Chereads / Keping Kenangan / Chapter 5 - Lima - Pesta Duka

Chapter 5 - Lima - Pesta Duka

"Gue gak bisa curhat, tapi gue pengen lo tau," ucapnya sembari menyerahkan kotak itu padaku. Tentu saja aku menerimanya, menilai fisik kotak itu. Berdebu, cukup berat, di atas kotak itu tercetak logo brand ternama. Setahuku, jam tangan. Aku membukanya, satu jam tangan masih dibungkus plastik, warna coklat tua. "Masih baru?"

"Mana sanggup gue pakai. Repot. Nanti bisa-bisa cuma pengen liat jam harus tersiksa sama rasa kangen." dia tertawa setelah mengatakan itu. Dia rasa, perasaannya terlalu dalam.

Aku menyimpan jam tangan itu di atas meja, mengambil sebuah kertas kuning kusam yang dilipat rapih dan muncul beberapa noda di kertas itu. "Boleh?" tanyaku sebelum membukanya. Davino mengangguk. Aku membuka kertas itu dan menemukan tulisan tangan teramat cantik, sejenak terpaku pada kerapihan itu sebelum akhirnya melanjutkan tukuan utama. Membacanya.

Jam Tangan

Untuk kamu, supaya ingat kalau waktu terus berjalan. Hidup harus berlanjut, meski nggak akan ada lagi aku yang nemenin kamu tenis, nemenin kamu makan nasi goreng, dan bersedia di peluk kamu ketika kamu rapuh. Meski nggak akan ada lagi Davino yang akan nemenin aku belanja make up, bersedia aku dandanin, dan selalu bisa jadi tempat ternyaman untuk bersandar. Waktu terus berjalan, Dav. Baik aku ataupun kamu, kita harus terus berjalan.

Dav,

Aku pasti berdoa, semoga Praha nggak jadi tempatku selamanya. Nggak ada siapa-siapa lagi di Indonesia terkecuali kamu, Dav. Aku kehilangan Mama dan harus kehilangan kamu juga. Gak ada yang paling sakit diantara kita, justru rasa sakit itu ada di diri kita masing-masing.

Kamu selalu bilang, "Aku seneng ada kamu." dan sekarang aku paham apa yang harus aku katakan. Sebanyak apapun pesan, apa yang kita perjuangkan tetaplah akan menjadi upacara mengikhlaskan. Davino, aku sayang kamu tapi Praha adalah tempatku satu-satunya. Tempat seharusnya aku menjalani hidup. Jadi, lanjutkan hidupmu, Dav. Cari bahagia kamu yang baru, yang bisa lebih dibanding aku.

Terima kasih untuk tahun-tahunnya.

Aku sayang kamu.

Kita putus, Dav.

—Lizy

Benar, Ayah. Benar. Kehilangan milik semua manusia. Kalimat itu terlintas begitu saja, mataku menerawang menikmati lorong-lorong sesak di selembar kertas lusuh ini. Aku menoleh, menatap Davino. Dia tersenyum getir, mendesah pelan kemudian menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Aku kembali menatap jam tangan, mengambilnya lalu memasukkan kembali pada kotaknya bersama dengan surat itu.

"Gak usah sedih gitu, Nay. Itu cuma cerita lalu. Siapa tahu, kan, orangnya udah bahagia entah sama siapa."

"Gimana kalau dia ada di posisi lo sekarang?"

"Maksud lo?"

"Iya, kan. Lo masih belum bisa pakai jam tangan dari dia, karena apa? Jawabannya jelas. Karena lo ada di ruang yang sama sama gue, Dav. Lo belum benar-benar ikhlas."

"Memang manusia mana yang bisa melupa dengan sepenuhnya? Setidaknya gue udah gak lagi terpuruk, kan? Gue juga berpikir realistis, Nay. Yang bukan milik lo, sekuat apapun lo perjuangin, nggak akan pernah sampai di genggaman lo."

Aku tak sedikitpun menyanggah, karena kurasa dia benar. "Lalu gimana akhirnya lo sampai di tahap ini?

"Gunakan logika lo, Nay. Sekuat apapun lo nangis, seseorang yang ditakdirkan untuk di ikhlaskan nggak akan pernah kembali lagi sekalipun karena Iba."

"Gue gak bisa."

"Lo hanya belum mau berdamai sama apa yang lo anggap jadi penyebab lo kehilangan dia. Betul, kan?"

Betul, bahkan sangat betul. Aku lari dari semuanya, bahkan apa yang sejak dulu jadi teman baik. Aku bahkan tidak ingin tinggal di rumah lama yang sekarang di tempati Kakakku, karena rumah itu adalah saksi sejarah aku dan Alvaro. Aku tak lagi ingin berkabar dengan orang-orang yang mengetahui perihal aku dan Alvaro. Nomor ponsel, sosial media, bahkan alamat rumah yang baru aku rahasiakan. Umi, entah apa kabar di sana. Aku kira semua akan membantuku melupakan kejadian itu, tetapi ternyata tidak berpengaruh sama sekali. Luka tahun lalu bahkan masih terasa hangat hingga sekarang.

"Gue bermaksud menghindar dari apapun yang menyangkut dia."

"Cara bodoh. Justru seharusnya lo terbiasa sama hal itu, sampai akhirnya lo tahu rasanya benar-benar ikhlas."

"Gue nggak bisa, Dav."

"Lo cuma perlu kemauan."

Aku diam, mengusap air mataku yang jatuh entah sejak kapan. Aku mendongak menatap hujan yang reda malam itu, kalimatnya berhasil membuat sebuah jawaban yang sejak dulu aku cari. Mungkinkah Tuhan sedang membantuku melalui lelaki di sampingku ini?

"Gue akan bantu lo. Sekarang, lo jelasin apa aja yang menurut lo jadi penyebab lo kehilangan dia?"

"Nggak."

"Nay—"

"Ini mengupas luka, Dav. Lo nggak tahu seberapa sakitnya dan seberapa gue benci hal-hal itu."

"Kadang, untuk sembuh, seseorang perlu di oprasi."

Dan...

Malam itu semua diurai. Seperti pesta ulang tahun, dimana aku harus menusuk balon yamg ternyata balon itu berisi potongan-potongan kaca lalu jatuh mengguyur tubuhku. Sekali lagi, setelah satu tahun lamanya. Aku benar-benar merasa sangat terluka dan marah. Meski sekarang, ada seseorang memelukku selain Ayah. Davino ada, sebagai seseorang yang aku percaya.

Sepanjang cerita, air mataku tak kunjung reda. Wajahnya begitu kuingat, terakhir kali bertemu dengannya juga terakhir kali memeluknya sebelum kemudian dia pergi dan melepas semua janji-janji yang dahulu terucap sepenuh hati. Mungkinkah semesta akan membawanya kembali dengan aku yang seperti ini? Dengan aku menangis, dengan aku hancur, dengan aku benci masalalu itu, apakah sanggup untuk membawanya kembali? Lalu kapan? Semesta ingin aku seperti ini hingga kapan?

Setiap kali mengucap namanya, derai duka itu hadir bak pesta. Seperti ada yang berbondong-bondong melempari dengan pecahan kaca, namun rasanya masih di tempat yang sama. Tempat yang ia tinggalkan, tempat yang tak lagi bertuan. Hatiku.

***Bersambung***