Alvaro mengajakku ke Villa milik keluarganya. Letaknya sedikit jauh dari pusat kota, tetapi sekitar villa ini masih sangat asri dibanding kota. Alvaro memarkirkan mobilnya tepat di halaman depan. Seorang bapak cukup tua berhenti memotong rumput, menoleh ke arah mobil. Pak Ujang namanya, pengurus villa ini.
"Aduh, Pak, masih panas kok udah potong rumput. Nanti sore aja atuh, biar teduh," ucap Alvaro seraya menghampiri Mang Ujang lalu menyalimi punggung tangan bapak itu. Begitulah Alvaro, dia tidak pernah menganggap siapa seseorang itu untuk ia hormati. Selagi dia lebih tua, Alvaro akan berlaku sama.
"Den Alvaro, kok nggak kabar-kabar mau kesini?"
"Sebentar kok, Mang. Nih, Naya kangen katanya."
Aku tersenyum, ikut menyalimi punggung tangannya. "Apa kabar, Mang?"
"Alhamdulillah. Maaf ya, tangannya kotor," ucap Mang Ujang.
"Ah nggak, wangi malah," ucapku.
"Wangi rumput ya, Nay?" timpal Alvaro.
Kami tertawa pelan.
"Ayo silahkan, di belakang ada si Bibi lagi siram bunga."
Kami mengangguk, berjalan masuk. Villa ini tidak banyak pendingin ruangan, hanya saja ada banyak jendela. Dimaksudkan agar suasana di sini bisa benar-benar dipakai untuk Istirahat, dengan udara alami dari sekitarnya. Mencium udara basah sebab embun adalah sesuatu yang jarang didapatkan di perkotaan. Kami sampai di belakang rumah, penuh dengan bunga-bunga cantik milik Umi.
"Bi, Alvaro pijitin ya biar gak pegel," ucap Alvaro seraya menghampiri perempuan cukup tua menunduk menyiram bunga, lelaki itu memijat-mijat pundak perempuan di hadapannya.
"Loh, si Aa kesini nggak bilang-bilang," ujarnya menatap Alvaro. Ia menyimpan selang airnya lalu mematikan keran air. "Eh, sama si Teteh juga. Mau dimasakin dulu?"
"Nggak, usah, Bi, cuma sebentar. Alvaro juga mau ke Malang lagi malam ini."
"Oh, gitu, ya udah Bibi bikinin minum aja, ya?"
"Iya. Kita di teras atas, ya, Bi."
"Siap."
Villa ini memiliki satu ruangan di atas, selebihnya dipakai untuk teras yang biasa di pakai untuk bersantai. Suasananya masih sama sejak terakhir kali aku mengunjungi tempat ini, hijau dan biru adalah warna kontras yang menjadi pemandangan di hadapan tempat aku dan Alvaro duduk. Matahari saat itu berwarna semakin pekat, meski begitu suhu udara terasa tidak terlalu panas.
"Naya nggak pernah bosan kesini, Al, Naya suka tempat ini."
"Tinggal disini aja, Nay."
"Ish, nggak bisa lah, jauh dari sekolah."
"Ya udah, nanti sama aku aja."
"Apanya?"
"Tinggal disini."
Aku tertawa, mengerti maksud Alvaro.
"Eh, Aku serius, loh, Nay. Kalo kata Westlife, I wanna Grow Old With You."
"Alvaro, kuliah dulu baru nikah!"
"Kan aku juga nggak ngajak sekarang, Nay. Emang kalo sekarang kamu mau makannya sama garem terus setiap hari?"
"Heh, ya nggak, lah. Bisa kena penyakit hipernatremia aku."
"Ya makannya."
Kami sama-sama tertawa. Dua gelas es susu vanila mendarat di meja yang berada di hadapan kami. "Diminum, dulu. Untung kesukannya sama, jadi nggak repot nyarinya," ucap seorang wanita paruh baya itu.
"Makasih, Bi," ucapku dan Alvaro. Setelah mengangguk, ia meninggalkan kami di teras.
"Nay, kenapa harus suka rasa vanila? Kenapa nggak coklat?"
"Ya gimana dong, Al, Naya sukanya Vanila."
"Kalau bisa sih jangan, Nay. Aku juga suka Vanila."
"Ya terus kenapa?"
"Kan katanya pasangan itu harus selalu melengkapi. Kalau vanila semua, siapa yang melengkapinya?"
Aku tertawa. "Gini nih, kalau pacaran terlalu patuh sama teori," cibirku.
Alvaro terkekeh pelan. "Jadi, jalani aja ya, Nay?"
"Itu tau."
"Pasangan itu nggak bagus kalau banyak kesamaan, nggak bagus juga kalau banyak perbedaan."
"Iya, Bu," ucap Alvaro seraya menunduk. Aku terkekeh, mengacak gemas rambutnya.
"Aduh, berantakan."
"Biarin! Biar Naya aja yang suka."
"Iya, biarin Naya aja yang suka soalnya Alvaro juga cuma suka Kanaya."
"Gembel."
"Serius, Naya."
Aku mendengus. Tatapanku jatuh pada tanaman jeruk nipis di dekat pagar teras, buahnya sudah cukup banyak. "Al, liat deh, jeruk yang dapet nanam aku udah banyak buahnya," ucapku seraya berdiri lalu jongkok tepat di hadapan pohon itu.
Alvaro mendekat, ikut menunduk. Aku terus memperhatikan buah-buah itu, tersenyum senang melihatnya. Alvaro menyentuh rambutku, menyelipkan anak rambut yang terjuntai menutupi wajahku diterpa angin. "Berdiri dulu coba, Nay."
Aku mendongak. "Kenapa?
Alvaro menarik lenganku untuk berdiri. Dia membelakangi cahaya matahari, melindungiku dari panasnya sore. "Udah makin sore, pulang yuk?"
"Baru juga sebentar."
"Kalau mau lebih lama disini, jangan ikut ke stasiun."
"Ish. Iya, deh."
"Tapi sebentar."
"Apa?"
"Benerin rambut aku dulu."
Aku tersenyum, segera merapikan rambutnya yang beberapa waktu lalu aku rusak. Alvaro tersenyum memperhatikan wajahku. "Udah dua tahun tapi kaya baru kemarin, ya, Nay?"
"Iya banget. Kalo udah kangen sedihnya kebangetan."
"Harus dibiasain, Nay."
"Dibiasain kangen? Nggak bisa, sama aja nyiksa diri aku."
"Ya udah, lama-lama juga terbiasa. Kamu bakal sering kangen aku."
Aku tidak pernah berpikir bahwa kalimat itu adalah kalimat yang bermakna lain. Aku juga tidak pernah mempercayai bahwa sore itu adalah sore terakhir bisa menyentuh rambutnya, menatap dalam matanya, bahkan di genggamnya. Jika aku tahu dia tak akan kembali setelah itu, mungkin aku tak akan melepasnya pergi bahkan menjauh selangkah saja dariku.
"Habisin susunya, kita pulang."
Aku mengangguk, meminum segelas susu itu kemudian berpamitan untuk pulang. Dalam perjalanan menuju rumahku, Alvaro tak pernah mau melepas genggamannya. Selesai mandi dan pamitan pada Ayah dan Ibu untuk mengantar Alvaro, akhirnya kami menuju rumah Alvaro untuk mengambil kopernya. Aku mengetuk pintu rumah, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu. Aku tersenyum kemudian berlari kecil memeluk Umi dari belakang.
"Pasti Naya."
"Iyaaa."
Umi membalikkan badan, tersenyum hangat mengusap rambutku. Hal yang selalu di lakukan Umi ketika bertemu denganku. "Terakhir kali ketemu kapan, ya? Umi sudah kangen sekali."
"Kemarin," jawab Alvaro malas. Aku dan Umi tertawa.
"Kenapa, sih, kamu ini. Umi kangen calon mantu aja kok sensi gitu kayanya."
"Umi yang benar aja, masa baru kemarin sore ketemu sekarang udah kangen banget lagi."
Aku dan Umi kembali tertawa. Alvaro mengambil satu koper kecil miliknya, kemudian dia menghampiri aku dan Umi. "Udahan, ya, Nayanya mau Alvaro bawa, Umi."
"Iya deh."
"Umi," panggil Alvaro tiba-tiba. Wajahnya menatap galak pada Ibunya.
Umi tersenyum. "Iya, Umi nggak akan terlalu capek, harus banyak istirahat, kalau Alvaro telepon diangkat, kalau mau masak suruh si Bibi. Itu, kan? Sampai hafal Umi."
Alvaro mencium pipi Ibunya. "Hati-hati di rumah, ya, Umi. Alvaro berangkat dulu."
"Iya, Nak. Jangan lupa ibadahnya."
"Siap, laksanakan."
Redup lampu jalanan mengiringi pergerakan mobil malam itu. Alvaro duduk di sampingku, mengelus lembut kepalaku yang bersandar di bahunya sejak awal perjalanan dari rumah. Mobil bergerak dengan tenang, Pak Sopir sepertinya paham bahwa ada waktu yang harus sedikit diulur. Aku mempererat genggaman lenganku dengan Alvaro, membuat lelaki itu menoleh tersenyum menatapku.
"Nay, kuliah nanti jadi ambil kedokteran?"
"Jadi, Al."
"UI?"
"Nggak, ah. Di Malang aja."
"Kok pindah gitu?"
"Biar ada yang jagain."
"Bilang aja nggak tenang aku disana, karena cewek disana cantik-cantik."
Aku tersenyum mengangguk. "Itu juga."
"Nggak ada, Nay, yang cantik terus bentuknya kaya anak kecil gini."
"Ish!"
"Bener, deh."
Aku merapatkan tubuhku membuat Alvaro kini merangkul pundakku. Tuhan, jika aku tahu itu adalah akhir, aku ingin hidup di sana untuk waktu yang lama, waktu yang lebih dari selamanya.
"Nanti kalau jadi Dokter pasti pasiennya rebutan pengen duluan."
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
"Kamu pasti bisa jadi Dokter yang baik, Nay."
"Aamiin."
Stasiun sudah di hadapan mata, lalu lalang orang-orang membawa tas beragam ukuran mulai memenuhi pandangan. Alvaro menyuruh Pak Sopir untuk tetap berada di mobil dan menunggu aku di parkiran yang disediakan, kemudian dia menggandeng lenganku menyatu dengan kerumunan orang-orang.
Alvaro menyuruhku duduk dijajaran kursi tunggu yang hampir terisi penuh. Mataku terus menyapu pandangan, ada mereka yang menggenggam enggan melepas, juga ada senyum perpisahan yang dirasa sebagai pemanis dalam perjalanan. Mengingat bahwa ada tempat untuk pulang. Dari yang kulihat, mungkin banyak yang membenci stasiun. Dari milyaran manusia, aku yakin ada yang sepakat dengan pendapatku.
Ternyata banyak hal mengajarkan arti perpisahan, ternyata tidak semua berakhir baik-baik saja. Sebab inikah Alvaro melarang aku bahkan Ibunya untuk ikut mengantarnya ke stasiun? Sungguh tegar bagi mereka yang akan ditinggalkan lagi untuk sementara tetapi melepas tanpa air mata. Mungkin hanya aku, hanya aku yang merasa tidak rela. Merasa mereka harus tetap di sini, bersama orang-orang yang dicintai dan mencintai.
Tidak.
Hidup tidak sedatar itu, hidup seperti gelombang air laut. Tidak tentu, kadang kita tenang kadang kita takut tenggelam. Selagi berlayar, kita dipaksa bertahan hingga sampai ke daratan.
"Minum dulu," ujar Alvaro menyerahkan satu cup minuman hangat.
"Masih lama, kan?"
"Sepuluh menit lagi."
"Bilangin gih, Al, suruh pelanin keretanya."
Alvaro terkekeh, ia mengus pelan rambutku. "Kenapa harus pelan-pelan?"
Aku diam tak menjawab. Rasanya sangat tidak rela melepasnya pergi. Entah karena ini pertama kalinya atau justru karena ada firasat lain. Aku tidak paham, tetapi rasanya begitu tak rela. Aku ingin menarik lengan Alvaro, lalu membawanya keluar dari tempat ini.
"Kanaya."
"Apa?"
"Apa yang Naya takutkan? Alvaro udah janji sama kamu tadi siang. Nggak akan ada perempuan lain yang bisa sampai di posisi Naya."
"Bakal cepet pulang lagi, kan, Al?"
"Iya, sayang."
Stasiun tiba-tiba saja ramai, kereta telah tiba. Beberapa penumpang turun, wajah-wajah lelah sangat terlihat. Aku menoleh, Alvaro mulai merapatkan jaketnya. "Keretanya yang ini, Al?"
"Iya. Gih, pulang, Nay."
"Nggak mau."
"Loh, kok nggak mau, sih."
Aku menatap orang-orang yang semula memenuhi kursi tunggu, kini bersalaman dengan orang yang mengantar mereka. Ruang tunggu itu semakin lama semakin sepi, berganti mereka yang baru saja tiba.
Alvaro berdiri, aku menahan lengannya. Dia tersenyum hangat. "Mau peluk dulu?"
Aku mengangguk, dia menarik tubuhku lalu memeluknya begitu serat. "Naya disini jangan cengeng, ya? Kalau kangen, telepon aku. Titip Umi, ya, Nay."
Aku menangis.
"Tuh baru aja dibilang jangan cengeng."
"Jangan pergi ya, Al?"
"Nggak bisa, dong."
"Kalau gitu jangan lama."
"Iya, siap."
Alvaro melepaskan pelukan, mengusap sisa-sisa air mataku. "Jangan nangis atau aku cium."
"Ya udah Naya nangis terus."
"Eh."
Aku menatapnya. Dia tersenyum memebelai lembut pipiku. "Ya udah, sekali ya? Ini pertama juga terakhir. Aku cuma akan lakuin lagi kalau kita udah lebih dari pacaran."
Aku mengangguk paham. Hari, tanggal, dan waktu saat itu adalah hal-hal yang paling aku ingat. Diantara ramai orang, dia mencium keningku, cukup lama. Air mata tak lagi bisa kubendung, mungkin ketika itu Tuhan sedang memberi waktu untuk sekadar salam perpisahan untuk waktu yang lama.
Selesai itu, aku memeluknya lagi lebih erat. "Naya sayang kamu, Al."
"Aku tahu, Nay."
"Jangan ada Naya yang lain."
"Mana mungkin."
"Alvaro nggak mau nyuruh Naya janji buat nggak biarin lelaki lain ada di posisi Alvaro."
"Nggak, Nay."
Aku melepa pelukan. "Kok gitu?"
"Kalau ada yang bisa jaga kamu lebih dari aku, kenapa nggak?"
"Alvaro jahat, padahal Naya udah sangat percaya sama kamu."
"Tapi lelaki di hadapan kamu ini yang nggak percaya sama dirinya, Kanaya."
"Kenapa? Selama Alvaro pergi juga Naya baik-baik aja."
Dia menyelipkan anak rambutku yang terjuntai. "Nggak ada cara menjaga lebih baik dibanding seseorang yang selalu ada di sisi, Nay."
"Kamu kenapa ngomongnya gitu? Udah ada rencana suka sama orang lain? Udah ada rencana mau jagain orang lain?"
"Bukan. Kita cuma ngak tau ada apa di depan sana, Nay, dan aku pengen kamu tetap baik-baik aja dengan atau tanpa aku."
"Tapi Alvaro bisa janji buat selalu sayang sama Naya?"
"Sangat bisa. Aku janji, Nay. Sampai kapan pun."
Suara-suara memekakkan telinga mulai terdengar, pertanda kereta akan segera berangkat. Alvaro menarik kopernya, menggenggam lenganku sejenak. "Aku pergi dulu ya, cantik."
"Iya. Hati-hati Alvaro, jangan lupa pulang."
"Kamu rumahku."
Dia berlari kecil menuju gerbong kereta yang hendak ditutup, melambaikan tangan padaku, aku menyambutnya dengan senyum. Kereta bergerak, semakin lama semakin cepat meninggalkan stasiun. Aku masih di tempat yang sama, menatap kereta itu hingga hilang dari pandangan mata. Sulit rasanya melepas dia pergi, ingin aku buat kereta berhenti saat itu juga.
Beberapa bulan kemudian, aku mulai mengerti mengapa aku sesakit itu. Aku mulai paham mengapa dia mampu berjanji untuk terus mencintaiku, aku paham mengapa melepasnya bisa sesulit itu. Ternyata hari itu adalah hari terakhir dia memelukku. Ciuman itu adalah ciuman pertama juga terakhir dari Alvaro untukku.
Aku diajarkan kehilangan, berjuang untuk mengikhlaskan. Bahkan hingga setahun berikutnya, aku masih belum mampu. Aku masih mengharapkan ponselku berdering lalu Alvaro akan memintaku menunggu di depan rumah. Tidak pernah ada lagi.
***bersambung***