Setelah hari pembacaan kalimat-kalimat di buku harian itu, Davino menepati janjinya. Ia tak pernah kembali, tak pernah menjawab panggilanku. Hilang, dia hilang begitu saja. Ratusan pesan aku kirim sejak satu bulan terakhir, tidak mendapat jawaban satupun. Malam-malam terasa panjang, helaan nafas terasa amat berat. Apa aku harus kehilangan lagi?
Di hadapanku, layar laptop menampilkan beberapa folder. Aku memutuskan untuk membuka flashdisk itu sekarang, aku tidak ingin benda itu menjadi belenggu berikutnya tentang Alvaro. Mataku beberapa kali membaca nama folder itu, memilih mana yang akan aku buka lebih dulu. Pilihanku, jatuh pada Folder bernama Naskah. Folder pertama itu berisi beberapa karya tulis milik Alvaro yang belum sempat mencapai kata selesai yang seharusnya, selain itu, Folder naskah juga berisi kontrak penerbitan.
Beralih pada folder kedua, tentang keluarganya. Ada satu foto yang menarik perhatianku, dalam foto itu Alvaro mengenakan seragam SMA. Dahulu, Alvaro bilang dia tidak suka foto itu. Dia tidak suka berdiri di tengah kedua Kakak lelakinya yang sudah mengenakan seragam kerja mereka. Kak Ale dengan seragam Polisinya, dan Kak Andri dengan seragam Dokternya.
Alvaro ingin sekali menjadi seorang arsitek, katanya dia ingin foto keluarga diulang ketika Ia telah berhasil suatu hari nanti. Dia ingin memakai kemeja rapih dan membawa gulungan kertas berisi gambar bangunan rancangannya. Alvaro punya harapan besar, tapi cinta Tuhannya lebih besar dari itu.
Folder berikutnya, hanya berisi berkas-berkas keperluan kuliah. Beralih pada folder lainnya dia namakan, semestaku. Aku tertegun melihat banyak sekali fotoku di sana, ada beberapa video yang ia rekam menggunakan ponsel. Bahkan, aku masih begitu ingat tempat-tempat itu. Seperti contohnya, video ini.
Di sebuah warung makan pinggir jalan, letaknya persis di samping kantor polisi. Entah apa sebabnya sekarang warung itu tidak lagi disana, pindah entah kemana. Di video itu, Alvaro mengarahkan kameranya padaku yang sibuk mengaduk teh manis hangat.
"Kanaya, lihat sini."
Aku menatapnya, menatap Alvaro. "Iya, Al?"
"Coba senyum dulu, aku lagi bikin video."
Aku tersenyum pada kamera, kemudian kembali menatap Alvaro. "Udah?"
Dia meraih es teh tawarnya, meneguknya pelan. "Es teh tawarnya jadi manis, Nay."
"Ish Naya kira apaan, dasar lebay!"
Dia tertawa seiring dengan berakhinya video itu. Aku memejamkan mataku sebentar, kembali menatap layar. Aku rasa tidak apa untuk sedikit luka, bukankah semua terlihat wajar?
Video kedua, buatanku. Tentu saja tidak seberuntung buatan Alvaro. Di atas sepeda motor yang ia pinjam dari Kakaknya, aku mengarahkan kamera pada jemarinya, kemudian aku mengulurkan tangan.
"Apa?" tanyanya samar, beradu dengan gemuruh suara angin.
"Dingin."
"Terus pacarmu ini harus apa?"
"Ish! Tau ah."
Dia tertawa. "Nggak boleh nyetir pakai tangan satu, bahaya.Tangannya masuk sini aja," ucapnya seraya memasukan jemariku ke dalam saku jaketnya. Meski begitu, aku tetap senang sekali. Kanaya yang sedang diterbangkan oleh semesta untuk kemudian dijatuhkan ke inti bumi. Jika aku tahu akan jauh sekali dia sekarang, maka malam itu aku tidak akan membiarkan Alvaro mengantarku pulang. Biar saja, biar saja duduk diatas motor hingga pinggangku sakit.
Kanaya, sudahlah!
----
Puisi amatir untuk Nayaku.
Senjaku
Dibatas cakrawala
Mentari tenggelam tanpa suara
Ada wajahmu disana
Kaukah itu Kanaya?
Atau hanya ilusi semata?
Tangan ini rindu, katanya
Ingin menggenggammu selamanya
Alvaro
Malang,Jawa Timur.
-----
Semua foto-fotoku dan beberapa foto Alvaro memenuhi layar, ada satu video lagi yang belum aku lihat. Video berdurasi tidak lebih dari dua menit, membuatku ragu-ragu memutarnya. Bagian awal hanya ada Geovan memegang kamera.
"Sekarang kita udah mau turun, udah deket. Capek banget tapi gak sia-sia karena—"
"Ge, awas akar pohon. Jalan sempit gini sempat-sempatnya bikin vlog, awas kepala lo kesangkut batang pohon."
"Iya iya bentar lagi. Tuh guys ini agak menantang maut ya jalurnya, geser dikit jatuh."
Kamera itu mengarah ke Alvaro yang berada tepat di belakang Geovan. "Al, lo ngapain disitu?"
Alvaro berjongkok menghadap jurang tertutup dedaunan dan pohon-pohon sekitarnya. "Ada kucing nyangkut, Ge. Gue mau tolongin dulu."
"Bercanda lo, Al. Mana ada kucing disini. Udah ayok, lanjut."
"Bentar, Ge. Sedikit lagi."
"Al, bahaya itu."
Geovan akhirnya menghampiri Alvaro, namun belum dua langkah Alvaro sudah tersungkur. Jatuh.
"ALVARO!"
Rusuh, kamera itu tidak lagi menampilkan gambar yang jelas. Gemerusuk dan suara teriakkan mereka memanggil nama Alvaro membuatku meremang.
Aku mencabut cepat flashdisk itu melemparnya menjauhiku. Tidak. Aku benci itu, aku benci melihat apa yang tidak ingin aku lihat. Seluruh tubuhku bergetar, aku seperti kesulitan mengambil napas. Sesak sekali rasanya. Tubuhku terpojok, tidak ada lagi ruang untuk lari dari benda kecil itu. Semakin turun, aku akhirnya terduduk lemas menangis sejadinya.
Bi Iyem masuk kamar, berniat menyuruhku makan. Melihatku terduduk lemas di pojok ruangan, Ia berlari menghampiriku. "Naya, Kenapa?"
"Buang, Bi. Buang benda itu, Naya benci, Bi."
Sejak melihat video itu, sekali dalam hidupku. Mampu membuatku tidak suka pada banyak hal, hutan, gunung, dan semakin tidak suka ketinggian. Rencana liburan ke Bromo bersama Kak Devina bulan depanpun aku akan membatalkan untuk ikut. Ini bukan misi perdamaian, melainkan membuka luka semakin lebar. Luka yang hangat, masih baru sekali. Satu bulan kedepan? Itu waktu yang terlalu singkat untuk berdamai dengan luka ini. Aku membutuhkan satu tahun lebih untuk akhirnya mau kembali mengunjungi sekolah, itu pun masih cukup sakit rasanya.
Yang paling luka dari kepergian adalah melihatnya baik-baik saja sebelumnya. Selama bersamaku, yang hanya diizinkan untuk aku rasakan hanyalah bahagia. Sebelum kemudian dia juga yang membuat luka begitu dalam, untuk sembuh pun entah akan memakan berapa tahun atau berapa dekade kemudian.
***
Pantai yang sepi. Aku mengedarkan pandangan, mencari seseorang. Tidak ada, hanya debur ombak dan angin yang menerbangkan pakaianku. Biru sekali pantai ini, pantai paling indah yang pernah aku kunjungi. Sayangnya, aku juga tidak tahu dimana ini, aku tersesat. Mungkin.
"Kanaya."
Aku menoleh cepat, terdiam sejenak. Lelaki itu, tersenyum. Senyum yang masih sama seperti senyum yang kutemui di bengkel mobil itu Tahun lalu. Aku mendekat, hendak menyentuh tubuhnya, namun langkahku terhenti ketika menabrak benda keras dan bening seperti kaca. Aku menatap Alvaro yang masih tersenyum dibalik benda keras ini.
"Al, Naya gak bisa kesana."
Dia maju dua langkah, kini berada tepat di hadapanku. Tetapi meski begitu, aku masih tidak bisa menyentuhnya. Aku menyerah, membiarkan pembatas menghalangi kami.
"Alvaro baik-baik aja?" tanyaku bersamaan dengan bulir air mata yang luruh, membasahi jemari kaki.
Dia mengangguk. "Jangan nangis," ucapnya pelan, pelan sekali. Aneh, aku bisa mendengarnya dengan jelas. Jika benda keras yang ada dihadapanku ini adalah kaca, maka seharusnya aku tidak bisa mendengar ucapannya.
"Naya kangen. Alvaro baru pulang, ya?"
Dia tersenyum, menggeleng pelan. "Maaf."
"Naya nggak akan maafin Alvaro."
"Maaf karena pergi."
Kubiarkan air mata itu terus mengalir, berharap dia sedikit iba lalu mau menyingkirkan benda keras di hadapanku ini dan menarik tubuhku untuk ia peluk selamanya. Sampai kapanpun aku rela.
"Alvaro pergi kemana selama ini?"
"Ke tempat yang cantik, seperti kamu."
"Jangan pergi lagi."
Dia hanya diam menatapku, entah mengapa diamnya membuatku sangat luka.
"Alvaro."
Dia tersenyum.
"Jawab Naya!"
Dia masih hening dengan bibir yang tak berhenti tersenyum.
"Alvaro udah nggak suka ngobrol sama Naya, ya?"
"Tepati janji kamu, Kanaya. Janji untuk menjaga dirimu sendiri. Aku sayang kamu, tapi aku tidak bisa seperti waktu itu lagi. Maaf atas kepergianku yang tiba-tiba."
Suara itu semakin hilang, benda dihadapanku tidak lagi bening. Putih sekali, putih hingga membuatku menutup mata karena silau. "Al, jangan tinggalin Naya sendirian. Alvaro mau kemana?"
"Al."
"Alvaro."
"Alvaro!"
"Dek, bangun. Ini Ibu."
Aku membuka mata, Ibu mengusap kepalaku pelan. "Mimpi lagi?"
Aku memeluk Ibu, menenangkan degup jantungku yang tiba-tiba terasa sangat cepat. Lama sekali Alvaro tidak pernah datang ke dalam mimpiku, sekarang dia datang lagi setelah semalam aku melihat video itu. "Bu, Flashdisk itu udah dibuang?"
"Sudah, kamu tenang ya?"
Aku juga tidak tahu Ibu sedang berbohong atau tidak, tetapi itu bukan hal penting. Selagi tidak ada di depan mataku, mungkin akan lebih baik. Ibu menyuruhku untuk segera bersiap, hari ini aku ada jadwal les.
***
Malam hari, keadaan rumah sudah sepi. Perutku sudah kosong lagi mengingat terakhir kali aku makan siang tadi di kantin tempat les. Pilihanku masih sama, nasi goreng spesial.
"Mang, kaya biasanya ya. Satu."
"Makan di sini, Neng?"
"Iya."
"Oke."
Hal yang aku sukai di tempat ini adalah suasana akrab. Cukup banyak pedagang kaki lima di sekitar sini, orang-orang terlihat akrab sesekali tertawa . Terkadang obrolan penuh keluhan sebab omset menurun, terkadang sama-sama sibuk melayani pelanggan dan terkadang seperti sekarang. Membicarakan hal sederhana namun mengundang gelak tawa.
Ayah pernah berkata padaku, hidup itu harus dinikmati. Bahagia dan luka seseorang itu ibarat toping di atas es krim. Kadang membuat lebih enak, kadang pula rasanya menjadi aneh. Ya seperti itu juga hidup, oleh sebab itu hidup menawarkan pilihan. Apa yang terpilih adalah apa yang akan diperjuangkan, itu konsekuensi. Jika kamu jatuh, ya bangkit lagi. Gagal, ya coba lagi.
Sederhana, namun sulit dilakukan.
Sebuah mobil yang sangat kukenali berhenti tepat di depan gerobak nasi goreng. Kukira mobilnya hanya mirip, namun ternyata memang dia. Davino. Lelaki yang hampir satu bulan ini menghilang begitu saja.
"Mang, dua ya. Spesial."
"Buat orang spesial juga?"
"Oh, ya pasti."
"Sip lah. Duduk dulu, tuh ada si Neng juga."
Bersamaan dengan kalimat itu, Davino menatapku. Tidak ada sapaan walau hanya penggalan namaku, tidak ada senyum meskipun hanya samar. Tatapan itu hanya datar, seperti tidak pernah mengenal. Aku berniat untuk menghampirinya sekadar menanyakan ada apa pagi tadi dia datang ke rumah. Namun belum sempat berdiri, dia sudah akan pergi.
"Saya lupa, Mang, ada titipan, harus ke mininarket dulu. Ditinggal bentar ya, Mang?"
"Oh iya A, sok atuh."
Sudah kuduga. Sudah kuprediksi sejak jauh jauh hari.
Tak perlu seperti ini Davino, aku paham kamu berhak memilih siapapun di hidupmu. Aku paham bahwa tak selamanya perasaan terbalas dan tak selamanya yang dicintai mampu mencintai. Aku sungguh tidak memaksamu untuk mencintaiku kembali, cukup kamu tetap menjadi temanku. Hanya itu dan sesederhana itu.
Setelah ini, kurasa aku dan Davino akan semakin bejarak. Bukan tentang berapa kilometer ataupun mil, ini lebih serius. Sebab terkadang, jarak ratusan mil lebih baik dibanding berdampingan tetapi terasa asing.
***Keping Kenangan***