Chereads / Keping Kenangan / Chapter 12 - Duabelas - Lembar Baru dan Orang di Masalalu.

Chapter 12 - Duabelas - Lembar Baru dan Orang di Masalalu.

Aku menutup laptopku, usai sudah nenulis ulang tentangnya untuk melengkapi tulisan Alvaro yang tidak pernah selesai dan hanya berhenti di flashdisk milikku, kini rampung dengan akhir yang jelas.

Seminggu setelah Davino mengantarku mengunjungi sekolah dan panti, kami tidak bertemu karena kesibukan. Jadwal bimbingan belajar kini dirubah sesuai daerah universitas yang kami inginkan, sedangkan aku dan Davino memilih universitas yang berbeda.

Semilir angin malam membuatku merapatkan jaket, malam ini jalanan komplek sudah sepi, hanya beberapa mobil saja yang melintas. Aku menatap langit, tersenyum pada bintang-bintang di atas sana.

"Mau kemana, Neng?"

Aku kembali menatap ke depan, satpam komplek tersenyum padaku.

"Biasa, Pak. Nyari makanan yang anget-anget."

"Oh, iya silahkan."

Di seberang jalan, pedagang kaki lima berjajar. Aku memilih nasi goreng sebagai makanan malam ini. Sebenarnya bisa saja aku memasak dirumah, namun karena rasanya akan sangat kurang puas jika dimakan di dalam rumah.

"Mang, biasa ya?"

"Spesial telur mata sapi. Betul?"

"Inget aja deh."

"Justru itu istimewanya pedagang. Sok atuh, duduk dulu."

"Satu lagi Mang, samain sama yang tadi," sambar seseorang di belakangku. Aku menoleh, mendapati Davino tersenyum kecil.

"Minumnya teh manis anget, A?"

"Iya, dua juga ya, Mang."

"Siap. Duduk, A."

Davino mengangguk kemudian duduk tepat di hadapanku.

"Dasar cabe, malem-malem keluyuran."

Aku hanya menatap kesal padanya.

Lelaki itu terkekeh. "Lagian, laper bukannya masak malah bela-belain keluar."

"Gak ada suasana kaya gini di dalem rumah."

"Makannya genteng lo kalo malem turunin."

"Gak lucu."

Davino tertawa, tanpa aku tahu dimana letak lucunya. Dua piring nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya, tak lama setelah itu dua cangkir teh manis dengan asap mengepul kembali mendarat di hadapan aku dan Davino.

"Sok mangga," ucap penjual nasi goreng itu, mempersilahkan.

"Makasih, Mang," jawabku. Lelaki cukup berumur itu meninggalkan meja kami, melayani pembeli lainnya. Davino mencolek lenganku, membuatku menatapnya.

"Nay, udah berapa lama di sini?"

"Di warung ini?"

"Bukan, di Majalengka."

"Oh, kurang lebih empat tahun. Kenapa?"

Davino mengangguk. "Gue mau cerita. Beberapa bulan lalu, pas gue baru datang ke sini. Gue beli bakso kan, gue bilang ke si Bapaknya. 'Pak, bakso satu.' si Bapaknya jawab 'Oh, mangga, A.' gue pikir ini si Bapaknya budek atau gimana. Gue bilang lagi, 'Bakso, Pak, bukan Mangga.' habis gitu si Bapaknya ketawa, Mas-Mas sama Mbak-Mbak yang lagi makan juga ketawa. Gue cengo sendiri, nggak ngerti letak lucunya."

Aku tertawa cukup keras, Davino juga ikut tertawa atas kelakuannya itu. "Terus gimana, Dav?"

"Terus si Bapaknya malah nanya gue asli mana, akhirnya terjadilah sebuah PDKT antara gue sama Bapak penjual bakso dan terjadi sebuah kegiatan belajar mengajar bahasa sunda. Dari situ dikit-dikit gue mulai ngerti kalau maksud 'mangga' itu bukan buah, tapi sebuah kalimat sopan mempersilahkan atau membolehkan atau banyak juga lah maknanya tergantung konteks kalimatnya."

Aku masih senyum-senyum membayangkan betapa malunya Davino ketika itu. "Omong-omong emang selama ini lo gak pernah ke sini?"

"Ya sering, lah, Nay. Tapi nggak pernah lama."

"Kak Devina pernah, sih, ceritain tentang lo. Tapi nggak banyak."

"Gue heran, kok ya ada gitu orang yang temenan sama dia. Ngeselin banget padahal."

Aku tertawa. Kak Devina juga pernah mengatakan hal yang sama tentang Davino. Ibu mereka pernah bercerita, Davino dan Kakaknya ini jarang sekali tidak rebutan. Padahal, mereka berbeda jenis dan seharusnya juga mainan mereka berbeda. Anehnya, Davino terkadang penasaran dengan mainan Kak Devina. Begitupun sebaliknya, maka tak jarang mereka berebut lalu bertengkar. Sebab itu pula, Davino bersama Nenek dan Kakeknya di Jogja sedangkan Devina ikut orang tuanya pindah ke Majalengka.

"Gue nggak ngerti, kenapa sih nggak akurnya sampai gede."

"Ya dia juga, ngeselinnya sampe gede. Udah ah, makan dulu. Darah gue naik kalo ngomongin dia."

Aku mengangguk setuju, dari pada nanti terjadi pelemparan piring seperti sedang kompetisi memasak lalu keasinan. Sebelum memotong telur mata sapinya, ia menatapku. "Apa?"

"Ini. Kok bisa-bisanya dikasih nama telur mata sapi, memang sapi jenis apa yang matanya model begini?"

Aku tertawa. Sempat-sempatnya lelaki itu memikirkan hal tidak penting. "Perlu banget dibahas?"

"Lo yang manggil makanan ini telur mata sapi, padahal kan telur ceplok."

"Iya udah, gue gak akan manggil telur mata sapi lagi."

"Oke selesai. Mari makan."

Aku geleng-geleng tak paham. Menit-menit berlalu hanya suara denting sendok diantara kami. Aku beberapa kali menyelipkan rambut yang terjuntai hampir menyentuh piring, Davino berdiri menghampiri penjual nasi goreng entah meminta apa, aku melanjutkan makan. Seseorang menyentuh rambutku membuatku menoleh.

"Ini gue, diem bentar. Ribet amat jadi cewek, makan aja ribet sama rambut."

Davino mengikat rambutku, menggunakan karet yang aku yakin ia minta dari penjual nasi goreng tadi. Beberapa pasang mata pembeli lainnya menatap Davino, kebanyakan dari mereka perempuan.

"Udah belum, Dav? Sini gue aja."

"Bentar, dikit lagi. Kenapa, sih emang? Ketarik, ya?"

"Bukan, malu diliatin orang-orang."

"Lo nggak paham aja kalo kaya gitu dimata orang itu romantis," ucap Davino seraya kembali duduk di tempatnya.

"Gitu doang romantis?"

"Semenjak ada kata 'lebay', hal-hal sederhana justru dibilang istimewa."

Aku mengangguk setuju, kembali melanjutkan makan. Beberapa menit kemudian, Davino menghabiskan nasi gorengnya. Ia beralih menyeruput teh manis hingga tersisa setengah. Matanya menatap sekeliling, kemudian mentapku. Tatapan kami beradu, tetapi tak ada yang membuka suara. Aku kembali menyuap suapan terakhir lalu menggeser piring menggantinya dengan gelas berisi teh manis hangat.

"Lo nggak ada niat mau pacaran lagi gitu, Nay?"

"Harus banget gue jawab?"

"Nggak juga gak apa-apa, sih."

"Ya udah."

"Nggak mau jawab?"

"Nggak."

Davino mendengus. "Ngeselin lo. Dah, ah, gue mau balik."

Dia berdiri, membayar makanan kemudian berjalan keluar. Aku terkekeh pelan, ikut membayar.

"Udah, Neng sama si Aa tadi."

"Oh, ya udah, makasih, Pak."

"Iya, Neng."

Aku keluar dari warung itu, Davino masih duduk di sepedanya.

"Dav, makasih ya udah dibayarin."

"Gitu doang. Lo balik naik apa?"

"Jalan, lah, deket ini."

"Deket apaan segitu. Udah, bareng gue aja."

"Naik sepeda?"

"Ya iya gue kan bawanya sepeda."

"Gue duduk dimana?"

"Di ban! Ya di depan gue, lah, nyamping."

"Nggak ah," ucapku ngeri.

"Yaelah, Nay, gak akan jatuh, kok."

Aku tetap menolak dengan berjalan mendahuluinya, lagipula jarak dari warung itu tidak jauh dari rumahku. Tak berhenti di situ, Davino justru mengejarku hingga akhirnya kami berjalan bersisian.

"Daripada sepedanya dituntun gitu, mending dinaikin."

"Ya makannya lo ikut naik."

Aku menolak lagi. Davino menatap sekeliling, sesekali jemarinya iseng membunyikan lonceng sepeda membunuh kesunyian. "Perumahan di sini sepi banget ya, Nay, kalau udah malam?"

"Iya, kebanyakan di sini pekerja kantoran. Kapan lagi buat mereka bisa istirahat selain malem."

"Padahal baru jam delapan lebih."

"Ini cuma hari-hari biasa, kok. Kalau weekend atau ada acara juga ramai."

"Oh. Eh tapi omong-omong soal acara, lusa nanti orang tua gue mau bikin acara makan malam buat rayakan ulang tahun Devina. Gue udah jelas males banget, bisa-bisa besar kepala itu orang kalau gue doang yang ramein. Tahun kemarin, sih, ada pacar. Sekarang kan, nggak. Jadi, gue ajak lo aja.

"Kak Devina pulang memang?"

"Iyalah, dia mana mau lewatin ulang tahun tanpa keluarga, dia kan manja."

"Kapan pulangnya?"

"Besok."

"Boleh, deh, nanti gue ningep di sana."

"Oke, bagus."

Suasana kembali hening, hingga langkah berhenti di depan pagar rumah. Davino memutar sepedanya dan duduk di atas sepeda itu. "Gue langsung balik, ya? Salam aja buat Tante sama Om."

"Iya. Makasih, ya, udah nganter."

"Iya."

Ketika baru membuka pagar, Davino kembali memanggil membuatku menoleh. "Iya, Dav?"

"Sering-sering di kucir gitu."

"Kenapa?"

"Cakep."

Setelah mengucapkan itu, Davino pamit lagi kemudian melaju dengan sepedanya. Aku masih beberapa detik tersenyum di depan pagar rumah, menatap Davino hingga lelaki itu hilang dimakan jarak. Malam itu, sedikit banyak aku menemukan kembali senyum dan tawaku. Keputusanku membiarkan Davino masuk ke duniaku, mungkin bukanlah kesalahan. Pada beberapa hal, dia cukup berperan besar.

***

Di sebuah pagi menjelang siang, di tengah terik matahari, Davino memasangkan helm untukku. Beberapa kali aku bertanya akan kemana lagi, Davino hanya tersenyum lalu menyuruhku untuk tak banyak bertanya. Beberapa menit lalu, Davino datang dengan sebuah motor. Setelah mengobrol dengan Ayah, dia izin mengajakku pergi. Dia sudah menjelaskan untuk memakai pakaian santai saja, aku menurut meski sedikit bingung akan kemana Ia membawaku.

"Siap?"

"Kemana, sih?"

"Nanya lagi. Yuk, naik."

"Lo beneran bisa naik motor, kan?"

"Ya bisa, lah. Di Jogja mainan gue motor."

Aku mengangguk percaya saja. Motor mulai melaju dengan kecepatan rendah, melewati jalanan padat kendaraan. Setelah beberapa kilo, berbelok memasuki perkampungan. Sawah membentang di kanan dan kiri jalan, masuk kembali pada pekampungan. Pohon rambutan tumbuh di halaman depan rumah-rumah warga, aku membayangkan bagaimana jika aku memiliki buah itu di depan rumah, pastilah menyenangkan.

Perjalanan memakan waktu dalam hitungan jam, aku juga merasa panas matahari mulai tak menyengat. Ketika membuka ponsel, aku melihat suhu yang ternyata turun. Biasanya, di sekita rumahku, akan sampai hingga tiga puluh derajat, namun disini hanya sekitar dua puluh derajat lebih.

"Dingin nggak?"

"Nggak. Enak, kok, udaranya."

Ketika motor mulai melalui beberapa belokan yang sepertinya sudah pernah aku lalui, membuatku tersadar kemana Davino membawaku. Air terjun. Dimana semua awal keping kenangan itu dirangkai, dimana semua terasa baik-baik saja, dan dimana ketika aku sangat menyukai tempat itu. Meski sekarang semua berubah, semua hilang tanpa kusadari sudah lebih dari sepuluh bulan dia meninggalkanku.

Dugaanku benar, Davino membawaku ke sebuah wisata alam yang menyajikan pemandangan air terjun. Majalengka selain memiliki jalanan padat di perkotaan, juga memiliki keindahan terpencil.

"Ayo."

Aku masih diam di atas motor ketika motor itu telah berhenti beberapa menit lalu. Suara air itu sudah mampu kudengar, sudah tak lagi asing bagai alunan lagu menyeramkan untukku.

"Nggak, Dav. Gue gak suka tempat itu."

"Lo itu gak suka sebab pikiran lo jatuh pada kenangannya, bukan pada tempatnya."

"Gue gak mau nangis di depan banyak orang."

"Mana mungkin gue membiarkan? Udah, yuk," ajak Davino seraya menarikku turun.

"Dav--"

"Lo perlu berdamai sedikit demi sedikit, Nay."

Ketika aku tak menjawab, Davino segera menarik lenganku membuatku terpaksa harus turun dan mengikutinya. Lelaki itu membayar tiket masuk lalu mulai menuruni anak tangga yang terbuat dari susunan batu. Suara gemerusuk air terdengar memekakkan telinga, aroma segar mulai menghipnotis rasa dan perlahan aku bisa melihat lagi tebing tinggi itu. Tepat di hadapan tebing dengan air yang tak pernah habis mengalir jatuh begitu saja, aku berdiri diam. Dadaku berdesir kala ingatanku seolah terlempar masuk ke lorong waktu, membawaku pada saat dimana Alvaro menyatakan perasaannya.

"Lepas, Nay, sepatunya."

Aku mengangguk, melepasnya lalu menyimpan di tempat jasa penitipan barang. Davino jalan lebih dulu, sedangkan aku masih terdiam bergelut dengan ingatan-ingatan tentangnya.

"Nay!"

"Nggak, bisa, Dav."

Davino berdecak kesal, Ia menarik lenganku untuk ikut menikmati air terjun dari dekat. Davino membiarkanku mengeja setiap jengkal tempat ini, kemudian aku mendekati tempat dimana ketika itu ada aku dan Alvaro di sana. Di tempat yang sama, mataku terpejam membiarkan ingatan-ingatan itu mulai melukai.

Alvaro. Lelaki yang mengenalkanku pada Baby's breath, dia yang di tempat ini meminta lenganku katanya untuk ia ramal. Dia juga yang kesal karena aku tak kunjung memejamkan mata, lalu dia memutuskan untuk menggunakan matanya sendiri untuk ia ramal. Meski setelah itu, ia mengatakan sulit untuk meramal hingga dia memberi tahuku tentang sebuah rahasia.

Katanya, "Aku sayang kamu, Kanaya. Sangat."

Aku membuka mata, ada Davino di sampingku. Dia menoleh, mengulurkan jemarinya menghapus air mataku. Di tengah keramaian, dia memelukku. Aku bersyukur ada Davino, karena setidaknya kalaupun aku harus rapuh ada seseorang yang mau menerima kerapuhanku.

"Gue mau pulang, Dav."

Davino melepaskan pelukannya, menatapku penuh.

"Nay, lo terlalu muda untuk terkurung dalam kenangan. Semua itu sia-sia aja, dia gak akan kembali sama lo meski lo nangis darah sekalipun. Cukup, Nay, dia udah bahagia. Lo juga mesti bahagia."

Aku menghela napas lelah, memejamkan mata sejenak lalu kembali menatap tempat ini dari sudut pandang yang berbeda. Dari sudut yang tak mengenal luka, dari sudut yang tak menyimpan duka. Tawa orang-orang dan indahnya alam. Itu sudut terbaik menatap air terjun dan tebing curam yang terlalu banyak mengundang air mata.

Perlahan, senyum terukir. Menatap lurus pada mata seseorang yang sepertinya berhasil membuatku sedikit membaik. Davino, lelaki itu ikut tersenyum melihatku.

Beberapa menit berlalu, aku menyandarkan kepalaku di pundak Davino. hening diantara kami. Gemuruh air dan suara tawa orang-orang yang meramaikan ruang telingaku, senyap dalam berisik. Aku yakin beberapa diantara mereka, akan sangat senang menceritakan tempat ini pada orang-orang di rumahnya. Mungkin juga diantara mereka ada yang telah merencakan akan kembali ke sini membawa seseorang yang paling istimewa, menunjukkan bahwa semesta punya keindahan yang bagus untuk dijadikan latar dalam perjalanan yang kemudian menjadi kenangan.

Suatu hari di masa yang akan datang aku juga akan kembali, bukan untuk menangis namun untuk tertawa. Membiarkan segala luka hanyut terbawa air yang jatuh, menyisakan benih-benih bahagia yang telah lama terkurung. Bersama orang-orang di masa depan yang akan aku cintai sepenuh hati.

***Keping Kenangan***