Siang hari rumah terasa senyap. Aku menuruni anak tangga, berniat makan. Suara gemericik air dari dapur membuatku melangkah ke sana. Bi Iyem sedang mencuci piring, meja makan sudah bersih. Aku menuju lemari makan.
"Pada kemana, Bi?"
"Eh, Non Nay."
"Kok Non lagi, sih, Bi."
"Gak enak, Non. Masa saya panggil nama aja."
"Bi, kita udah bahas ini. Bibi juga setuju, kan?"
"Iya deh, Bibi panggil nama aja. Khusus di depan Naya. Kalau di depan Bapak sama Ibu tetep Non, ya?"
"Iya terserah Bibi, deh."
Bi Iyem membalikkan badannya setelah tangan yang penuh busa itu dibilas bersih. Ia menuju rak piring, membawakanku satu piring dan sendoknya. Aku menerimanya. "Makasih, Bi."
"Gitu aja kok makasih."
Aku terkekeh pelan. Sebelum menyendok nasi, aku kembali menoleh ke arah Bi Iyem yang kini sedang mengelap piring-piring itu. "Bi," panggilku.
"Iya, Nay?"
"Bibi kerja di sini dari dulu, kan?"
"Iya, dari Den Aryo masih SMA. Kenapa?"
Aku menyimpan piring yang masih kosong itu di atas lemari makan, aku memutuskan untuk duduk di kursi dapur. Di tengah ruangan, hanya ada dua kursi dan satu meja kecil berbentuk lingkaran. Ayah bilang, kursi ini untuk Bibi agar ketika menunggu air mendidih tidak perlu terlalu lama berdiri mengingat usia Bi Iyem sudah semakin tua.
"Naya mau tanya, Bi."
"Boleh, tanya apa?"
"Sini, sambil duduk."
"Iya, ini dua piring lagi."
Aku menunggu Bi iyem menyelesaikan pekerjaannya. Sebenarnya, aku ingin berbicara tentang hal ini sejak lama, namun rumah selalu ramai ketika Bi Iyem ada. Keluarga kami sagat dekat dengan Bi Iyem, biasanya Ibu akan memanggil Bi Iyem ketika merasa pekerjaan rumah sangat banyak. Tidak setiap hari, biasanya paling cepat dua hari sekali. Oleh sebab itu, Bi Iyem merasa pekerjaan ini tidak terlalu berat karena tidak setiap hari ia bekerja di rumah kami. Bi Iyem adalah seorang janda tanpa anak, suaminya meninggal dua tahun lalu. Ia beberapa kali diminta untuk tinggal bersama kami disini saja, namun ia menolak karena merasa bahwa rumah peninggalan suaminya itu harus ia tempati hingga akhir hayatnya. Luar biasa. Ibu dan Ayah memperlakukan Bi Iyem sangat baik. Ketika Bi Iyem sakit pun, Ayah dan Ibu yang akan membawanya ke rumah sakit dan membiayai semua administrasi yang diperlukan. Dahulu, ketika aku masuk SMP, ketika aku tahu aku bukan anak kandung mereka, aku sempat tinggal di rumah milik Bi Iyem. Tidak ingin pulang. Setelah itu Ibu dan Ayah datang membujukku pulang.
"Udah, Naya. Mau tanya apa?" tanya Bi Iyem seraya melepas celemeknya.
"Udah beberapa bulan ini, Naya rasa Ibu nggak suka sama Naya, Bi. Kenapa, ya?"
Bi Iyem diam sejenak, aku yakin ia bingung untuk bercerita. Di satu sisi ia pasti tak ingin aku bersedih lagi. Aku memegang lengannya yang sudah banyak gurat keriput. "Bi, Naya udah terima semuanya. Naya cuma ingin tahu, mungkin Ibu begitu karena Naya ngelakuin kesalahan."
"Nggak, Naya. Naya nggak salah."
"Lalu?"
Bi Iyem mengambil cangkir, meneguk segelas air mineral sebelum akhirnya kembali duduk di hadapanku.
"Dulu, ketika bayi di dalam kandungan Ibu dinyatakan meninggal karena ari-arinya melilit, Ibu sangat histeris. Setelah melahirkan juga, Ibu tidak mau makan sampai beberapa hari. Semua orang di rumah khawatir sekali takutnya Ibu jatuh sakit."
"Lalu?" tanyaku ketika Bibi berhenti bicara cukup lama.
"Bapak waktu itu akhirnya ambil keputusan buat adopsi anak perempuan."
"Kenapa perempuan?"
"Karena bayi yang meninggal itu perempuan dan Ibu juga ingin sekali punya anak perempuan. Bapak, Ibu, dan Bibi akhirnya ke panti asuhan, lalu kita di ajak ke kamar bayi di panti asuhan itu. Naya lucu sekali ketika itu, cantik juga seperti sekarang. Ibu langsung mendekat, anehnya waktu itu Naya tersenyum ketika Ibu gendong Naya."
Aku membiarkan air mataku jatuh, mataku terus menatap Bi Iyem yang sedang mengusap air mata. "Setelah beberapa hari tidak bisa tersenyum, kali itu Ibu akhirnya tersenyum."
"Siapa orang tua kandung Naya?"
"Mereka merahasiakan namanya, mereka cuma menjelaskan kalau Naya itu korban yang selamat dari kecelakaan maut di jalan tol. Katanya, Naya dipeluk erat Ibu kandung Naya. Sayangnya, hanya Bayi itu yang selamat dan Ibunya meninggal di tempat. Polisi udah cari identitas orang tua Naya tetapi mereka nggak punya keluarga lainnya. Jadi, mereka memutuskan untuk menyerahkan Naya ke panti asuhan."
Aku baru tahu, aku baru berani mendengar cerita ini sekarang. Sebagai satu langkah untuk mulai berdama dengan semua hal yang membuatku merasa kesakitan.
"Ibu dan Bapak sepakat buat adopsi Naya. Bibi ikut senang sekali saat itu, melihat Ibu kembali normal. Rumah jadi selalu ramai ketika Naya tumbuh menjadi anak yang ceria. Naya paling suka kalau tidur di peluk Ibu."
Mungkin, hal itu karena terakhir kali aku bertemu Ibu kandungku ketika Ibu memelukku. Tuhan, ini amat menyakitkan.
"Sampai suatu hari, Naya tahu bahwa Naya anak angkat. Saat itu, Naya juga pasti ingat betapa sedihnya Ibu ketika Naya nggak mau pulang dan pengen terus tinggal di rumah Bibi."
"Iya, Naya, ingat. Sampai akhirnya Naya ikut pulang karena Naya merasa Ibu sudah menyayangi Naya dengan sepenuh hati. Tapi setelah hari-hari itu Ibu sedikit berubah. Ibu memang masih seperti biasa, tapi terkadang Ibu cuek. Naya rasa Ibu cuma lagi kelelahan."
Bi Iyem mengangguk, ia mengusap air matanya lagi. "Iya, Ibu ingat anak kandungnya lagi yang meninggal. Tetapi, awal mula dari apa yang Naya tanyakan, jawabannya di mulai dari ketika Naya kehilangan Den Alvaro."
"Maksud Bibi?"
"Kesedihan Naya bisa di rasakan Ibu karena Ibu juga pernah kehilangan seseorang yang paling ia sayang dalam hidupnya. Dia ingat lagi sama anak kandungnya. Ibu pernah cerita sama Bibi, Ibu bilang, setiap melihat Naya sedih ia jadi ingat kesedihannya yang lalu. Luka itu masih membekas untuk Ibu."
Dugaanku salah. Ibu dingin seperti sekarang bukan sejak Kakakku menikah, melainkan sejak aku kehilangan Alvaro. Lagi. Kepergian Alvaro masuk sebagai bagian dari luka hidupku yang lainnya.
"Puncaknya, beberapa bulan lalu. Ketika USG pertama Non Evira. Tiba-tiba sepulang dari mengantar Non Evira ke bidan, Ibu mengurung diri di kamar. Bapak yang saat itu mencoba masuk dan bertanya ada apa, tetapi tdak berhasil. Akhirnya Bapak jemput Bibi di rumah, nyuruh Bibi yang menanyakan apa yang terjadi sama Ibu."
"Lalu? Apa kata Ibu?"
"Ibu menangis ketika Bibi datang. Ibu memeluk Bibi erat sekali."
Kala itu...
"Ada apa, Bu?"
"Anaknya perempuan, Bi."
"Lalu kenapa? Syukur lah. Nanti dia bakal jadi cucu Ibu yang cantik seperti Non Kanaya."
"Anakku meninggal, Bi. Dia sendirian di sana."
"Bu—"
"Naya bukan dia, Bi. Naya bukan anak kandungku, anakku meninggal, Bi."
"Naya itu anak Ibu."
"Aku pengen kaya dulu lagi. Aku pengen bisa menerima Naya seperti dulu lagi. Tapi sulit, Bi, Naya mengerti pedihnya kehilangan. Dia juga kehilangan. Mana mungkin aku sebagai Ibunya bisa menguatkan dia kalau aku saja masih sulit menguatkan diriku sendiri."
"Ibu sudah menjadi Ibu yang hebat."
"Aku nggak bisa, Bi."
"Bisa."
Aku terisak, kali ini aku benar-benar kehilangan tenaga untuk menahan semua rasa sakit di dalam diriku. Bibi menghampiriku lalu memeluk tubuhku, mencoba menenangkan. Selama ini, bukan hanya aku yang terluka, ternyata Ibu juga menahan rasa sakit. Jadi ini alasan Ayah selalu mengingatkan untuk jangan membenci Ibu.
***Bersambung***