempuan itu membereskan baju-bajunya yang berantakan. Usai bersiap, Kak Devina masuk kamar mandi. "Nay, kalau mau ajak Davino juga gak apa-apa, sekalian."

"Iya, Kak."

Aku masih memkirkan nama itu, nama yang Kak Devina sebutka beberapa menit yang lalu. Sudah pasti orang itu tahu mengenai aku dari Kak Devina, itu sudah tidak perlu lagi dipertanyakan. Tetapi, hal apa yang baginya penting itu? Apakah dia akan menguras sisa-sisa luka itu?

Aku mengenyahkan pikiranku, berniat mengajak Davino. Pintu kamarnya tertutup, aku mengetuknya sekali. "Dav."

"Masuk," ucapnya dari dalam ruangan.

Aku membuka pintu yang tidak terkunci, Davino sedang sibuk di depan laptopnya sesekali tersenyum. Aku memilih duduk di tempat tidur, menatap Davino yang masih belum sama sekali mengganti pakaian, hanya saja sepatunya telah ia lepas.

"Ngapain, sih, Dav?"

"Balas email."

"Dari siapa?"

"Siapa lagi," ucapnya tersenyum.

Ah, surel itu lagi. Aku kira dia telah melupakan surel itu, tetapi ternyata tidak samasekali. Aku tersenyum kecut.

"Nay, benar ya kata orang."

"Apa?"

"Kalau udah mantan, suka kelihatan lebih cantik."

Aku tak menjawab, menatap foto-foto kecil yang ditempel pada sebuah bingkai tanpa kaca berukuran besar. Ada foto aku di sana, foto di dalam mobil yang diambil tanpa sepengetahuanku. Ada tulisan di bawah foto itu, 'namanya Kanaya hobinya diam' Aku tersenyum kecil, beralih pada foto kami berdua yang diambil beberapa hari lalu. Ada tulisan juga dibawahnya, 'udah jinak' Dasar!

"Kalau gue balikan sama dia gimana ya, Nay?"

Aku menoleh, senyumku memudar. "Nggak tau, terserah."

"Dia katanya lagi mengusahakan supaya diizinin kuliah di Indonesia."

Aku tak menjawab.

"Dia juga katanya—"

"Dav, Kak Devina ngajak kita ikut sama dia. Katanya, lo juga harus ikut supaya sekalian kenalan."

Aku tidak tahu arti tatapan wajah Davino, tapi aku sadar aku baru saja memotong ucapannya atau bisa dibilang aku memotong topiknya.

"Gue gak ikut, ah."

"Ya udah, gue aja. Lagian, cowok itu katanya kenal gue dan ada hal penting yang mau dia obrolin. Kayanya gue tau, dia kenal gue darimana."

Davino menutup laptopnya, dia menatapku penuh. "Darimana?"

"Alvaro."

***keping kenangan***

Halo teman-teman, terima kasih sudah berkenan membaca Keping Kenangan. Mari berteman di instagram : @siska_krml.