Chereads / Keping Kenangan / Chapter 16 - Enambelas - Catatan Terkutuk

Chapter 16 - Enambelas - Catatan Terkutuk

"Aku Lizy," ucapnya.

Aku masih menatap uluran tangan itu sampai sepuluh detik, kemudian menjabatnya. "Kanaya."

"Duduk, Nay. Tante lagi masak, kamu temani Lizy dulu ya? Lizy, maaf Tante tinggal sebentar."

Aku dan Lizy kompak mengangguk. Setelah ruangan hanya tersisa kami, dengan dua cangkir teh hangat yang diantar asisten rumah tangga.

"Davino kemana?" tanyaku.

"Lagi mandi."

Setiap menatapku, dia tak melepas senyum hangatnya. Mungkin hanya aku saja yang terkesan tidak senang dengan perkenalan ini.

"Davino udah cerita tentang kamu. Aku tahu ini kehilangan yang berbeda, tapi aku paham rasanya."

Apa-apaan. Dia tidak mengenalku sebagai teman, dia hanya mendengar ceritanya. Tetapi lihatlah, dia seolah sangat peduli padahal aku tidak butuh tatapan iba itu. Aku tak menjawab apapun, hingga Davino datang dan tersenyum melihatku. "Tumben lo kesini nggak telepon dulu."

"Iya, lupa."

"Udah kenalan, Nay?"

Aku mengangguk. Sama sekali aku tidak percaya balasan surel itu membuat perempuan ini datang. Entah mengapa rasanya aku tak suka meski sebenarnya dia cukup baik, cukup ramah, dan mau mengenalku. Akhirnya aku urung menceritakan Semuanya, mungkin lusa atau minggu depan setelah Davino tidak lagi sibuk dengan Lizy. Dalam artian, menunggu Lizy kembali ke Praha.

"Nay, lo mau lanjut Malang atau UI, sih?"

"UI aja kayanya."

"Bagus, dong. Biar kita bisa satu kampus, Lizy juga mau kuliah disana."

Tidak. Tidak boleh.

"Katanya kamu mau masuk kedokteran ya? Aku juga mau."

Aku hanya tersenyum samar. "Maaf ya, Li. Dia emang agak pendiem kalau sama orang baru."

Lizy mengangguk tersenyum. "Nggak apa-apa, aku ngerti, Dav."

Aku mengabaikan percakapan itu, terus bergelut dengan pikiranku. Apa setelah pertemuan ini Davino tidak akan menjemputku untuk berangkat les bersama? Atau balapan lari sampai lapangan basket? Memelukku ketika aku teringat Alvaro? Menggenggam lenganku di bawah meja?

"Dav, jadi gimana?" tanya Lizy.

"Apa?"

"Yang tadi aku bilang."

"Oh, ke Cirebon?"

"Iya. Mau kan?"

Davino menatapku, aku mengangkat alis tak mengerti.

"Nggak hari lain aja?" tanya Davino pada Lizy.

"Nggak bisa, Dav. Nenekku cuma sehari di Cirebon. Dia bakal tinggal di Surabaya sama Tanteku."

Aku mulai pahan sekarang. Davino pasti ingat obrolannya denganku malam tadi, terbukti ketika dia menyebutkan soal hari.

"Memang Selasa ini kamu ada acara?"

Benar. Davino kembali menatapku, kemudian diam sejenak. "Nggak ada, kok. Aku nggak ada acara."

Aku yakin aku tidak salah dengar. Lihatlah, bagaimana aku dikesampingkan begitu jauh atau mungkin dipukul menjauh. Tidak adil, setelah satu tahun menghilang tidak sepantasnya gadis itu kembali diberi ruang. Menyakitkan sekali. Tidak ada lagi alasan aku duduk disini, biarlah. Davino berhak memprioritaskan apapun di hidupnya dan bukankah aku hanya bagian kecil di jalan ceritanya? Apa yang berhak aku larang?

Aku keluar dari rumah tanpa berkata apa-apa lagi, Davino menyusulku hingga depan gerbang. Taksi yang kebetulan lewat, aku hentikan saat itu juga. Davino menahan lenganku yang baru saja menyentuh daun pintu.

"Nay, jangan marah, dong. Kita ke Bandungnya kan bisa besok atau Rabu."

"Nggak usah, gue bisa ke sana sendiri."

"Jangan. Rabu aja ya? Gue antar."

"Nggak usah, Davino. Minggir," ucapku menepis tangannya. Dia mengalah, membiarkan aku masuk mobil.

Sebenarnya sungguh, aku bisa saja ke Bandung kapan pun bahkan besok atau Rabu seperti yang Davino bilang. Namun bukan itu permasalahan utamanya, aku hanya tidak suka Davino tidak mengatakan yang sebenarnya. Memang apa salahnya jika Ia katakan sudah ada janji lebih dulu denganku? Bukankah itu sangat mudah? Tetapi lihat tadi, bahkan Ia mengatakan semuanya seolah pembicaraan semalam itu tidak ada.

***

Davino menghancurkan hari itu, aku teramat kesal hingga tak ingin berhubungan dengannya selama beberapa hari setelah hari itu. Hari-hariku hanya diisi membaca buku, pergi les, mengobrol dengan Ibu, dan sesekali meringkuk merindukan Alvaro. Aku akui, setelah beberapa tempat kembali aku datangi, ada banyak yang berubah. Aku menjadi jarang bersedih. Walau begitu, aku masih saja memandang benda kecil bernama Flashdisk itu tanpa berniat melihat apa yang ada di dalamnya.

Sore ini aku duduk di teras belakang, ditemani beberapa buku bacaan dan diary. Salah satu novel terjemahan milik Alvaro yang sengaja ia tinggal untukku, akhirnya mulai membuatku tertarik untuk membacanya. Sebelum sampai pada Prolog cerita, di bagian kosong paling depan ada tulisan yang telah berbayang. Siapa lagi pelakunya jika bukan Alvaro, lelaki itu kalau sudah ingin menulis selalu saja tidak tahu tempat.

Bulanku

Diantara tabur bintang

Bagai sebongkah kristal

Nyala diantara redup

Cahaya yang tidak banyak berjanji

Hadir tanpa diminta

Kau adalah dia

Bulan untuk langit

Cahaya paling terang untuk semesta

Semesta milikku

Alvaro, Malang 2013

Dia selalu paling pandai menunjukan rasa sayangnya, dengan cara paling sederhana. Dengan menambah -ku di akhir katanya. Aku juga suka ketika dia mulai kesal karena aku tidak berhenti memanggil namanya, dia akan menjawab dengan sangat lembut "Iya, apa Nayaku?" lalu aku hanya akan tersenyum, tidak ingin bicara apapun, hanya ingin mendengarnya menambah dua huruf di akhir penggalan namaku.

Prolog

Aku bahkan baru membaca itu, lagi-lagi terhenti karena seseorang tiba-tiba saja duduk di sampingku. "Baca apa, Nay?"

Dia yang sudah hampir empat hari tidak aku izinkan mengetahui kabarku. Mungkin Davino kesal karena pesan dan teleponnya tak juga mendapat jawaban, hingga menuntunnya ke sini. Aku tak menjawab, mulai membaca kalimat pertama di novel itu. Orang bilang, prolog harus punya kesan paling indah untuk mengawali. Layaknya jalan hidup, kita bermulai dari anak kecil yang selalu diperlakukan seperti seorang raja. Terkadang, kita dijanjikan dunia akan lebih indah ketika mengenal sekolah. Lalu semakin dewasa, semakin banyak luka, semakin banyak air mata. Kalau di dalam prosa, namanya konflik. Namun, kau tak akan menemukan klimaks dalam hidupmu sebelum akhirnya kau kehilangan orang paling berharga di semestamu lalu kau berjalan lagi mencoba berdamai. Penyelesaiannya akan selalu ketika kau tak lagi merasakan apapun, bahkan sentuhan. Kau tertidur untuk waktu yang lama tanpa hembus nafas. Itu penyelesaian bijaksana dari kisah yang sebenarnya.

"Nay, masih marah ya?"

Aku menutup buku, mengehentikan sejenak prolog itu. "Nggak."

"Mau ke Bandung kapan?"

"Nanti aja, sekalian ujian masuk perguruan tinggi."

"Maaf ya, Nay?"

"Iya."

"Jalan, yuk. Nonton film."

"Nggak ada acara sama Lizy?"

"Dia lagi istirahat."

Aku bukan prioritas, dan aku hanya pilihan terakhir. Tidak ada yang salah, aku mengerti.

"Nay, jangan diem gitu dong."

"Gue harus lari-lari sambil teriakin nama lo?"

Davino tersenyum. "Ya nggak, lah. Ngomong kek sama gue."

"Daritadi juga ngomong."

"Mau ya? Nonton film sama gue."

"Nggak ah."

Davino mendengus kesal, Ia menggelitik pinggangku membuatku tak kuasa tertawa. Aku berdiri menghindar, namun Davino tak menyerah begitu saja. Dia mengejarku dan sekali lagi mampu menggelitik pinggangku membuatku berontak tapi tidak bisa lepas.

"Sekarang jawab. Mau atau nggak?"

"Aduh iya iya Dav mau. Udahan, ya, geli banget."

Davino tertawa melepaskanku yang kelelahan. Aku melemparinya dengan ranting pohon lapuk dimakan air hujan, dia kembali terkekeh. Tanpa mengucapkan apapun aku masuk ke dalam rumah, berniat mengganti baju. Kekehan Davino masih terdengar membuatku kesal sekali sekaligus senang. Senang Davino disini, bersamaku, tertawa denganku.

Tuhan, boleh Naya minta Davino tidak dengan perempuan itu lagi? Tidak bisa, ya? Karena Davino mencintainya.

Belasan menit berlalu, aku menuruni anak tangga menuju teras belakang. Siap untuk menonton film. Di ambang pintu menuju teras, aku menatap punggung tegap itu. Tersenyum sebentar, betapa ia sangat kukagumi. Aku senang mengenal Davino, biarlah jika harus seribu tahun memendam segala perasaan aneh yang mulai tumbuh. Selagi Davino akan selalu bersamaku, maka selama itu pula aku akan terus berusaha agar semua tertata rapih dalam hatiku.

"Yuk, Dav."

Dia menoleh, tidak tersenyum sedikitpun. Aku tidak paham mengapa ekspresinya berubah, tetapi setelah itu dia berdiri mendekat. Aku menatap tangannya yang menggenggam sebuah buku. Astaga, Ya Tuhan apa itu. Diaryku? Tidak. Davino tidak akan menemukan tentangnya yang kutulis di lembar paling tengah, kan?

"Ini apa?" tanya Davino membuka lembar berengsek itu, lembar yang paling ingin aku sembunyikan di tempat paling aman yang ada di semesta ini. Dimanapun, bahkan jika aku harus pergi ke Saturnus sekarang juga.

"Dav—"

"Lo sama aja, Nay."

"Gue—"

"Lo masih belum paham untuk apa perhatian gue selama ini?"

"Gue cuma gak mampu menghindar, Dav."

"Seharusnya, lo bertindak lebih awal. Ketika semuanya belum sejauh ini."

Aku menunduk, meremas tali slingbag-ku. Tatapan Davino hari ini, adalah tatapan yang demi Tuhan aku tidak ingin lagi ditatap seperti itu. Tatapan kebencian terpancar jelas, menusuk dadaku, menguras habis kekuatanku untuk tidak menangis.

"Maaf, Dav."

"Gue gak punya perasaan yang sama, Nay."

Tidak. Aku tidak memaksa untuk hal itu. Bukankah Tuhan menciptakan rasa, tanpa keharusan untuk satu rasa?

Davino menyerahkan buku diaryku, berkata, "Gak usah temui gue dulu, Nay, sampai lo berhasil buang perasaan lo ke gue."

Davino pergi dari hadapanku, dia berjalan keluar meninggalkanku tanpa menoleh lagi. Aku membiarkannya, membiarkan rasa kecewa menguasai dirinya. Lagipula, apa yang bisa aku lakukan sekarang? Memaksa Davino untuk tetap tinggal? Tidak mungkin. Meski Davinolah yang semestinya mengerti tentang perasaan ini, bukan membalasnya tapi membuatnya terlihat wajar. Seharusnya dia paham tentang apa saja yang perlahan menumbuhkan perasaan ini, dia hadir di waktu yang tepat. Dia mampu mendobrak kekuatan pintu yang selama ini aku kunci rapat-rapat.

Aku menatap halaman yang Davino baca, barisan tinta yang terkutuk itu. Seharusnya aku tidak pernah menulis kalimat ini, tidak pernah membiarkan siapapun tahu mengenai ini. Termasuk, selembar kertas yang ada di hadapanku.

-----

Untuk Davino.

Naya mengerti ini salah, perasaan yang Naya simpan rapat-raat ini seharusnya tidak ada. Seharusnya Naya tidak menyayangi Davino lebih dari perasaan sayang seorang teman, Tuhan, bantu Naya untuk tetap senyap. Tidak apa jika harus mencintai dia dengan cara diam, jika itu akan membuat Davino tetap di sisi Naya. Tidak apa, Tuhan.

Naya sayang Davino, Naya tidak akan memaksa untuk membuat Naya berhenti menyayanginya, Tuhan. Sebab tahu, perasaan itu anugrah. Meski tidak semua rasa harus tersuara.

—Kanaya

***Keping Kenangan****