Nasi goreng pesananku telah tiba.
"Neng, ini udah jadi. Malah ngelamun nih, mikirin apa sih?"
"Biasa, Mang."
"Dasar anak muda."
Aku terkekeh. Menit demi menit berlalu, makananku tersisa setengah begitupun dengan secangkir teh manisku. Davino datang lagi, mengambil pesananannya lalu membayar. Dia menoleh padaku sejenak, kemudian kembali ke dalam mobilnya.
Pergi tanpa sepatah kata.
Malam itu kulalui sendiri, menapaki jalanan komplek yang sepi. Dibawah temaram lampu kuning, aku seperti kembali mengingat ketika suatu malam Davino mengantarku pulang. Kini, semua itu masuk sebagai bagian dari kenangan. Mungkin, tidak ada lagi Davino yang akan memuji ketika rambutku diikat menjadi satu. Tidak ada Davino yang meminta karet untuk membuatku makan dengan nyaman. Pastilah semuanya sudah kembali pada pemilik pertamanya, Lizy.
Hidup terlalu banyak kepura-puraan dibalik kalimat tidak apa-apa. Datang dan perginya seseorang selalu terlihat wajar, meski ada banyak cara dan alasan untuk tetap tinggal. Aku menunduk, menatap langkah kakiku. Sudah berapa jauh dia berjalan? Sudah berapa lama ia merindu tempat yang lama tak ia kunjungi? Sudah seberapa bosan dia berjalan di tempat yang sama?
Apa kaki ini juga sedang merindu sosok yang sama? Sepasang alas kaki hitam itu? Yang berjalan berisisian di tengah sunyi? Maafkan aku, hei. Aku membuat kita semua rindu. Kalau seandainya aku bisa memutar waktu, aku berjanji tidak akan menyuarakan sedikitpun rasa itu, bahkan dengam cara paling senyap dalam sepotong kertas kecil.
"Kanaya."
Aku mendongak, beradu pandang dengan seseorang yang baru saja singgah di kepalaku. Dia bersandar di samping mobilnya yang ia parkir dekat dengan pagar rumahku. Tatapan itu masih belum banyak berubah, masih bukan Davino yang banyak bicara. Tidak ada senyum sedikitpun, membuatku ragu-ragu mendekat.
"Udah liat isi flashdisknya?"
Pertanyaan yang cukup mengejutkan, itu bukan kalimat pertama yang pantas untuk memulai obrolan lagi setelah satu bulan penuh tidak saling berkomunikasi.
"Nay," panggilnya mengingatkanku untuk menjawab pertanyaannya.
"Udah, Dav."
Aku menunduk, teringat kembali video pendek itu. "Lo tau?" tanyaku.
"Seharusnya nggak pernah lo buka."
Hening diantara kami, aku tetap berdiri di hadapannya. Davino menatap helai daun dari pohon palem diterpa lampu kekuningan. Seolah sedang mencipta komorebi di tengah petang.
"Semua yang gue lakukan bukan sebab gue ngerasain apa yang lo rasain, Nay."
"Gue ngerti, Dav. Gue gak maksa."
"Tapi gue gak suka lo punya perasaan kaya gitu."
"Kenapa?"
"Karena semuanya bakal berubah."
Aku diam. Mungkin Davino benar, aku tidaklah bisa mengatur apapun yang akan terjadi. Aku juga belum tentu mampu menahan semua perasaan ini untuk terus tumbuh. Selamanya mungkin tidak akan pernah mendapatkan Davino, aku juga paham bahwa Davino sedang mengingatkanku perihal itu.
"Biar semua ini jadi urusan gue, Dav. Lo bisa kan, nggak nganggap gue sebagai orang yang suka sama lo?"
Davino menggeleng pelan. "Kita ketemu lagi nanti, kalau lo udah berhenti suka sama gue," ucapnya diiringi langkah memutari mobil lalu hendak masuk mobil. Sebelum itu, aku menahannya.
"Dav, tolong," lirihku pelan.
Dia hanya diam menatapku.
"Tolong jangan jauhin gue, jangan asing dari gue. Gue mohon."
Setidaknya, ada jalan terakhir yang bisa aku lakukan. Mengemis. Meski kemudian Davino tak juga menjawab, justru melepaskan genggamanku dari tangannya. Dia tak lagi peduli air mataku yang jatuh. Davino membuka pintu mobil.
"Gue gak minta sedikitpun, Dav. Sedikitpun perasaan lo, gue gak minta. Lo mau mencintai siapapun sepenuhnya, nggak apa."
Davino masih berdiri di dekat pintu mobilnya, membelakangiku. "Tapi nggak bisakah lo disini, Dav? Sebagai seorang teman, sebagaimana sebelumnya."
Davino masih diam. Aku mengusap air mataku, menatap punggung tegap itu. "Dulu lo pernah bilang, di kelas bimbel. Lo bilang, Karena kita tahu rasanya ditinggalkan, maka kita gak akan saling meninggalkan. Sekarang, lo mau ingkar dari kata-kata lo sendiri?"
Davino menoleh. Tanpa mengucap sepatah kata, dia memelukku bersamaan dengan rintik gerimis yang perlahan turun. Saat ini, dalam hatiku beberapa kali meminta pada Tuhan. Tolong, beri aku waktu. Hujan, jangan dulu turun.
"Jangan hilang dari gue, Dav. Lo tau gue benci kehilangan. Satu bulan yang lalu apa nggak cukup buat lo, Dav?"
Dia diam beberapa menit, hanya saja pelukannya semakin erat. "Kanaya, gue pengen lo ngerti. Tujuan gue datang ke hidup lo, bukan untuk itu. Gue nganggap lo saudara gue sendiri, Nay, bagian dari keluarga gue. Kakak gue, dia sayang banget sama lo. Bunda juga nganggap lo sebagai anak bungsunya. Maka gue ada, gue coba kenal lo dan berteman baik sama lo. Tapi perasaan lo salah, Nay."
Tangisku semakin deras, seharusnya aku bisa menerima dengan lapang. Tetapi rasanya sulit sekali. Mendengar kalimat Davino, aku jadi berharap aku orang lain bagi keluarganya. Agar Davino bisa mencintaiku layaknya cinta seorang lelaki kepada wanitanya, bukan sebagai adiknya.
"Maaf ya, Nay. Gue cuma bisa sayang sebatas itu."
Aku menghapus air mataku, mengangguk. Davino melepaskan pelukan, menghapus jejak air mata di wajahku. "Gerimis. Masuk, gih."
Tidak ada lagi yang perlu di katakan, bukan? Hujan sudah boleh turun, deras tidak apa. Biar dia jadi ramai di ruang kamarku, biar dia menyamarkan suara remuk di dalam tubuhku. Ayo, hujan, turun sekarang.
"Gue masuk dulu," pamitku. Dia mengangguk. Ketika baru saja membuka gerbang, Davino kembali memanggilku, "Nay."
Aku menoleh sebagai jawaban.
"Gue balikan sama Lizy."
Petir menyambar, membawa gemuruh cukup keras dan bagai air yang ditumpahkan dari langit. Hujan deras, buru-buru aku mengunci gerbang namun entah mengapa slot pengunci itu seperti menyempit. Aku tergesa berusaha mengunci pagar dengan benar, besi yang telah timbul karat itu membuat semakin sulit. Hujan sudah mengguyur habis badanku. Davino berlari ka arahku, memegang lenganku.
"Nay, cukup, Nay. Pelan-pelan."
Aku menangis sejadinya, menahan agar tak ada isakan. Di bawah hujan, air mata itu bisa kamuflase. Aku tidak perlu khawatir Davino akan tahu sebanyak apa air mata yang luruh usai mendengar kalimat itu.
"Sedikit lagi bisa, Dav. Lo pulang aja."
"Tapi, Nay—"
"GUE BILANG PULANG AJA, DAVINO!"
Davino tersentak. Ia berhenti menahan pergelangan tanganku, lelaki yang basah oleh air hujan itu menatapku sejenak kemudian mengangguk. Dia berbalik masuk ke mobilnya, kali ini benar. Dia dan mobilnya melaju meninggalkan gerbang rumahku.
Krek.
Akhirnya gerbang itu bisa terkunci, aku lemas seketika. Terduduk di dekat gerbang, dibawah guyuran hujan dan kilatan petir. Kanaya yang malang itu kini memeluk lututnya, meremas kuat pakaiannya.
Seharusnya tidak ada lagi yang masuk ke duniaku yang belum benar-benar pulih, agar tidak perlu ada luka baru yang tercipta. Setiap tarik nafas terasa jejal, gerak kaki seperti menyeret bongkahan baja. Tangisan bagai teman setia, hadirpun tak pernah diminta. Jika ada perasaan yang tercipta sebagai kesalahan, lalu untuk apa Tuhan memberinya? Mengajarkan arti luka?
Ini sepertinya tidak akan sederhana, aku mulai paham mengapa seseorang perlu menghilang. Sebenarnya bukan sebab ia tidak peduli, namun ia sedang menyelamatkan dirinya atau justru orang yang mencintainya. Mungkin, aku akan mencobanya. Menghilang untuk misi penyembuhan. Davino akan mengerti, karena ia pernah melakukannya. Apa lagi yang aku risaukan? Dia akan baik-baik saja, bukan? Dia memiliki kekasih yang Ia damba kembalinya beberapa waktu lalu, dan sekarang sepertinya tidak akan terasa jika aku yang perlahan asing dari hidupnya.
***
Satu bulan berlalu, kali ini aku. Aku yang mengabaikan semua teleponnya, berpura-pura tidur ketika dia mengunjungi rumahku, dan tidak makan di warung nasi goreng. Sudah sejak satu jam yang lalu Kak Devina sampai di rumahku, membawa banyak sekali makanan khas Yogyakarta dan beberapa pernak pernik dari kayu. Sekarang, dia sedang duduk membaca buku sembari menungguku bersiap.
"Kak, jangan ke rumah, deh," ucapku ke sekian kali.
"Nay, kamu udah bilang gitu lima kali. Kenapa, sih memangnya? Marahan ya sama Davino?"
"Nggak."
"Davino lagi tidur, kok. Kita ngobrolnya di kamar Kakak aja."
Aku mengalah. Menuruti inginnya.
"Nay, Alvaro kalo diliat-liat ganteng banget, ya?"
Kak Devina mengambil foto yang berada di sela lembar buku, sengaja aku selipkan disana. Di tempat percakapan yang paling Alvaro suka di dalam novel itu.
"Jangan diliatin terus, Naya udah siap nih. Yuk, berangkat."
Kak Devina menyimpan kembali buku dan foto itu, menatapku kesal. "Dasar cemburuan!" cibirnya seraya berjalan lebih dulu. Aku terkekeh pelan, menyusulnya.
Setelah itu, aku dan Kak Devina mengobrol sepanjang jalan menuju rumahnya di dalam mobil. Di bercerita tentang kuliahnya, hubungan dengan kekasihnya, dan rencana liburan ke Bromo beberapa hari lagi. Aku belum mengatakan bahwa aku batal ikut kesana, rasanya aku tidak akan tega melihatnya kecewa. Mungkin mendadak saja nanti, supaya bisa memiliki alasan yang kuat seperti contohnya mendadak ikut Ayahku ke luar kota atau alasan lainnya.
"Emang bodoh Davino itu," ujar Kak Devina. Kali ini dia sedang membicarakan adiknya yang kembali berpacaran dengan perempuan yang meninggalkan Davino beberapa tahun lalu.
"Mungkin Davino ngerasa ada yang belum selesai, Kak."
"Apa lagi coba, Nay? Jelas-jelas Lizy ninggalin Davino padahal dia punya pilihan buat tetep disini kalau emang niatnya bertahan. Dia kan punya nenek disini."
Aku juga tidak setuju Davino kembali pada perempuan itu. Hampir saja kalimat itu terucap, untungnya masih bisa aku tahan.
"Tapi Lizy baik, kan, Kak?" tanyaku.
"Baik mungkin. Kakak juga nggak terlalu kenal, nggak terlalu suka juga. Dia keliatan banget cari mukanya."
Aku diam. Tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini, karena untuk apa? Agar Kak Devina tahu aku juga tidak menyukainya? Agar dia berbicara kepada Davino agar memutuskan hubungan dengan kekasihnya? Tidak ada gunanya semua itu jika ternyata perasaan Davino bukan untuk aku.
"Sebenarnya kamu ada masalah apa sih sama Davino?"
Sepuluh detik aku terdiam. "Nggak ada."
"Gak mungkin. Davino juga aneh soalnya, dia kalau ditanya tentang kamu, jawabannya nggak tau terus. Bikin pengen jait mulutnya."
Aku terkekeh pelan, diam lagi sepuluh detik untuk mencari jawaban terbaik.
"Mungkin memang benaran nggak tau, Kak."
"Biasanya juga nggak gitu."
Obrolan selesai, mobil sampai di depan rumah. Di belakang mobil ini, ada satu lagi mobil berwarna merah menyala baru saja tiba. Aku dan Kak Devina menoleh ke belakang, berbarengan mengatakan, "Mobilnya Lizy."
Kami saling tatap, kemudian tersenyum. Kak Devina dan aku turun dari mobil, perempuan itu mendekat ke arah kami tepatnya ke arah Kak Devina.
"Hai, Kak. Davinonya ada nggak? Soalnya Lizy udah coba telepon tapi nggak diangkat."
"Nggak tau, gue aja baru datang. Masuk aja dulu."
"Ah iya, Kak."
Kami masuk rumah bersamaan, Kak Devina berhenti di ruang utama membuat aku dan Lizy ikut berhenti. "Silahkan, duduk dulu. Gue aja yang panggilin."
"Iya, Kak."
"Yuk, Nay."
"Eh?"
Aku ditarik masuk, meninggalkan Lizy sendiri di ruang utama. Pengaruh dianggap sebagai bagian dari keluarga, mungkin seperti ini.
"Pada kemana?"
"Biasa, Papa kan orang sok sibuk. Bunda juga bucin banget kemana-mana ikut."
Aku tertawa.
"Aku langsung ke kamar Kak Devina aja, ya?"
"Iya gih. Gue bangunin Davino dulu."
Aku mengangguk, masuk ke pintu terdekat dengan tangga. Kak Devina menuju pintu berikutnya.
"DAV ADA YANG NYARI."
"WOI KETUK DULU KEK! UNTUNG CELANA GUE UDAH SAMPAI ATAS."
"Ups. Maaf. BURUAN TUH DITUNGGUIN!"
"IYA BAWEL LO!"
Masih saja.
Kak Devina kembali ke kamar. Sepanjang obrolan kami hanya diisi tentang rencana liburan, sesekali menjelajah internet mencari penginapan nyaman yang terdekat dengan lokasi itu. Menentukan pesawat mana yang akan kami pilih, dan tempat sewa kendaraan di sana. Kak Devina sudah sepakat dengan kedua orang tuanya untuk menambah tempat yang akan dikunjungi. Ia juga bercerita bahwa Geovan akan ikut, tentu saja orang tuanya tidak sama sekali melarang. Ah, mungkin Davino juga akan mengajak kekasihnya.
Ketukan pintu menghentikan obrolan kami, berbarengan menoleh ke arah pintu yang tanpa persetujuan lagi dibuka oleh seseorang. "Devina, gue pinjem sisir."
Davino berdiri di ambang pintu, kini tatapannya penuh mengarah ke arahku. Kak Devina mendengus, kembali menatap layar laptopnya. "Ambil aja tuh di meja rias."
Davino melangkah masuk, pakaiannya sudah rapih. Aku mengalihkan tatapan, ikut menatap layar laptop. Lima belas detik kemudian, Davino bertanya, "Udah lama, Nay?"
Aku berdeham sejenak. "Belum terlalu."
"Kemana aja?"
"Hah?"
"Nggak deh." Davino menyimpan kembali sisirnya setelah rambutnya selesai disisir. "Dev, jaga rumah. Gue jalan dulu."
"Bodo."
"Serius, Devina!"
"IYA, DAVINO ADIKKU SAYANG YANG PALING GANTENG SEASIA TENGGARA."
"Oke. Nanti gue bawain martabak mini dua biji."
"Sialan. Udah mini, cuma dua pula."
Davino tertawa, menutup kembali pintu kamar. Davino baik-baik saja, dia sangat bahagia sepertinya. Ada dua perasaan lega melihatnya pertama aku tenang dan tidak merasa bersalah, kedua aku sedih karena ternyata hilangnya aku tidak pernah berarti apa-apa.
***Keping Kenangan***