Beberapa bulan setelah mengantarnya ke stasiun itu, aku masih sering mengobrol dengannya melalui jaringan telepon. Sekadar menanyakan kabar dan mengobrol hal-hal random lainnya seperti sekarang. Aku dan Amel berjalan bersama siswa lainnya, obrolan perihal perpisahan sekolah mulai memenuhi indra pendengaran. Alunan melodi kerinduan mulai terdengar diantara obrolan mereka. Amel melambaikan tangan, pamit lebih dulu karena kekasihnya sudah menunggu di atas motor. Iya, Amel tidak lagi jomlo, dia juga sudah percaya bahwa romantis tidak selalu tentang kontak fisik.
Ponselku berdering, nama Alvaro tertera di layar ponsel.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" ucap Alvaro di seberang sana. Aku terkekeh.
"Harusnya aku yang bilang gitu, Al, kan aku yang nerima telepon dari kamu."
"Coba gimana?"
"Apa?"
"Yang tadi."
"Oh. Dengan Kanaya disini, ada yang bisa saya bantu?"
"Ada."
"Nggak usah jawab, Al, langsung aja!"
"Iya deh, salah terus jadi laki-laki."
Aku tertawa. "Iya, ada apa, Al?"
"Lagi dimana?"
"Di parkiran, nih, mau ke gerbang."
"Udah deket?"
"Gerbangnya?"
"Iyalah, masa Bang Jarwo."
Aku terkekeh pelan. "Oh, udah."
"Liat deh, pasti sebentar lagi Pak Satpam manggil kamu."
"Memang mau ap—"
"Neng Naya, sini dulu," panggil Pak Satpam.
Aku mengangguk. "Bener, Al."
"Gih samperin."
"Iya ini lagi jalan."
Aku berjalan menghampiri Pak Satpam, tetap menempel ponsel di telinga. Pak satpam memberi sebuah paket. "Dari Malang."
"Alvaro?"
"Siapa lagi. Tuh, saya juga dikasih paketan, bilangin makasih buat Alvaro. Repot-repot segala."
"Iya, Pak, nanti Naya sampaikan. Makasih ya, Pak. Naya pulang dulu."
"Iya sok atuh, hati-hati, Neng."
"Siap, Pak."
Aku masuk mobil milik Ayah, di seberang sana terdengar berisik sekali orang mengobrol dan suara gemuruh angin.
"Alvaro."
"Iya, Nay?"
"Naya udah terima. Apa ini?"
"Buka aja."
"Alvaro lagi dimana emang? Berisik banget."
"Di mobil."
"Al, kamera lo udah dibawa?"
"Ada di gue, udah gak usah diganggu, lagi kangen-kangenan sebelum ditinggal tanpa kabar. Gak ngerti sih lo pada."
"Geovan kalo ngomong udah kaya dianya paham aja, padahal jomlo."
"Bangsat."
"Ge, nanti gue cariin di sana. Pokoknya yang mau sama lo aja kan?"
Mereka tertawa. Alvaro kembali memanggil namaku setelah itu. "Nay, masih disana?"
"Masih, Al. Mau kemana, Al?"
"Mendaki, Nay."
"Mendaki lagi? Kemana? Arjuna?"
"Bukan, Nay, Semeru."
"Semeru?"
"Iya."
"Sekarang perjalanan kesana?"
"Iya, sewa mobil ke Lumajang. Nanti ke Taman Nasional Bromo Tengger Semeru-nya pakai mobil lain."
"Udah izin Umi?"
"Udah. Makannya sekarang bilang ke Naya biar nggak nyariin."
"Berapa hari?"
"Tiga sampai empat hari, nggak lama."
"Ditinggal lagi."
Alvaro terkekeh. "Kan, sebentar."
"Ya udah, tapi janji kalau udah turun kabarin Naya lagi."
"Pasti."
"Siapa aja yang ikut?"
"Revan juga ikut, ada Kayla juga. Tapi Kayla nggak akan ikut mendaki, dia cuma ikut sampai Lumajang aja. Mau ketemu Neneknya, padahal aku tau Nay dia itu cuma pengen berduaan aja sama Revan."
"BOHONG, NAY. ORANG GUE EMANG MAU KETEMU NENEK GUE KOK."
Aku tertawa mendengar teriakan Kayla. Mereka adalah teman-temanku yang dipermainkan takdir untuk bertemu dengan Alvaro di satu fakultas yang sama. Revan dan Kayla sendiri adalah teman SMP-ku ketika di Bogor, Revan asli Bogor sedangkan Kayla darah campuran Indonesia-Belanda. Cantik sekali.
"Nay, aku— tup ya?"
"Hah?"
"A— tup."
Setelah itu, dia menutup teleponnya. Aku cukup pahan, signal disana mulai tidak stabil. Aku menyimpan ponselku ke dalam tas, beralih pada paket yang ia berikan. Sebuah kotak berisi banyak sekali busa, aku mengeluarkan busa-busa itu lalu menemukan sebuah kotak tidak teralu besar.
Bola kristal musik.
Di dalam sebuah bulatan kaca itu terdapat sepasang pengantin berhadapan. Aku menekan tombol merah, lalu lampu di sekitar bulatan itu menyala, sedangkan di dalan kaca itu butiran-butiran busa kecil mulai mengapung, bak hujan salju. Musik mengalun indah, sepasang pengantin itu berputar pelan. Cantik. Sangat cantik.
Beralih pada surat yang ia berikan.
"Untuk Kanaya, anak kecilku."
"Gadis kecilku, sedang apa ketika membaca kalimat ini? Duduk kah? Atau mengantre tiket kereta untuk menyusulku? berjalan di koridor kelas? Atau hanya duduk diam merindukanku?
Naya, ini yang Naya cari, kan?
Bola kristal musik. Suka nggak?
Aku juga mau, Nay, kalau jadi lelaki yang ada di dalam bola kristal itu, asalkan kamu wanitanya. aku nggak tahu, Nay, buat jelasin kalau aku sayang kamu itu harus dengan kata apa. Karena "sangat" aja nggak cukup.
Jaga diri baik-baik, ya, Nay. Lebih hati-hati kalau lagi sendiri. Aku kalau khawatir nggak pernah main-main.
See you, Nay.
I love you."
***
Dua hari berlalu terasa sangat lama. Aku sedang di dapur bersama Bi Iyem, menyeduh segelas teh hangat di pagi hari. Di balik jendela, gerimis mulai turun, semakin memaksa untuk duduk bersantai dengan meminum secangkir teh manis hangat. Baru hendak beranjak dari dapur, ponselku berbunyi. Dengan terburu-buru aku melihat nama Kayla terpampang di sana.
"Halo, Kay."
Kayla tidak langsung menjawab, dihabiskannya beberapa detik untuk diam. "Nay, Revan baru aja telepon gue."
"Revan udah kabarin lo? Kok Alvaro belum telepon gue, sih."
"Itu—" Kayla seperti terisak disana, membuatku khawatir.
"Apa, Kay? Kenapa?"
"Alvaro, Nay."
Mendengar nama itu terucap, lidahku kelu. Tubuhku seperti dihantam batuan besar, genggaman jemariku pada cangkir mulai mengerat. Dengan sisa-sisa tenaga, aku kembali bertanya, "Alvaro kenapa?"
"Alvaro nggak kembali, Nay—"
Hancur sudah, gelas yang aku pegang kini mengahantam lantai membuat Bi Iyem terkejut.
"Ada apa, Naya?"
Aku berlari menuju kamar, air mataku luruh begitu saja. Berkali-kali aku tersandung lalu bangun lagi, menuju lemari pakaian. Mengambil beberapa potong baju dengan asal, kemudian memasukkannya ke dalam koper kecil. Hanya dengan menambah jaket dan kupluk, aku kembali terburu-buru keluar. Bi Iyem menahanku, "Naya, mau kemana?"
"Lumajang. Bibi bilangin sama Ayah sama Ibu, Naya harus kesana sekarang."
"Tapi Nay, Bapak sama Ibu pasti nggak akan ngizinin."
"BILANGIN AJA, BI!"
Maaf Bi Iyem, maaf. Aku sedang kalut saat itu, tanpa mendengar lagi aku berlari keluar lalu masuk ke dalam taksi yang sudah aku pesan. Perjalanan ini terasa sangat tidak menyenangkan, aku bahkan marah pada siapapun yang menghalangi jalanku. Selama dalam perjalanan, aku memesan tiket mendadak lalu menghubungi pihak maskapai untuk melakukan pembayaran. Bandara tidak terlalu padat pagi itu, beberapa orang berjalan santai, hanya aku yang berlari untuk mengambil tiket pesananku. Meski begitu, aku masih harus menunggu beberapa jam lagi.
Di kursi tunggu, aku sibuk melafalkan banyak doa. Memohon paling dalam pada Tuhan agar menyelamatkannya apapun yang terjadi padanya. Dua jam berlalu begitu saja, aku masuk paling pertama ke dalam pesawat.
Perjalanan yang seharusnya terasa singkat itu, terasa lama sekali. Pesawat seperti terbang sangat lambat, bahkan lebih lambat dari awan. Ini adalah pertama kali aku melakukan perjalanan sendirian, bahkan rasa takutpun hilang begitu saja kalah oleh perasaan ingin lekas sampai. Aku membalik ponselku, menatap foto aku dan Alvaro disana. Aku yakin Tuhan tidak akan tega mengambilnya dariku, aku juga yakin bahwa akan ada foto-foto lain setelah foto kami terakhir kali.
Bandara lagi. Usai pemeriksaan, aku kembali berlari menuju tempat yang Kayla sebutkan.
"Kanaya," panggil seseorang tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku menghampirinya, masuk ke dalam mobil.
"Kay, Alvaro nggak apa-apa kan?"
"Mereka masih berusaha, Nay. Kita doain aja Alvaro segera bisa di selamatkan."
"Jatuhnya di atas?"
"Nggak terlalu jauh dari posko awal, tapi katanya jalurnya agak sulit karena banyak pohon-pohon berakar panjang terus jalurnya kecil, jadi makan waktu."
"Kak Ale ada disana? Kakaknya Alvaro?"
"Ada, dia juga baru datang langsung gabung sama tim kepolisian lainnya."
"Umi?"
"Umi di perjalanan."
"Nggak bareng sama Kak Ale?"
"Nggak, Kak Ale naik helikopter."
Aku mengangguk paham. Gelisah beberapa kali menatap keluar jendela, terkadang juga menangisi berbagai spekulasi yang hinggap di otakku. Ketakutan luar biasa mengiringi perjalanan hingga kami sampai di Lumajang.
Suara telepon genggam milik Kayla membuatnya membuka tas kecil yang ia bawa, dengan buru-buru ia mengangkatnya.
"Gimana?"
"Oke gue langsung ke arah sana."
Dia menutup panggilan, menyebutkan nama rumah sakit pada supir taksi tersebut.
"Key—"
"Alvaro ditemukan. Dia masih sadar tapi detak jantungnya nggak teratur, dia terlalu banyak kehilangan darah."
Lemas sudah, air mataku kembali mengalir.
"Sekarang dia di dimana?"
"Menuju rumah sakit."