Mobil terus melaju, Kayla mengusap pundakku pelan. Tak henti untaian doa mengiringi dalam perjalanan. Aku memejamkan mata, mengucap pada Tuhan dengan amat pelan. Tuhan, jangan ambil Alvaro. Tuhan, Naya sayang dia.
Mobil berhenti tepat di depan rumah sakit, bersamaan dengan mobil ambulance. Para perawat berlarian membantu seorang lelaki berseragam polisi menurunkan emergency bed dari dalam ambulance. Kak Ale.
"Alvaro," ucapku kemudian turun dengan buru-buru. Revan menahanku mendekat, ia tahu aku tidak akan bisa melihat Alvaro dalam keadaan seperti itu. Meski percuma, aku berontak mengejar tubuh Alvaro
.
"Nay!"
Aku tak mendengar, ikut mendorong kasur darurat itu di samping tubuh Alvaro yang terbaring tanpa daya. Ia dipasangi beberapa alat darurat salah satunya untuk membantu ia bernafas. Kak Ale beberapa kali mengusap air matanya.
Lelaki itu tak lagi tertarik menatapku, wajahnya penuh darah dan luka sobek. Al, beginikah rasanya ada di hadapanmu tetapi tidak penah sedikitpun ditatap olehmu? Menyakitkan, Alvaro. Suara roda kasur darurat dan langkah kaki kini menjadi satu-satunya suara yang bisa kudengar. Aku menggenggam jemarinya yang mulai dingin, semakin pedih rasanya ketika jemari itu tak lagi kembali menggenggamku. Dimana kekasihku yang selalu membuatku meras sangat istimewa?
Di ujung jalan, beberapa suster melarang kami ikut masuk ke dalam ruangan. Aku hanya bisa menatapnya dibalik kaca transparan yang kemudian kaca itu ditutup kain putih. Aku menatap jemariku, penuh dengan darahnya. Aku terduduk lemas, Kak Ale menahan pundakku. Suara tangisku menggema di koridor ruangan gawat darurat. Kak Ale meraih tubuhku, memeluk erat. "Tenang, Nay. Dia pasti bukan orang lemah."
"Dia janji sama Naya bakal pulang, Kak. Dia janji mau telepon Naya."
"Iya, Nay, Kak Ale paham."
Dia membawaku duduk di ruang tunggu, Kayla dan Revan datang ikut duduk. Kayla membawa kepalaku di pundaknya, ia mencoba menenangkan tangisku yang tak juga reda.
Al, kamu bilang aku tidak boleh cengeng. Ayo datang sekarang, Al, ayo hapus air mataku. Naya mau, Al, Naya mau nunggu tiga bulan lagi asalkan kamu Janji nggak akan kemana-mana, asalkan kamu janji akan baik-baik saja.
Beberapa jam berlalu, Alvaro dipindahkan ke ruang ICU. Umi juga sudah datang, dia terus menangis di pelukan Kak Andri, kakak tertua Alvaro. Kayla menyodorkan sebungkus roti untukku, dia tahu aku belum sedikitpun menyentuh makanan. Aku menggeleng tanda tak ingin. Tak lama setelah itu, Dokter menghampiri keluarga Alvaro. Aku ikut mendekat bersama Revan dan Kayla.
"Kami mohon maaf—"
Baru tiga kata pertama, semua orang yang ada disana sudah menangis. Aku tak sedikitpun mengeluarkan suara, meski beberapa kali air mataku jatuh. Dokter itu membuka maskernya, raut wajah kecewa terpancar jelas di wajahnya.
"Organ dalam Alvaro sudah tidak bisa berfungsi normal, beberapa juga mengalami kebocoran akibat luka tusukan ranting pohon. Peredaran darahnya tidak lagi lancar, dia juga kesulitan mendapat oksigen tanpa alat bantu. Kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi, tetapi kami memberi waktu untuk pihak keluarga masuk. Setidaknya, dia masih bisa mendengar."
Kami semua masuk, Kak Ale juga menyuruh aku, Kayla, dan Revan untuk ikut masuk. Umi orang pertama yang memeluk tubuh anak bungsunya, membisikkan sesuatu kemudian melangkah keluar. Berlanjut Kak Andri lalu Kak Ale. Sementara itu, detak jantung semakin melemah.
"Mungkin nunggu kamu, Nay. Gih," ucap Kak Andri. Aku melangkah mendekat, menyentuh jemarinya yang sangat dingin, wajahnya pucat pasi.
"Alvaro, ini Naya—" ucapku terhenti, tak kuasa menahan air mata. "Naya tau Alvaro nggak akan kemana-mana, iya kan, Al?"
Jemariku mengusap wajahnya. "Naya janji bakal jaga diri Naya sesuai apa yang Alvaro minta, Naya akan berusaha buat tetep baik-baik aja terkecuali untuk sekarang, Al. Alvaro dengar Naya? Jangan kemana-mana, ya? Kalau Alvaro nggak ada siapa yang bawain bunga ke rumah Naya? Siapa yang telepon Naya? Siapa yang nemenin Naya di acara perpisahan sekolah nanti, Al? Jangan tinggalin, Naya, ya? Naya sayang Alvaro."
Aku berbisik melantunkan doa dengan air mata yang terus mengalir. Kemudian untuk kalimat terakhir, aku ucapkan, "Jangan khawatir sama Naya, Al. Naya akan jagaa diri Naya sendiri," ucapku kemudian mencium keningnya bersamaan dengan suara nyaring mesin EKG membuat tangis pecah seketika. Dokter dan para medis mulai melepas alat-alat, aku ditarik mundur oleh seorang suster.
"Sudah, ya? Ikhlaskan," bisiknya padaku.
"Alvaro," panggilku masih tak yakin dengan apa yang baru saja terjadi.
"Al dengar Naya?"
"Alvaro."
Revan dan Kayla menahan tubuhku. "Nay, kita keluar, ya?"
"NGGAK! ALVARO BANGUN, AL! TUNJUKIN KE MEREKA KAMU MASIH HIDUP, AL."
"Nay cukup, Nay."
"Bilang sama mereka, Al, bilang kamu bakal hidup lebih lama."
Umi pingsan ketika itu, membuat nyeri di dadaku semakin menjadi. "Alvaro bangun, tepati janji kamu."
Revan dan Kak Ale menarikku keluar. Sampai di depan pintu aku ambruk terduduk, tubuhku bergetar seluruhnya. Kayla memelukku. "Kita semua kehilangan, Nay."
"NGGAK ADA YANG PERGI!"
Kayla semakin erat mendekap, aku semakin kehilangan suara. Musnah sudah semuanya, semua bahkan alasan mengapa aku banyak tertawa sejak dua tahun terakhir. Alvaro menepati janjinya untuk tidak menyayangi perempuan lain selain aku dan Ibunya. Dia sangat mencintai gunung, hingga menjadikan tempat itu sebagai tempat terakhir ia membuka mata. Dia menyayangiku dengan cara paling abadi, bahkan lebih dari kata selamanya.
Sekarang aku mulai mengerti mengapa Alvaro mengatakan ia tak akan menuntutku untuk berjanji tak ada lelaki lain selain dirinya, aku juga mengerti mengapa Alvaro percaya bahwa akan ada seseorang yang lebih baik dari dirinya dalam menjagaku. Apa yang terjadi sekarang adalah jawabannya.
Bandung.
Air mata di rumah duka bak dandelion tertiup angin, aku bahkan masih tak percaya bahwa kekasihku yang berada di balik kain putih itu. Aku ikut duduk di samping Umi, baru saja selesai membacakan ayat-ayat suci. Umi menoleh sejenak, dia menggenggam jemariku erat lalu memandangku tersenyum dengan mata sembabnya. Seolah dalam pandangannya ia berkata "Ikhlaskan, Nak. Dia sudah sembuh sekarang."
Tidak bisa, aku terisak kuat. Beberapa orang menatapku, aku mundur lalu keluar ruangan. Ayah ada di sana, mengobrol bersama Kak Andri.
"Ayah," panggilku.
"Iya, Nay?"
Aku hanya diam menggeleng pelan. Ayah sudah mengerti, ia pamit sebentar kemudian mengajakku ke mobilnya.
"Pulang aja, ya? Nanti Ayah bilang ke Ibunya Alvaro."
"Gak apa-apa kan, Yah? Naya nggak bisa, sakit sekali rasanya, Yah."
"Iya, pulanglah. Tunggu di sini, Ayah panggil Pak Sopir dulu."
Pemakaman akan diadakan sebentar lagi, namun mendengarnya saja aku sudah tidak sanggup. Sore itu tanpa izin langsung pada keluarga Alvaro, aku memutuskan untuk pulang. Meski dalam perjalanan pulang, air mataku tak kunjung selesai menetes.
Sejak hari itu, aku hilang dari orang-orang yang bersangkutan dengan kepergian Alvaro. Kayla, Revan, Umi, Kak Ale, Kak Andri, dan semua tempat-tempat yang terlibat dengan Alvaro juga aku asingkan bahkan rumahku sendiri. Aku dan kedua orang tuaku pindah ke pusat kota, sedangkan rumah itu di renovasi untuk tempat tinggal Kakakku. Semua barang di kamarku, apapaun itu yang menyangkut Alvaro aku hilangkan dari pandangan mata.
Ruangan senyap, dinding yang semula penuh foto-foto dan beberapa kertas berisi surat-surat Alvaro kini tak ada lagi. Duniaku kembali, dunia yang lebih dari sepi. Bulan demi bulan berlalu, apa yang sudah kuhilangkan ternyata tak menyembuhkan kesedihanku sedikit pun.
"Non, makanannya kenapa nggak dimakan? Nggak enak ya?"
Aku diam, masih terus duduk memeluk lutut di lantai, menatap keluar jendela.
"Bi, biar aku aja."
"Eh Non Amel. Silahkan, Non, mungkin kalo sama Non Amel, Non Naya mau makan."
Setelah itu, pintu tertutup. Seseorang memegang pundakku, ikut duduk di sampingku. "Nay, gimana hasil SNMPTN?"
"Gagal."
"SBMPTN?"
"Gak ikut."
Dia menghela nafas pelan. "Nay, mau sampai kapan gini terus?"
"Sampai dia datang ke depan kamar gue."
"Nay, udahlah—"
"Apanya yang udah, Mel? Sekarang apa lo bisa jawab kenapa Alvaro pergi tanpa pamit? Tau lo jawabannya?"
"Alvaro selalu pamit sama lo lewat cara dia memperlakukan lo."
Aku menoleh cepat, "Lo nggak tau apa-apa, Mel."
"Selama ini apa lo nggak pernah sadar kalau lo yang selalu butuh Alvaro dan Alvaro nggak pernah menyusahkan lo dalam sebesar apa pun masalahnya. Lo nggak pernah berkontribusi apapun di hidupnya tetapi justru dia yang selalu punya andil besar dalam setiap kesulitan di hidup lo."
Amel menghela napas sebentar, kemudian melanjutkan ucapannya.
"Dia yang bikin lo berhenti di bully dan mengajarkan lo gimana caranya untuk nggak peduli omongan orang, dia yang bikin lo bahagia dengan cara-caranya yang sederhana dan mengajarkan lo untuk selalu baik-baik saja walaupun dia nggak ada di samping lo dan hanya mengobrol lewat telepon, dia yang beberapa kali meninggalkan lo dan mengajarkan arti kehilangan meski sementara, dia yang mengobati lo lalu mengajarkan lo bagaimana cara menjaga diri dan terbiasa mengobati diri lo sendiri. Itu cara dia pamit, Nay. Dia meninggalkan lo ketika kaki lo ini udah lebih kuat dibanding ketika dia pertama nemuin lo di bengkel itu."
"Cukup, Mel, cukup."
Amel memeluk tubuhku yang bergetar hebat karena menangis. "Nay, gue yakin Alvaro udah sangat bahagia ketika lo mau ia jaga, ketika lo cintai dengan sepenuhnya, gue yakin. Tapi untuk sekarang, Alvaro nggak hanya butuh itu. Dia butuh tau bahwa lo udah melanjutkan hidup, lo memenuhi keinginannya untuk baik-baik aja. Buat Alvaro, Nay, sekarang itu penting."
Semua masuk ke dalam kepalaku, ucapan Amel bagai mantra hipnotis yang menyadarkanku tentang apa yang seharusnya aku lakukan selain seperti ini. Aku menyetujuinya. Pagi itu, aku berjanji pada diriku sendiri. Aku harus bisa melakukan sesuatu untuk Alvaro, sebagai pengganti banyak hal yang berhasil menyembuhkanku dari luka-luka di masa itu. Dari perkataan Amel, aku akan mulai berkontribusi untuk Alvaro, meski hal itu ada dalam bentuk merelakan.
Seperginya Amel, semua mulai berusaha aku rubah. Aku harus melanjutkan hidupku, berbekal banyak hal yang Alvaro ajarkan. Satu demi satu hal mulai membaik, meski terkadang kepingan kenangan dari Alvaro kerap kali membuatku mengurung diri di kamar. Aku tidak lagi ingin belajar mengikhlaskan setelahnya, sebab itu aku tidak pernah ingin menerima orang baru di hidupku.
Dari apa yang terjadi juga aku belajar, bahwa apa yang ditakdirkan hilang dari kita, sekuat apapun kita menahannya dan sekuat apapun perasaan kita padanya, tetap dia tidak akan ada lagi untuk kita.
Bagiku, akhir paling bijaksana dalam kehilangan, hanyalah ikhlas. Cara paling tulus dalam mencintai ada ketika kita mampu merelakan. Karena terkadang, merelakan adalah cara untuk membuat seseorang yang kita cintai bahagia karena dengan kita, dia tak akan pernah sebahagia itu.
Barangkali, Tuhan mengambilnya karena cintanya pada Alvaro lebih besar dibanding seluruh cinta dari orang-orang disekitarnya termasuk aku.
***keping kenangan***