Selesai bimbel, sepanjang perjalanan dari lorong menuju luar gedung, Aku menceritakan semua cerita yang kemarin aku dengar dari Bibi. Davino mendengarkan dengan seksama, saking seksamanya, ketika ada beberapa teman perempuan yang menyapanya dia hanya tersenyum kecil. Dia sesekali menoleh ke arahku, memastikan aku tak menangis di depan banyak orang dalam gedung bimbel. Ketika ceritaku berhenti, dia ikut menghentikan langkahnya. Aku menoleh menatapnya.
"Kita mulai hari ini, Nay."
"Apanya?"
"Berlayar. Yuk," ajaknya seraya menarik lenganku dan memaksaku masuk ke dalam mobilnya.
"Bilang dulu gih, biar orang rumah gak khawatir."
"Kita mau kemana?"
"SMA lo."
"Gue gak mau," tolakku keras.
"Lo udah sepakat mau berdamai, kan?"
"Tapi, Dav—"
"Oke gue aja yang telepon ke rumah lo."
Aku mendesah pelan, membiarkannya berbicara melalui jaringan telepon. Setelah itu, dia mulai menjalankan mobilnya. Cukup jauh dari tempat Bimbel, perjalanan memakan waktu hingga setengah jam. Aku melirik jam tanganku, pukul dua belas siang hari sabtu. Sedikit lega karena artinya sekolah sedang libur jadi tidak akan banyak orang disana.
"Gue takut, Dav," ujarku pelan.
"Mau sampai kapan gitu terus? Reunian nanti lo juga tetep nggak mau menginjakkan kaki di sekolah lo itu?"
"Terus, nanti kalau gue kesana mau apa?"
"Lo berani menginjakkan kaki lagi di sana aja udah sebuah kemajuan."
Waktu terus berjalan, roda terus berputar, gedung-gedung pertokoan mulai berjajar. Aku terus menatap setiap bagian dari perjalanan yang lama kutinggalkan dan tak ingin kulewati lagi sebelum hari ini. Banyak yang berubah meski baru kutinggal satu Tahun. Melewati kedai ramen kesukaan Alvaro, toko perlengkapan mendaki langganan Alvaro, dan lapangan luas tempat Alvaro mengisi minggu paginya. Sesak.
Padahal tempat itu tak mengatakan apapun padaku, tetapi anehnya hanya menatap saja sudah mampu membuatku membayangkan ada Alvaro di sana. Mobil terus bergerak, melewati alun-alun kota. Pertanda bahwa sekolahku sudah dekat. Suasana kala itu masih terekam jelas di ingatan, namun sayangnya tersisa sebagai kenangan.
"Ini kan, Nay?"
Aku menatap ke samping, gerbang tinggu menjulang. Nama sekolahku tercetak jelas di atas gedung lobi sekolah. "Iya."
Davino turun dari mobil, menghampiri satpam yang sedang duduk-duduk mengobrol besama petugas kebersihan. Dia terlihat berbicara sebentar kemudian satpam itu mengangguk membukakan pagar mengizinkan mobil ini masuk. Aku membuka kaca mobil, tersenyum pada satpam itu. Davino menghentikan kendaraan sejenak, membiarkan satpam itu mendekat.
"Neng, Kanaya. Aduh kumaha kabar? Damang, Neng?" tanyanya dengan bahasa sunda yang amat khas, menanyakan kabarku.
"Alhamdulillah, Pak."
"Syukur, Alhamdulillah. Si Alvaro gimana, Neng? Lama bapak teh nggak liat dia. Terakhir kali kesini teh udah setahun yang lalu. Katanya kuliah di Malang ya?"
Aku mencoba masih tetap tersenyum. "Alvaro, baik, Pak. Doain aja."
"Syukur atuh. Kapan-kapan suruh kesini, ya? Kangen bercandaannya bapak teh," ucapnya. Ingin sekali kujawab, iya, Pak. Aku juga rindu sekali. Tapi dia tidak akan mau kembali. Dia tidak mau, Pak.
"Udah boleh masuk, Pak?" tanya Davino mencoba menyelesaikan obrolan ini.
"Eh iya, sok mangga masuk."
Aku mengangguk tersenyum mengucapkan terima kasih. Davino juga demikian. Setelah memarkirkan mobil di lahan parkir, Davino tidak langsung turun, ia menatapku lebih dulu. "Bisa lanjut?" tanyanya.
"Bisa."
Davino mengelus pundakku pelan, kemudian dia turun lebih dulu. Aku mencoba menenangkan semua perasaan menyakitkan di dalam diriku. Biar saja jika aku hancur lagi, toh katanya memang pura-pura baik-baik saja juga hanya akan menimbun luka. Aku turun dari mobil, menatap sekitar. Ketika membalikkan badan, aku membeku sejenak. Tempat parkir itu, tempat pertama di sekolah ini yang aku lalui dengan Alvaro. Di hadapanku sekarang, aku mengingat kotak berisi bolu kukus yang kemudian Alvaro jadikan alasan untik bertemu lagi.
"Nay," panggil Davino. Aku menoleh, mengangguk.
Aku berbalik, berjalan dengan Davino melewati lorong-lorong kelas yang setiap langkahnya adalah luka. Sampai pada lorong gelap yang ketika itu Alvaro bilang lorong ini berhantu. Bagiku, lorong ini lebih menyeramkan dibanding saat itu.
Menyeramkan karena lelaki yang melindungiku tak lagi ada di sisi. Kakiku terus melangkah, membawa serpihan-serpihan luka yang sejak lama kupendam. Langkahku berhenti di depan sebuah kelas, aku duduk di kursi yang berada di depan kelas.
"Ini ruang kelas gue pas gue kelas dua SMA."
Davino duduk di sampingku.
"Dulu, pas pembagian rapor sekolah, orang rumah gak ada yang bisa wakilin buat ambil rapor gue, karena waktu itu rapor harus di ambil oleh orang tua atau keluarga. Nggak boleh diambil sendiri."
"Peraturan sekolah?"
"Iya. Gue gak tau lagi harus gimana, Ayah lagi di luar kota."
"Alvaro tau?"
"Tau. Setelah gue kasih tau itu juga, dia ninggalin gue katanya tunggu sebentar. Gue gak tau dia mau kemana. Sampai satu jam kemudian, dia datang lagi sama Ibunya."
"Sama Ibunya?"
"Iya. Alvaro minta Ibunya buat jadi wali gue supaya rapornya bisa diambil. Nggak cuma itu, dia juga nanya soal perkembangan gue disekolah. Hal yang nggak pernah dilakuin Ibu tetapi di lakuin Ibunya Alvaro. Gue manggil dia Umi. Pulang dari ambil rapor itu, kita makan bareng di rumah Alvaro. Bareng keluarganya, yang udah nganggap gue kaya bagian dari mereka. Gue menemukan nyaman di sana, bahkan nyaman yang lebih dibanding rumah orang tua gue sendiri."
Davino mengangguk, sepertinya mulai paham mengapa Alvaro begitu berarti untuk seorang Kanaya.
"Habis ini kemana?"
"Nggak ada, ini tempat terakhir. Alvaro bukan lelaki yang banyak menghabiskan waktu berdua kalau di sekolah."
"Lalu gimana dia bisa tahu kalau lo kenapa-napa?"
"Pertanyaan lo sama dengan pertanyaan gue. Gue gak tau, Dav. Itu ajaibnya Alvaro."
Setelah itu, aku dan Davino kembali keluar dengan jalan memutar. Melewati perpustakaan, lapangan basket, lalu sampai di lorong menuju lahan parkir. Sekali lagi, sebelum membuka pintu mobil, aku menatap tempat tak jauh dari tempat mobil Davino terparkir. Dulu, disana lelaki itu membawakan bolu kukus paling enak.
"Kanaya."
Aku menoleh. "Iya, Dav?"
"Hebat."
"Hebat kenapa?"
"Lo mulai menerima."
Aku tersenyum, lalu masuk ke dalam mobil. Davino kembali pada kemudinya, ketika sampai di pos satpam, aku menyuruhnya menghentikan mobil. "Sebentar, ya?"
"Iya."
Satpam itu kembali menghampiri mobil. "Atos, Neng?" (Sudah, neng?)
"Atos, Pak. Makasih, ya?"
"Santai aja atuh, Neng. Kapan aja mau ke sini, gerbang sekolah akan selalu Bapak bukakan."
Aku tersenyum. "Pak," panggilku.
"Iya, Neng?"
"Alvaro nggak akan datang kesini lagi."
"Hah? Kenapa memangnya?"
Lagi. Aku tersenyum kali ini dengan sedikit sesak. "Nggak bisa. Dia nggak bisa kesini lagi."
"Nay—" ucap Davino mencoba menghentikan.
"Kalau mau, Bapak yang nyamperin dia."
"Oh, begitu? Mana atuh alamatnya, Neng?"
Aku mengambil selembar kertas dari dalam tasku dan menulis alamat disana. "Alvaro pasti senang kalau Bapak datang," ucapku seraya melipat kertas. "Nih, Pak." lelaki tua itu menerimanya. Sebelum dibuka aku telah berpamitan untuk pulang. Mobil melaju meninggalkan gerbang sekolah.
Dari spion mobil, aku menatap satpam itu membaca apa yang aku tulis disana. Ia menunduk, mengusap air matanya yang jatuh. Setelahnya, aku menutup kaca mobil menghentikan apa yang aku lihat. Tanpa kutahan, air mataku juga jatuh. Semakin deras, semakin aku menutup wajahku. Davino meminggirkan mobilnya.
"Nay—"
"Gue lega tapi nggak tau kenapa ini sakit banget, Dav," ucapku terbata-bata sambil menangis.
"Iya gue paham."
Davino membiarkanku menangis, sesekali tangannya terulus mengusap pundakku. Ada yang mengatakan, biarlah tangis itu ada sebagai obat luka. Setidaknya, kalau memang tidak sepenuhnya menyembuhkan, bisa sedikit menenangkan. Bukankah luka ada untuk dirasa? Jadi wajar bila sekarang aku menikmatinya dengan segenap kekuatan tetap bertahan, melanjutkan hidup.
"Pulang?" tanya Davino ketika tangisku mulai reda.
"Tempat kedua, Dav."
Davino diam sejenak, seolah sedang mempertimbangkan. Dia menoleh ke arahku, aku mengangguk paham apa yang ia khawatirkan. "Oke. Panti asuhan."
Mobil kembali berjalan, mataku kembali memperhatikan setiap jengkal jalanan yang dilalui. Dahulu, aku senang sekali jika perjalanan macet atau pun Alvaro memilih jalan yang lebih jauh. Sekadar ingin lebih lama denganku. Sekarang, aku berharap mobil berjalan lebih cepat meninggalkan tempat ini.
Panti asuhan sore itu cukup ramai, beberapa anak bermain di lapangan samping rumah. Sudah hampir satu tahun aku tidak mengunjungi tempat ini, karena aku rasa tempat ini terlalu lekat dengan Alvaro. Hal itu terbukti ketika aku turun dari mobil beberapa anak lelaki menghampiriku. "Apa kabar?"
"Baik," ucap mereka serentak.
"Kak Nay, Bang Alvaro mana? Lama nih, nggak main bareng lagi."
"Kanaya," panggil seorang wanita paruh baya seraya mendekat memelukku. "Kemana aja? Lama Ibu gak lihat kamu."
"Apa kabar, Bu? Naya di rumah. Baik. Selama ini cuma terlalu sibuk urusan pendaftaran kuliah."
"Setiap orang tua kamu kesini, selalu aja kamu nggak ikut. Ibu kira lupa."
"Mana mungkin, Bu." aku menatap Davino yang membawa satu kantung keresek besar lalu tersenyum Pada Bu Salima. "Bu, ini Davino. Teman Naya."
"Davino," ucap lelaki itu seraya menyalimi punggung tangan Ibu.
Ibu tersenyum. "Saya Salima. Pengurus panti. Nak Davino panggil Ibu saja."
"Iya, Bu."
"Ah iya, Alvaro nggak ikut, Nay?"
Aku diam. Davino mengisyaratkan aku untuk masuk lebih dulu bersama anak-anak. Aku mengangguk, mengambil bungkusan di genggaman Davino lalu mengajak anak-anak masuk rumah. Sekali lagi, aku menoleh memperhatikan Davino sedang memjelaskan sesuatu. Tak ingin melihat reaksi Ibu, akhirnya aku masuk ke dalam rumah untuk membagikan makanan.
Ruang tengah rumah adalah ruangan paling luas, biasanya dipakai untuk belajar dan bermain bersama. Dinding yang berhadapan dengan pintu diberi papan tulis besar dan beberapa poster berkaitan dengan belajar membaca dan menghitung. Setiap senin sampai jum'at mereka kedatangan guru relawan dari banyak kalangan. Terkadang, dulu aku dan Alvaro juga datang untuk mengajarkan mereka tentang kehidupan lewat sebuah dongeng. Sambil membagikan makanan, aku terus memperhatikan wajah-wajah itu. Wajah yang seolah dia amat bahagia dalam hidupnya. Dia tidak sendiri meski tanpa orang tua, dia merasa rumah ini adalah tempat pulangnya. Banyak diantara kita yang tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki, seolah hanya kita yang paling tidak beruntung. Lihatlah mereka, kini saling bertukar makanan lalu mereka tertawa membicarakan hal-hal sederhana. Mereka menganggap bahwa yang lebih muda adalah adiknya dan yang lebih tua adalah kakaknya.
Tuhan menakdirkan manusia secara beragam, menurutku untuk hal ini. Agar kita tahu arti bersyukur, agar kita bisa untuk berbagi, agar kebaikan bisa digunakan dan agar manusia tak hanya saling diam.
"Kak Naya, Bang Alvaro kok gak ada?" seorang anak berbaju hitam bertanya diantara riuhnya obrolan. Semua senyap seketika menunggu jawabanku.
"Nggak ikut," ucapku dari sekian banyak penjelasan yang sempat terbesit. Mereka mengangguk paham.
"Kenapa nggak ikut?" kali ini seorang anak berbaju merah, terlihat tak puas dengan jawabanku tadi.
"Dia lagi sibuk."
"Padahal kita pengen main bola lagi."
"Dengerin dongeng juga," sambar perempuan berkepang dua.
"Lari-lari di taman, yang jadi nanti pakai topeng singa."
"Kamu paling sering jadi singa."
Mereka tertawa lepas, saling mengejek satu sama lain. Aku mendesah pelan, menoleh ke tempat di sampingku yang kosong. Biasanya, tempat itu diisi oleh Alvaro. Dia akan duduk disitu, memimpin doa sebelum belajar lalu akan memilih satu anak untuk membaca dongeng kemudian setelah itu dia akan menjelaskan amanat yang terkadung dalam dongeng itu. Hebatnya, mereka akan mendengarkan dengan seksama. Lalu mereka akan saling tunjuk perihal siapa yang paling sering melakukan kesalahan. Kami tertawa. Lalu Alvaro akan menatapku, seolah dari pandangannya itu dia bicara "Bahagia itu sederhana, Kanaya. Teruslah bahagia."
Aku menunduk, mengusap air mataku yang luruh. Seseorang mengusap pelan punggungku, ikut duduk di tempat yang biasa Alvaro duduki. "Ibu bilang, nggak apa kalau mau cepet pulang. Pulang sekarang aja ya, Nay?"
Dengan berat hati aku mengangguk, berpamitan dengan mereka dan dengan Ibu. Kemudian kami kembali ke mobil. Pertemuan itu tidak sampai setengah jam. Aku mengiyakan karena aku rasa tidak sepantasnya aku menangis di depan mereka. Tempat ini tercipta untuk sebongkah kebahagiaan, tidak untuk berbagi duka.
"Pulang aja, ya? Muka lo keliatannya capek banget."
"Iya."
Davino menjalankan mobilnya dengan santai, membiarkan perjalanan menembus sore dengan perlahan. Cahaya matahari mulai berwarna pekat menembus kaca mobil, jalanan mulai ramai. Untuk hari ini, aku berhasil berdamai dengan beberapa tempat, menikmati setiap kerinduan yang menusuk-nusuk di dalam dada. Katanya, semakin dalam perasaan kita, maka akan semakin dalam pula luka yang akan kita terima. Aku percaya, setiap kejadian akan selalu bermakna, setiap kehilangan juga akan selalu mengajarkan banyak hal, meski terkadang beberapa diantaranya justu menjadi luka paling dalam.
"Dav."
"Ya?"
"Makasih, ya."
"Buat apa?"
"Kalau bukan karena lo, gue gak akan pernah mengunjungi tempat-tempat itu lagi. Rasanya damai banget, Dav."
"Gitu doang. Ini belum seberapa, kan baru dua tempat."
"Memang lo mau ke semua tempat yang pernah gue dan Alvaro datangin?"
"Nggak lah, bisa sampe sarjana gue."
Aku terkekeh. "Terus?"
"Ya tempat-tempat yang paling lo benci aja."
"Contohnya apa?"
"Malang."
***Bersambung***