Chereads / Keping Kenangan / Chapter 15 - Limabelas - Kembali

Chapter 15 - Limabelas - Kembali

Suasana kedai kopi tidak terlalu ramai, Kak Devina sudah memesan beberapa menu, sembari menunggu kekasihnya.

Setelah sepuluh menit menunggu lelaki itu, akhirnya dia datang dengan membawa tas kertas lalu memberikannya pada Kak Devina seraya mengucapkan, "Selamat ulang tahun."

"Makasih. Eh kenalin ini adik aku, Davino."

"Halo, saya Geovan," ucapnya seraya mengulurkan tangan.

"Davino."

"Dan ini orang yang kamu cari, Kanaya."

Dia menatapku, sungguh aku tak mengenal wajah itu. Hanya saja, aku masih ingat Alvaro pernah menyebut nama itu. Geovan mengulurkan tangan, tersenyum lembut. "Geovan."

"Kanaya."

"Apa kabar, Naya?"

Dengan ragu, aku menjawab, "Baik."

Dia duduk di hadapanku, memesan makanan. Aku masih bingung, mengapa tatapannya seperti ragu untuk mengatakan sesuatu.

"Lo temennya Alvaro?" tanya Davino mewakili pertanyaanku yang tidak terucap.

Geovan tersenyum menjawabnya. "Naya udah tau?" dia balik bertanya padaku.

"Pernah dengar."

Geovan mengangguk sebagai jawaban, kemudian dia menyuruh kami untuk tidak dulu membahas tentang itu. Obrolan didominasi oleh Kak Devina dan kekasihnya, menatap lelaki yang kini menyimak penuh kekasihnya yang sedang bercerita tentang masalah kuliahnya, aku jadi ingat Alvaro. Mungkin, jika dia masih ada, aku juga akan secerewet Kak Devina. Mungkin juga, perawakan tubuh Alvaro tidak jauh beda dari Geovan.

Meja makan senyap setelah makanan datang, meski begitu pikiranku ramai sekali. Kemungkinan-kemungkinan paling tidak mungkin mulai muncul ke permukaan, menerbangkanku sebentar kemudian aku ingat lagi. Alvaro telah tiada, aku juga melihat tubuh kakunya bahkan melihat ketika tubuh itu berlumur darah.

"Kanaya," panggil Geovan memecah lamunanku.

"Iya?"

"Kuliah belum?"

"Gap year."

"Masih berlarut?"

Aku diam lima detik, kemudian mengangguk.

"Nggak apa-apa. Wajar."

Dua menit diam, Kak Devina juga tidak mengganggu. Sepertinya dia sudah tahu apa yang akan terjadi.

"Kenapa pergi?" tanya Geovan lagi.

Aku diam. Mungkin, Kak Devina atau Davino tidak mengerti maksud pertanyaan Geovan. Tetapi bagiku, itu pengawal obrolan yang terlalu cepat. Dalam satu pertanyaan itu sudah mampu menusuk dadaku.

"Naya cuma mau lupain kejadian itu."

"Apa yang Davino lakukan itu benar. Nggak perlu dilupakan, Nay. Cukup berdamai, terima, ikhlas."

Kerongkonganku mulai sesak, membuatku menghela napas pelan.

"Setelah pemakaman itu, Saya, Revan, Kayla, dan pendaki lainnya ngobrol sama Umi. Dia memberi semua alat elektronik yang Alvaro punya, barangkali ada hal penting di sana. Beliau menyuruh kami untuk mengambil hal-hal penting itu dan memberikannya ke kamu."

Sesak. Benda kecil dibungkus plastik transparan itu sampai di hadapanku, aku tak langsung menerimanya.

"Umi pengen semua ini sampai pada tangan yang benar. Ada kontrak penerbitan, naskah cerita, dan beberapa file tentang Alvaro. Termasuk, video ketika kami di Mahameru. Umi hanya mempercayakan semua ini kepada kamu, dan Umi juga sangat mengerti jika ini sangat penting untuk kamu."

"Apa Umi kecewa aku pergi?"

Dia menggeleng. "Umi justru mensyukuri hal itu, karena kalau kamu ada di sana, cuma akan membuat kamu merasa lebih sulit."

Aku mengambil benda kecil itu. Flashdisk. Air mataku jatuh, buru-buru aku menghapusnya. Ayolah, Naya, ini hanya benda kecil yang bahkan isinya saja tidak terlihat sama sekali.

"Nay, kita semua kehilangan dia."

Kalimat itu lagi.

"Mungkin memang benar, kamu salah satu yang paling kehilangan."

Davino mengelus pelan pundakku.

"Dia nggak pernah pergi, Nay. Akan selalu ada ruang di hati kamu untuk dia, sebab itu kamu nggak perlu melupakan. Berdamai perlahan, Nay."

"Siapa yang bawa dia ke Semeru?"

"Bukan lagi waktunya untuk bahas itu, Nay."

"Lo?"

"Nggak ada yang ngajak dia."

"Nggak mungkin. Semua orang yang ikut pendakian itu adalah orang-orang berengsek yang biarin Alvaro pergi."

"Nay," panggil Davino mencoba menenangkanku.

Jemariku mengepal kuat, menahan segala amarah yang ada. Memaki semua orang menyalahkan semua orang atas kepergian Alvaro. Hal yang sebenarnya tak bisa mengubah takdir sedikitpun, justru akan semakin memperkeruh suasana. Davino menarik tubuhku, memeluk berusaha meredam semuanya. Dia mengerti. Aku runtuh saat itu juga, menangis di pelukan Davino.

"Pulang?" tanya Davino lirih sekali.

Aku mengangguk sebagai jawaban. Dia melepas pelukannya, meminta kunci mobil pada Devina. Aku menatap Geovan, meminta maaf atas ucapanku.

"Nggak apa-apa. Saya tau sulitnya kamu menerima, melewati bergantinya hari dengan gerak tubuh resah. Sulit tidur, sering menangis. Saya paham sepenting apa Alvaro untuk kamu."

Aku menunduk, menyentuh dadaku yang terasa sakit.

"Tapi, Nay. Alvaro selalu menepati janjinya, untuk selalu sayang sama kamu bahkan dia membawanya sampai akhir hidupnya. Dia menepati janjinya untuk menghubungimu ketika sudah turun dari pendakian, tetapi melalui telepon orang lain juga melewati kabar yang tidak menyenangkan. Dia masih bernafas ketika kamu melihatnya penuh dengan darah, bertahan sampai digenggam oleh kamu itu adalah bentuk kebesaran perasaannya. Meski setelah itu, dia pergi tanpa ada kata lagi. Dia tenang kamu telah sampai lagi dipeluknya. Dia pergi, tanpa kesempatan atau kemungkinan akan kembali. Tugasnya mengajarkan kamu melewati peliknya hidup sudah selesai."

"Dia sayang kamu, dia nggak pernah sedikitpun berniat menggantikan kamu dengan orang lain meski banyak orang yang mengharapkan dia. Saya saksinya. Saya saksi dimana Alvaro hanya mengucap maaf ketika seorang perempuan dengan terbata menyatakan perasaannya."

"Naya mau ketemu Alvaro."

Geovan menepuk pundakku pelan. "Umi juga pasti sangat merindukan anak perempuannya. Kembali ke Bandung lagi, Nay, Alvaro juga pasti ingin dengar alunan doa kamu di samping peristirahatan terakhinya."

***

Aku masih belum ingin membuka benda kecil yang diberikan Geovan seminggu lalu. Entah kapan akan siap, mungkin ketika aku sudah mampu berdamai sepenuhnya sehingga ketika melihatnya, yang tersisa hanya perasaan rindu. Bukan lagi luka.

Pagi ini rumah sangat sepi, hanya ada Ibu sedang menonton televisi. Meski banyak sekali ragu, akhirnya aku melangkah mendekat lalu duduk di sampingnya. Satu menit tidak ada yang membuka suara diantara kami, aku telah berjanji untuk menyelesaikan masalah ini secepatnya. Mungkin sekarang waktu yang tepat.

"Bu," panggilku pelan.

"Hm?"

"Naya minta maaf ya, Bu."

Ibu menoleh, tatapannya yang semula dingin kini melembut.

"Naya nggak bermaksud bikin Ibu ingat masa-masa sulit itu."

"Sudahlah," ucap Ibu.

"Naya kangen Ibu, Naya kangen tidur dipeluk Ibu, apa karena Naya udah dewasa, Bu? Naya nggak boleh lagi ngerasain itu?"

Ibu diam, tatapannya lurus menatap televisi.

"Naya suka sekali dengar cerita Bi Iyem. Katanya Ibu senang melihat Naya pertama kali di panti asuhan, Ibu juga senang melihat Naya tumbuh semakin besar."

Runtuh sudah pertahanan Ibu, dia menangis.

"Naya memang bukan anak kandung Ibu, tapi Naya janji, Bu. Naya janji jadi anak yang baik, jadi anak yang nurut sama Ibu dan Ayah. Naya janji nggak akan nangis lagi di depan ibu, Naya akan berusaha jadi anak yang lebih kuat. Maafin Naya, Bu."

"Nggak ada yang perlu dimaafkan."

"Naya takut, Bu. Naya takut Ibu semakin muak sama Naya, Naya nggak mau kehilangan Ibu. Ayah, Ibu, Abang, kalian orang-orang baik yang mau menampung Naya disini. Naya sebenarnya nggak mau menyusahkan kalian, Naya selalu berusaha lewatin semua masalah Naya sendirian. Naya nggak mau Ayah sama Ibu repot. Tapi untuk sekarang, Naya kesulitan, Bu, Naya tidak bisa mengembalikan Ibu seperti semula lagi. Naya merasa asing disini, Bu."

Ibu sepenuhnya menoleh padaku, dia mengusap pelan pundakku."Nggak akan ada lagi yang akan pergi dari kamu. Kamu selalu jadi anak baik, kamu juga selalu mandiri. Ibu yang gagal, Nak. Ibu nggak bisa setegar kamu. Alvaro pernah cerita sama Ibu, kamu ada masalah di sekolah dengan teman-teman kamu. Amel juga pernah cerita. Tapi Ibu kesulitan memulai obrolan itu, Ibu selalu ingin menangis di depan kamu. Rasa bersalah Ibu sama kamu sangat dalam. Kamu yang selalu baik sama Ibu justru semakin buat Ibu tersiksa. Setiap kali ingat kematian bayi itu, saat itu juga Ibu ingat kalau kamu tidak lahir dari rahim Ibu. Maafkan Ibu, Naya. Maaf."

Aku memeluk Ibu, mendengar kalimat itu langsung dari ucapan Ibu, rasanya dua kali lebih sakit. Tapi ini lebih baik dibanding saling diam dalam rumah, sungguh.

"Ibu sayang sekali sama kamu. Ibu janji akan lebih keras lagi berusaha menghilangkan kebiasaan buruk itu, Ibu juga janji bersedia menemani Naya tidur kapanpun Naya mau."

***

Rasanya lega sekali, seperti ada beban besar yang hilang. Langkah terasa ringan, sepanjang perjalanan menuju rumah Davino juga aku tidak berhenti tersenyum. Davino harus tahu kabar ini, tentang obrolan aku dan Ibu. Semalam aku mengobrol banyak dengan lelaki itu, membicarakan untuk mengunjungi pemakaman Alvaro di Bandung. Dia setuju selasa minggu ini untuk ke Bandung. Selama dengan Davino, aku yakin semua akan berjalan tidak terlalu menyakitkan. Oh Tuhan, begitu baik pada Naya.

Taksi berhenti di depan gerbang, aku membayarnya kemudian turun dengan semangat. Pintu rumah itu, ada pemandangan yang tidak biasa di pekarangan rumah. Sebuah mobil merah terparkir di belakang mobil Davino, setauku tidak ada keluarga mereka yang memiliki mobil merah. Barulah semua terjawab ketika aku sampai di ambang pintu masuk.

"Kanaya, masuk, Nak."

"Pagi, Tante."

"Pagi. Tante senang sekali kamu kesini, semakin ramai. Ah iya, ini ada tamu. Naya pasti belum kenal, kan? Namanya Lizy, dia baru aja pulang dari Praha."

Aku tidak langsung bisa mencerna, masih diam menatap perempuan cantik yang duduk di hadapanku. Wajahnya lokal, hanya saja warna kulitnya yang membedakan dari orang Indonesia lainnya. Cantik sekali, membuatku membatin. Jadi, seperti ini yang Davino suka? Pantas saja dia tidak juga memiliki perempuan setelah melepas gadis ini. Dia berdiri, tersenyum hangat padaku lalu mengulurkan tangan. "Aku Lizy," ucapnya.

***Keping Kenangan***