Malam menjemput usai matahari tenggelam, membawa taburan bintang bersama satu bulan menggantung indah. Jendela kamar kubiarkan terbuka, mengizinkan angin malam menerpa wajahku. Kotak kayu berdebu di bawah meja menjadi satu-satunya benda yang kupandang saat ini, tanganku terulur membawa kotak itu keluar dari sana. Lama sudah benda itu bersemayam di sana, bersama dengan remukan-remukan perasaan tahun yang lalu.
Terjebak dalam proses mengikhlaskan tidaklah menyenangkan, terlebih yang meninggalkan itu tidak sedikitpun mengucap selamat tinggal. Aku heran mengapa kita bisa berada di sebuah suasana yang diyakini akan baik-baik saja sampai kapan pun, sampai akhirnya aku berani masuk kesana lebih dalam yang ternyata di dalamnya seperti labirin tanpa petunjuk jalan. Aku terjebak disana dan tidak lagi bisa keluar, meringkuk dalam rasa tak menyenangkan.
"Alvaro, tadi aku ke sekolah, habis itu aku ke panti," ucapku seraya membuka peti kayu kecil di pangkuanku. "Naya sama Davino tadi. Dia baik, Al, teman baru Naya."
Perlahan, aku membuka kotak itu. Baby's breath mengering memenuhi kotak itu, aku membersihkannya lebih dulu dan mengambil sebuah pelastik berisi foto-foto yang dahulu aku pajang di dinding kamar namun kini sengaja kusimpan rapi. "Kangen, Al. Pulang, ya? Satpam sekolah nanyain kamu, Ibu Salima juga, dan anak-anak panti juga."
Air mataku jatuh membasahi foto-foto aku bersama Alvaro ketika SMA. Di dalam mobil, di kedai ramen, di lapangan samping universitas, di alun-alun kota, dan banyak lagi. Aku tersenyum kecil, mengenang semua kejadian dibalik setiap foto. "Alvaro, Ibu semakin dingin sama Naya, Al, Naya harus apa?"
Kali ini, liontin cantik berbentuk bintang kuusap pelan. Dulu, Alvaro bilang, "Jangan hilang, aku ambilnya susah."
Hari itu aku tersenyum. "Kalau nggak sengaja?"
"Berarti kamu harus minta sama aku lagi."
"Kalau kamu nggak ada? Kan kamu kuliah di Malang."
"Telepon aku. Nanti aku bawain dari sana yang lebih gede."
"Cara ngambilnya gimana?"
"Naik ke puncak gunung semeru."
Jantungku berdesir hebat, tenggorokanku tercekat. Aku segera menutup kotak itu lalu memasukannya kembali ke bawah tempat tidurku. "Al, jangan kesana. Aku cuma mau kamu disini, sama aku. Aku janji nggak akan hilangin kalung itu, aku Janji, Al. Tolong, pulang."
Sesak sekali rasanya, butir-butir air mata tak lagi mampu menjadi obat pereda. Ingatanku bekerja dengan baik, bahkan sampai sudut-sudut ruangan yang kulewati bersama Alvaro masih jelas kuingat. Memori itu membekas tanpa bisa sedikitpun kutimbun, atau sedikit saja kulupakan. Aku tidak bisa. Tentangnya adalah luka paling indah di dalam hatiku.
***
Dua Tahun Lalu.
Bunyi lonceng sekolah memenuhi koridor kelas, riuh langkah sepatu beradu dengan lantai. Kesekian kali aku mengecek ponsel, berharap pesan dari Alvaro segera masuk. Amel sudah selesai membereskan buku-bukunya, menoleh padaku. "Kak Alvaro jadi jemput?"
"Jadi, Mel."
"Memang keretanya keburu?"
"Dia ambil pemberangkatan terakhir. Nanti malem."
"Oh, ya udah. Salam buat Kak Alvaro, salam juga buat cowok-cowok ganteng di Malang."
"Idih, ganjen banget."
"Wajar dong, Nay. Siapa tau temennya Kak Alvaro ada yang ganteng terus mau sama gue, kan? Apalagi cowoknya itu anak—"
"Al udah di depan, Mel. DADAH AMEL, JANGAN HALU TERUS NANTI GILA," ucapku seraya berlari menjauh.
"HEH GUE BELUM SELESAI NGOMONG, KANAYA!"
Suaranya masih terdengar samar. Aku hanya tertawa mendengarnya dengan terus berlari membelah kerumunan yang hampir memenuhi koridor menuju parkiran sekolah. Di ujung koridor, aku berbelok ke kiri menuju gerbang sekolah.
"Siang, Pak," sapaku pada satpam sekolah yang sibuk membantu anak-anak menyebrang.
"Siang, Neng. Tuh, si Aa udah nungguin," ucapnya seraya menunjuk seseorang yang berdiri bersandar melambaikan tangan tak jauh dari tempatku berdiri.
Aku tersenyum lebar, "Naya pulang ya, Pak. Semangat kerjanya!"
"Siap sok mangga hati-hati."
Aku berlari menghampirinya. Kaus putih lengan pendek dibalut sweater abu-abu, celana jeans hitam dan sandal gunung. Masih terekam jelas bagaimana dia tersenyum ketika beberapa siswa menyapanya, masih ingat jelas bagaimana pergerakannya ketika melepas sandarannya pada bagian luar pintu mobil.
"Gak usah lari-lari, lama juga aku tungguin kok," ucapnya seraya membetulkan rambutku yang berantakan terkena angin.
"Amel marah-marah," ucapku seraya terkekeh.
"Kok bisa?"
"Lagi ngehalu aku tinggalin."
"Dasar."
"Al, udah lama disini?"
"Sebelum bel sekolah juga udah disini, ngobrol sama Pak Satpam."
"Ish gak bilang, kalau gitu Naya keluar dari sebelum Alvaro kirim SMS."
Alvaro tersenyum. Lengannya berhenti di keningku."Ini kenapa merah?"
Aku tertawa. "Merah, ya?"
"Iya. Kenapa?"
"Atraksi."
"Yang bener, Kanaya."
"Naya ceritain di dalam mobil. Alvaro gak liat apa banyak orang yang merhatiin kita?"
"Biarin. Mereka kan udah tau."
"Bukan gitu, nanti Naya digosipin jalan sama Om-Om lagi."
"Heh! Dasar ya kamu," Alvaro bersiap menggelitiki leher bagian belakangku namun aku hanya tertawa menghindar dan segera masuk mobil.
Tawa kami pecah di dalam mobil, Alvaro yang puas melihatku tertawa karena geli terus menyentuh leher bagian belakang sebelum kemudian berhenti karena melihatku berkeringat. "Capek, Al."
"Kamu, sih, nyari masalah sama Om-Om," ucapnya tertawa.
"Tuh kan, ngaku."
Alvaro tertawa lagi. "Udah, ah, Nay. Kamu, nih, orang aku lagi tanya itu jidat kamu kenapa?"
"Oh, ini. Tadi pas pelajaran Pak Acep, aku ngantuk banget, tumpang dagu sampai ketiduran terus kaget karena dipanggil suruh jawab soal akhirnya jidat aku kebentur meja."
"Kalau mau tidur itu, di UKS. Lagian atraksi segala. Aku itu punya pacar bukan buat ikut atraksi lumba-lumba."
"Tuh kan, balas dendam. Ngatain aku lumba-lumba."
"Bercanda, cantik gini kok dibilang mirip lumba-lumba."
Dia mengacak rambutku, kemudian beralih pada kemudinya karena aku kesal rambut yang tadi ia rapihkan kini kembali berantakan.
"Kita mau kemana, Al?"
"Loh, aku yang harusnya nanya."
"Pantai."
"Jauh, sayang, aku kan harus berangkat lagi malam ini nanti gak keburu kalau ke pantai dulu."
"Justru biar gak jadi."
Dia tersenyum. "Kan akhir semester depan juga pulang lagi, Naya."
"Lama!"
"Makannya jangan hitung hari terus. Biar nggak kerasa lama."
Aku mendengus. Siang itu jalanan penuh anak sekolah, tak hanya anak SMA. Sekolahku berada di daerah yang bisa dibilang pusat pendidikan di daerah itu. Dimulai dari jenjang Taman Kanak-kanak, kemudian tak jauh dari taman kanak-kanak itu ada dua Sekolah Dasar, bersebrangan dengan sekolah dasar ada SMK, dan terakhir, bersebrangan dengan Taman Kanak-kanak ada SMP yang bersanding dengan SMA tempatku bersekolah.
"Ganti baju dulu, Nay?"
"Gak usah, Al."
"Kenapa?"
"Naya bawa baju ganti. Kita mampir pom bensin aja."
"Enakan juga ganti di rumah."
"Nggak mau, ngelamain. Nanti kamu malah ngobrol lama sama Ayah, terus gak jadi jalan karena udah keburu berangkat ke Malang lagi."
"Iya, deh, apa aja buat Naya."
Aku tersenyum.
Aku senang mengobrol dengannya. Apapun yang aku bicarakan, dia pasti akan mendengarkan dengan seksama. Keistimewaan Alvaro lainnya ada di cara dia mengobrol denganku, dia akan berusaha memperhatikanku. Walaupun di keadaan menyetir, dia akan memelankan laju mobilnya kemudian akan lebih sering menoleh ke arahku sambil tersenyum. Di hadapannya, aku selalu merasa lebih istimewa dibanding perempuan lainnya. Mungkin itu sebabnya aku banyak bicara ketika bersama Alvaro, hidup yang lebih hidup dengannya. Kukira, ini selamanya. Ternyata, hanya sepintas bahkan tanpa epilog.
Mobil berhenti di hadapan mini market tempat pengisian bensin, aku turun dari mobil membawa paper bag berisi kaus lengan panjang. Beberapa menit mengganti baju, aku kembali keluar dan hendak masuk mobil namun mobil terkunci. Aku menengok ke dalam mobil, Alvaro tidak ada. Pandanganku menyapu seluruh tempat itu, namun tak juga menemukan.
"Hei," panggil seseorang di belakangku.
"Nyariin aku, ya?"
"Ish, Al. Dari mana, sih?"
"Ice cream."
"Wah, makasih."
"Yuk, masuk lagi. Panas banget."
Di dalam mobil, Alvaro tidak langsung menjalankan mobilnya. Ia membuka kantung berlogo mini market itu, kemudian mengambil sesuatu dari sana.
"Obatin dulu lukanya. Udah tau lecet gini bukannya ke UKS, Naya nggak tahu fungsi UKS di sekolah, ya?"
Dengarkan, Alvaro sedang marah sekarang. Dia memegang lembut kepalaku, mengobati lukaku secara perlahan. Aku tersenyum menatap wajahnya yang begitu serius mengobati lukaku. "Amel pasti percaya kalau lihat ini."
"Jangan ngomong dulu, belum selesai obatinnya."
"Iya iya."
Aku memainkan resleting sweaternya sembari menunggu dia selesai mengobati luka di keningku. Aku menghirup harum tubuhnya yang begitu menyenangkan, mengingat setiap lekuk wajahnya untuk kemudian aku kenang sekarang. Padahal, dulu tak pernah terbayang akan kehilangan.
"Udah selesai, Nayaku mau bilang apa tadi?"
"Amel pasti percaya kalau lihat kejadian tadi."
"Tadi yang mana?"
"Obatin kening Naya."
"Memang kenapa dia harus percaya? Itu dimakan dulu es krimnya, nanti cair nggak enak."
Aku mengambil ice cream itu lalu mulai memakannya. Mobil kembali berjalan, ikut arus kendaraan.
"Amel pernah tanya sama Naya. Dia bilang apa Alvaro pernah berperilaku romantis?"
Dia tertawa. "Kamu jawab apa, Nay?"
"Naya bilang, sering. Alvaro itu romantis banget. Sayangnya, Amel nggak percaya. Katanya, mustahil. Soalnya Alvaro orangnya sopan banget sampai disapa aja cuma senyum."
"Terus?"
"Naya ceritain soal kamu. Naya bilang, Naya suka Alvaro kalau ngobrol sama Naya, soalnya Naya dipandangin terus."
"Terus Amel jawab apa?"
"Amel kesel. Katanya bukan romantis itu yang dia maksud."
"Memang maksudnya gimana?"
"Katanya, pegangan tangan misalnya. Terus Naya bilang jarang, abis gitu Amel ambil keputusan sendiri katanya Alvaro emang nggak romantis. Amel aja yang nggak ngerti, dia kan jomblo."
Alvaro tertawa keras membuatku ikut tersenyum. "Naya... Naya... Gak boleh tau ngatain jomblo."
"Loh, kan kenyataan, Al."
"Iya juga, sih."
"Tuh, kan."
"Bilang sama Amel, romantis itu nggak harus kontak fisik. Al kalau lagi di pasar malam sama kamu juga pegang tangan kamu, kan? Itu bukan karena Al lagi modus, tapi pengen jaga kamu karena keadaannya ramai. Kalau Naya nggak dipegangin nanti kepisah. Susah nyari kamu, kamu kan kecil."
"HEH! Body shaming itu."
"Eh salah kalimat. Susah nyari kamu, kamu kan lucu."
"Maknanya sama aja!"
Alvaro terkekeh pelan. "Iya gitu intinya. Bilangin sama Amel."
"Iya nanti Naya bilangin."
Mobil itu senyap sejenak, sebelum kemudian Alvaro memutar musik membuat mobil dipenuhi nada-nada indah dari Westlife. Sesekali Alvaro bersenandung pelan mengikuti lirik lagu yang berjudul I Wanna Grow Old With You, lagu paling romantis dari Westlife bagiku.
Lagu itu masih mengalun, aku menatap keluar jendela. Bahagia sekali saat itu, rasanya sangat menyenangkan. Disisinya, mendengar suaranya, dan ada Westlife sebagai pelengkap.
"Kanaya."
"Iya, Al?"
"Aku boleh modus nggak?"
"Hah?"
Alvaro tersenyum, meraih jemariku lalu menggenggam dan membawanya ke dalam pangkuannya. "Sebentar, aja."
"Kalau sebentar nggak boleh, Al. Kalau lama boleh."
Alvaro menoleh lalu tertawa pelan. "Ya udah, lama."
"Sampai stasiun, ya?"
"Naya mau antar ke stasiun?"
"Iya."
"Nggak usah, ah."
"Nggak boleh terus, deh."
Melihatku kesal, Alvaro tersenyum kemudian mengangguk mengiyakan permintaanku. Aku menggeser tempat dudukku, merapatkan dengan tubuh Alvaro. Hari itu, untuk pertama kalinya aku memberanikan diri bersandar di pundaknya. Alvaro menoleh sejenak, tersenyum ketika matanya beradu pandang dengan mataku. Ada beberapa hal ingin kuabadikan pada detik ini, katakan apa yang harus aku lakukan untuk membekukan waktu. Aku mencintai lelaki ini, Tuhan.
"Alvaro?"
"Iya?"
"Jangan suka perempuan lain ya, Al?"
"Nggak akan."
"Janji, ya, selain Naya nggak boleh ada perempuan yang diposisi Naya sekarang."
"Umi juga nggak boleh?"
"Naya serius, Alvaro!"
"Iya, Kanaya, nggak akan ada. Nggak akan ada yang aku izinin kecuali kamu."
"Sampai nanti nggak?"
"Sampai nanti."
Kadang kita terlalu percaya pilihan hati, lalu melupakan bahwa Tuhan dan semesta juga ikut andil. Aku memejamkan mata, meresapi musik yang telah berganti.
***Bersambung***