Tiga Tahun Lalu
Sepertinya semua tidak akan habis kuceritakan dalam satu bab, bahkan satu buku. Tentangnya terlalu luas untuk aku gambarkan. Dari pagi jelang pagi lagi, merindunya seperti penyakit yang tak lelah menggerogoti. Meski sebenarnya, perasaan ini terlalu menyakitkan untuk kutulis kembali, tapi aku harus melakukannya. Buku ini harus selesai bersamanya yang menjadi bagian besar didalamnya.
Aku mengenangmu sebagai luka. Meski kamu hilang tanpa kata, aku syukuri kamu pernah ada. Dan untuk bagian ini, aku khususkan untukmu. Tentang kita. Aku, kamu, bolu kukus, toko buku, dan bunga baby's breath. Al, sungguh demi Tuhan aku merindukanmu dengan sangat.
***
Toko buku sore itu dipadati anak-anak sekolah sebayaku dan beberapa anak SMP. Mereka bergerombol memilih buku tulis terbaik untuk tahun ajaran baru. Aku sesekali melirik mereka yang berdebat perihal sampul buku tulis. Kiranya hanya aku yang tidak peduli tentang itu. Warna cerah atau pun warna gelap bagiku sama saja, yang membedakan justru apa yang ditulis disana.
Aku berjalan sedikit demi sedikit seraya membaca beragam judul buku fiksi. Karena merasa tak ada yang menarik perhatianku melalui sampulnya, aku beralih pada rak buku puisi.
"Suka puisi?"
Suara itu. Aku menoleh, menemukan seorang lelaki yang sudah berada di sampingku bersama sebuah buku karangan penulis puisi terkenal.
"Saya bisa bikin puisi. Kamu mau? Gratis, kapanpun. Gak perlu repot-repot ke toko buku."
Aku diam menatapnya heran. Apakah dia sedang menawarkan secangkir teh manis dengan sedikit gula? Semudah itukah dia berbicara padaku seolah aku dan dia adalah teman lama. Padahal, mengobrol dengannya saja baru ketiga kali ini.
"Kamu ini, Nay. Kaya sama orang lain aja. Kalau kamu sudah bilang aku dan kamu itu 'kita' maka artinya aku bukan orang asing dan kamu pun bukan orang lain."
"Sebenarnya kamu ini mau apa, Al? Berteman bukan begini aturannya."
"Memang tidak mau berteman."
"Terus?"
"Aku jawab kalau penasaranmu udah sebesar ujung kuku."
"Ujung kuku?"
"Iya. Tidak habis-habis. Biarin aja penasaran terus."
Aku mendengus, berbalik menatap buku-buku lagi. Dia juga ikut di sana, di sampingku. Memilih buku juga.
"Alvaro," tegurku.
"Apa, Kanaya?"
"Ngapain disini?"
"Memang kenapa? Inikan tempat umum."
Aku berjalan meninggalkannya. Lebih tepatnya menuruni tangga untuk keluar dari toko buku ini. Seketika, nafsu membeli bukuku menguap begitu saja.
"Kanaya, Umiku nanya perihal kamu."
Aku berhenti di ujung tangga, menoleh padanya. "Aku?"
"Iya. Umi minta ketemu. Mau, kan?"
"Hah?"
"Nggak apa-apa. Mau?"
"Nggak."
"Umi di rumah sakit. Demamnya parah."
Aku terdiam, mencoba mempertimbangkan. Tentu saja ini bukan hal mudah. Dia bukan siapa-siapa jika kau lupa! Mata teduhnya menatapku, tersenyum seolah ingin membuatku percaya sesuatu. Tiba-tiba ingatan tentang beberapa waktu lalu di koridor yang katanya angker itu melintas di kepalaku. Dia menolongku, bukankah tidak salah jika sekali saja aku membalas budi padanya? Terlebih, Ibunya sedang sakit.
"Sebentar aja."
Dia tersenyum. "Oke. Aku bayar buku ini dulu."
Sore itu, bersama jingganya mentari dan kepadatan jalanan, aku di sampingnya untuk pertama kali dihidupku. Duduk di dalam mobil klasik yang di desain mewah. Aku yakin, orang yang melihat dari luar tidak akan percaya bahwa di dalamnya senyaman ini. Bernuansa coklat muda dan coklat tua, adapun bagian-bagian keras seperti dashboard dan pintu di desain bercorak kayu.
"Kanaya," panggilnya.
"Hm?"
"Ulang tahunmu kapan?"
"Buat apa aku kasih tau?"
"Supaya aku gak salah kalau ngucapin selamat ulang tahun."
"Rahasia."
"Kalau gitu, setiap hari aku mau ngucapin selamat ulang tahun sampai di suatu hari tepat di ulang tahunmu."
Aku menoleh. "Al, gak usah!"
"Makannya kasih tau."
"Kamu udah banyak tanya, kenapa masih nanya terus?"
"Habisnya kamu gak tanya."
"Oke aku yang tanya."
"Boleh. Kanaya mau tanya apa?"
"Gimana Umimu bisa tau tentang aku?"
"Aku cerita."
"Cerita apa?"
"Banyak. Namamu, ciri-ciri fisikmu, sikapmu, semuanya. Semua yang pengen aku ceritain."
"Kenapa? Kenapa aku?"
"Nggak ada jawaban untuk pertanyaanmu, Nay."
"Gak bisa gitu. Pasti ada."
"Iya, ada. Aku yang nggak bisa mendefinisikan."
Percakapan terhenti bersama berhentinya mobil di depan sebuah rumah sakit cukup besar. Aku mengekor Alvaro ke dalam rumah sakit. Dia menekan tombol nomor delapan. Kemudian setelah beberapa detik, pintu lift terbuka, aku masih mengekor Alvaro seraya melihat-lihat ruangan sekeliling yang di disain secara cantik dan bersih. Ternyata lantai delapan adalah VIP room. Pantas saja. Langkahku dengan ragu ikut Alvaro ke dalam sebuah ruangan. Seorang ibu masih terlihat muda di usianya kini terbaring lemah, tersenyum menatap Alvaro yang menyalimi punggung tangannya diikuti aku.
"Cantik sekali, Al. Siapa?"
"Umi masa gak ingat."
Perempuan yang terbaring lemah di atas ranjang itu menyipitkan mata, memperhatikanku. "Ah, Kanaya. Betulkah, Nak?" tanyanya padaku.
Aku tersenyum kaku mengangguk. "Iya, Mm... Tan... Te"
"Umi, saja."
"Ah iya, Um... i"
"Duduk, Nak."
Alvaro mendekatkan kursi untukku.
"Hei, gak boleh nguping. Sana belikan Kanaya minuman."
"Eh, nggak usah, Umi."
"Tidak apa-apa, biar dia gak dengar pembicaraan kita."
Aku tersenyum kecil, Alvaro juga.
"Sebentar, ya. Temani Umi dulu. Nggak keberatan, kan?"
"Iya, Alvaro."
"Kanaya kalau di depan Umi, manis banget. Kalau gak ada Umi, pasti galak."
Aku menatapnya kesal, sedangkan Umi terkekeh. Tak lama, ia pergi menyisakan aku sendirian. Entah mengapa rasanya nyaman di sini, seperti sudah sangat akrab dengan suasana ini.
"Maaf, Umi. Naya nggak bawa apa-apa."
"Justru Umi bersyukur kamu tidak bawa apa-apa. Liat di meja itu, buah-buahan udah seperti mau ada acara pernikahan."
Aku ikut menoleh ke sebuah meja yang berada tak jauh dari tempatku duduk. Memang benar apa yang Umi katakan, tumpukan bunga dan puluhan parsel buah berjajar disana.
"Banyak, Umi."
"Iya, kan? Umi sampai bilang sama Alvaro, suruh kasih ke kamu, eh dia malah kesel katanya 'Masa mau nembak pakai parsel buah' gitu katanya," jelas Umi kemudian terkekeh. Aku sendiri terkejut dengan ucapannya, apakah Alvaro memang berniat menjalin hubungan denganku? Secepat itu perkenalan?
Ketika masih mengolah kalimat Umi di kepalaku, pintu rungan berdecit membuatku menoleh. Alvaro datang dengan dua gelas plastik dengan cap produk terkenal.
"Diminum, Nay. Aku gak tau kamu suka apa, jadi aku pilihkan rasa yang umum disukai. Coklat."
"Makasih."
"Umi, badannya gimana?"
"Al, bilang lah sama abangmu itu. Umi udah baik-baik aja, gak usah dirawat lagi."
"Beneran?"
"Iya, Alvaro. Umi udah bisa lari."
Alvaro tersenyum hangat. "Umi, kalau capek itu istirahat. Jangan maksain, bunga-bunga itu juga gak keurus kalau Umi sakit."
"Makannya kamu ini harus mau Umi suruh siram bunga."
"Kan ada Bibi."
"Kerjaannya udah banyak. Kasian dia."
Alvaro mendesah pelan. "Ya udah, nanti Alvaro yang siram bunganya."
"Kanaya, main ke rumah, ya? Umi punya banyak bunga untuk kamu."
"Bunga?"
"Iya. Kamu suka, Nak?"
"Suka, Umi."
"Main, ya?"
"Mm—"
"Iya, Umi," sambar Alvaro.
"Heh, Umi gak bicara sama kamu, Al."
"Abisnya Naya lama. Iya, gitu, Nay."
"Biarlah dia jawab. Kenapa kamu ini maksa-maksa."
"Umi tau jawabannya."
"Kalau suka, jangan diisengin. Biar dia gak takut sama kamu."
"Loh, emang kapan Alvaro isengin Kanaya?" sanggah Alvaro kemudian menatapku. "Nay, kamu takut sama aku?"
Aku tersenyum menanggapinya. "Awalnya iya, tapi sekarang nggak kok."
"Jadi, mau, ya?" tanya Umi.
"Mau, Umi."
"Al, berhenti kumpulan komunitas pendaki dulu. Naya harus sering kamu bawa ke rumah."
"Iya, Umi."
Kurasa semesta hebat dilihat dari sana. Indah sekali. Aku tidak menemukan celah bahwa kemudian hari ada yang membawanya pergi. Hari semakin gelap, aku dan Alvaro bergegas keluar. Alvaro mengantarku pulang hingga sampai di depan pintu rumah. Pelataran yang saat itu masih lekat sisa bahagia yang tiba-tiba memudar seperti hilangnya pelangi diantara awan. Seolah semua sedang tertutup kabut hitam tebal. Satu demi satu tetesnya membasahi taman kecil di depan pelataran rumah, hingga sampai membentuk aliran di pipi. Luka itu, bersemayam disana hingga tahun-tahun kemudian.
Ibu yang membuka pintu, tersenyum pada Alvaro begitupun dengan lelaki itu. Dia mencium punggung tangan Ibu, berbasa-basi sebentar lalu memutuskan pamit pulang karena gelap malam beranjak larut.
"Pulang dulu, Nay. Besok aku jemput," pamitnya kemudian tersenyum lalu meninggalkan aku.
"Hati-hati, Alvaro," ucap Ibu.
"Iya, Bu."
Seperginya mobil itu, aku menoleh pada Ibu.
"Pacarmu?" tanya Ibu yang membuatku terkejut luar biasa.
"Eh, bukan, Bu. Naya nggak punya pacar."
"Ibu kenal orang tuanya."
"Orang tua Alvaro?"
"Iya. Mereka keluarga baik."
"Oh, gitu."
Setelah mengatakan itu, Ibu kembali ke dalam rumah. Mungkin ia baru ingat bahwa itu percakapan pribadi pertama setelah sekian bulan lamanya. Aku tak mengerti apa yang membuat Ibu berubah mendingin. Apakah aku pernah nakal atau melakukan kesalahan yang tidak termaafkan? Jika iya, tidakkah bisa kukata maaf untuk mengembalikan semuanya? Semua yang terasa hangat di dalam rumah. Meski begitu, ingatanku selalu saja tertuju pada satu hal. Aku bukanlah bagian dari keluarga ini, wajar jika Ibu bersikap seolah bukan Ibuku. Aku hanya perlu bersyukur dibesarkan di tempat ini. Mengenal Ibu, mengenal Ayah, mengenal Abang. Aku bersyukur.
***
Mengenai pertemuan itu, adalah pertemuan yang mengawali pertemuan-pertemuan lainnya. Menutup segala rasa ragu di dalam hatiku. Menjelma tameng untuk diriku, menghalau segala luka yang kiranya akan menancap di tubuhku.
Mengenalmu, Al. Adalah bagian terbaik yang Tuhan titipkan. Aku sungguh tidak menyesal duduk di sebuah bengkel kecil itu, kemudian ikut denganmu, hingga menerima bolu kukus yang menjadi alasan untuk bertemu lagi. Seperti saat ini disampingmu, duduk bersandar menghirup udara yang terselip harum tubuhmu. Meski suara air mengalahkan kegembiraan anak-anak remaja yang beberapa kali berganti gaya untuk membuat sebuah lorong waktu. Foto-foto itu yang akan membuatnya bercerita, seolah kembali pada masa ini, mengenang kenangan yang hilang dimakan waktu.
"Al, kamu sering kesini?"
"Sesekali. Kenapa?"
"Air terjunnya cantik. Heran aja kamu bisa sampai di wisata tersembunyi seperti ini."
Alvaro tersenyum. "Aku bisa bawa kamu ke tempat yang lebih bagus."
Aku menoleh, menatap matanya yang menjadi dimensi paling indah. "Dimana?"
"Puncak gunung. Mau?"
"Aku takut ketinggian."
Alvaro terkekeh pelan membuatku menoleh. "Kenapa ngetawain?"
"Pantes aja kamu pendek."
"Eh? Gak gitu, Al!" geramku seraya mencubit lengannya. Ia semakin terkekeh.
Aku hanya tersenyum.
Riuh suara air membuat kami terdiam sejenak. Aku yang terkagum hanya mampu menatap air terjun itu, menjadikannya abadi dikepalaku dalam bentuk ingatan. Saksi bisu ketulusan itu ada di tempat ini. Aku menemukan perasaan aman disini, nyaman, lelahku hilang bersama aliran air itu. Aku menoleh, menatap seorang lelaki yang kini mengalihkan tatapannya ke atas. Ia menatap tebing-tebing tinggi. Tuhan, perasaan apa ini. Seperti ada yang perlahan tumbuh, padahal tak pernah sedikitpun aku pupuk.
"Nay, liat itu," ucapnya tiba-tiba, membuyarkan lamunanku. Aku ikut menatap jemarinya.
Di atas tebing menjulang itu, barisan burung-burung melintas indah. Mereka seperti memiliki komando bahkan ketika hinggap di salah satu pohon secara bersamaan. Tatapanku turun, bertabrakan dengan matanya yang menatapku.
"Mau bunga?" tanyanya seraya menyerahkan dua tangkai bunga kecil-kecil seperti dandelion, tapi bukan. Bunga ini berdaun dan tangkainya cukup keras.
"Bunga apa itu?"
"Baby's breath."
Aku menerima bunga itu. Cantik. Warnanya putih. "Kamu dapat dari mana?"
"Suka?"
"Suka."
"Kalo sama tempat ini? Suka?"
"Suka."
"Sama aku?"
"Su—" aku menatapnya. "Hah?"
Dia tertawa pelan. "Sini coba tangan kamu, Nay."
"Buat apa?"
"Aku bisa baca masa depan. Nanti aku kasih tau sesuatu."
Aku menatapnya curiga. Dia tersenyum mengambil tangan kiriku dan mengusap telapak tanganku. "Merem coba."
"Nggak mau."
"Sebentar, Kanaya."
"Nggak, Alvaro."
Dia tersenyum. Lagi. Semakin hari aku semakin ingin bertanya. Sebenarnya siapa makhluk yang sekarang menggenggam lenganku. Apakah dia ini ternyata malaikat yang sedang menjelma sebagai manusia. Apakah dia sama sekali tidak lelah untuk tersenyum?
"Anak nakal."
"Heh!"
"Susah banget disuruh merem."
"Biarin."
"Ya udah, aku aja yang merem."
"Loh, nanti siapa yang ramal?"
"Aku sendiri lah."
"Gimana sih, Al," ucapku seraya terkekeh.
Lelaki itu tidak mengingkari janjinya. Ia memejamkan mata, mengusap telapak tanganku lalu kembali membuka mata. Aku mengangkat alis, meminta kebenaran soal ucapannya beberapa menit lalu tentang ia bisa membaca masa depan.
"Susah."
"Bilang aja gak bisa."
"Tapi ada fakta yang harus kamu tau."
"Apa?"
Alvaro menyuruhku mendekat. Katanya, "Ini rahasia." dengan begitu sederhana. Aku menuruti inginnya. Mendekat hingga aroma tubuhnya kuat melekat pada indra penciuman lalu terkenang hingga hari dimana ia tak lagi ada di sisi, wangi itu tetap satu-satunya wangi yang paling aku sukai di dunia ini.
Dia mendekatkan wajahnya ke samping wajahku. Di tengah keramaian dan suara deras air bersaut-sautan, dia mengucapkan sebuah kalimat yang merubah semuanya. Termasuk, semestaku.
"Aku sayang kamu, Kanaya. Sangat."
***
Setelah semua itu, semestaku berubah. Tidak sepi, tidak sunyi, tidak juga menyedihkan untuk menangis di tengah kerumunan teman-teman. Alvaro tidak selalu di sampingku, memang. Tapi dia tidak pernah melepaskanku dari pengawasannya. Aku tidak tahu siapa-siapa yang menjadi orang andalannya untuk membuntutiku. Bahkan meski seharian penuh ia disibukkan dengan acara-acara sekolah dan pembelajaran di sekolah, Alvaro bisa tahu aku belum makan. Sampai suatu hari, di dalam toilet sekolah, aku baru saja selesai mengganti baju olahragaku dengan baju seragam. Belum sampai memutar knop pintu, sebuah obrolan masuk ke dalam telingaku.
"Iya emang baik banget."
"Tapi kok kalo cuma kasihan sama Kanaya, sampai bisa pacaran?"
"Iya biar Kanaya merasa real dong. Kamu tau kan pas kejadian di lorong itu deket kelasnya Alvaro. Kan tadi kamu sendiri yang bilang, Alvaro itu orangnya peduli banget, baik, dan ramah."
"Iya, sih. Ya udahlah, ya. Biarin aja. Kasihan sama anak pungut kan gak dosa."
Kemudian tawa itu semakin lama semakin samar, hilang dimakan jarak. Aku keluar, bersamaan dengan bulir air mata yang jatuh menghantam lantai. Saat itu, aku merasa ketakutan. Takut Alvaro pergi atau berubah menjadi tidak peduli. Duniaku seperti berbalik sekarang, aku kehilangan rasa aman dan tenang. Semua seperti menguap begitu saja.
Sampai selesai sekolah, di dalam mobil bersama Alvaro aku hanya diam menatap lurus jalanan. Tak sedikit pun menanggapi ucapan Alvaro perihal apa saja yang tadi membuatnya sibuk hingga tak sempat menemaniku makan siang di kantin.
"Kanaya," panggilnya seraya mengelus taganku. Aku menoleh, "Iya?"
"Aku udah manggil kamu empat kali, Nay."
"Maaf."
"Memang ada apa? Ada yang usil lagi?"
"Nggak."
"Lalu?"
Aku menatap Alvaro, membuat lelaki itu menepikan mobilnya. "Ada apa?"
Tatapan matanya yang menyiratkan ketulusan itu mampu membuat mataku menjawab semuanya. Semua perihal ketakutanku dengan cara menangis. Aku menunduk mencoba menghentikan air mataku. Gagal.
"Hei, kenapa? Coba bercerita, Nay. Aku nggak ngerti kalo Naya cuma diam."
"Tadi..."
Alvaro diam, ikut memberi jeda untukku. "Di toilet sekolah..."
Akhirnya aku menjelaskan semuanya meski secara perlahan. Hingga cerita itu selesai Alvaro tetap diam menyimak. Dia tak sedikit pun terkejut dengan itu, dia mendengarkan seolah kejadian itu tidak pernah berarti apa-apa. Bagaimana jika memang apa yang dikatakan mereka ternyata benar? Bagaimana jika Alvaro benar-benar pergi membuatku harus kembali menjadi Kanaya yang dulu. Kanaya yang bodoh dan hanya bisa menangis ketika ditindas. Kanaya yang tidak pernah mampu bercerita pada kedua orang tua angkatnya mengenai masalah yang ia hadapi di sekolah? Alvaro membuatku menjadi seseorang yang bergantung pada orang lain. Iya, aku bergantung pada Alvaro.
"Kanaya."
Aku menatapnya seraya menghapus jejak air mata.
"Degar Al sebentar, bisa?"
Aku mengangguk.
"Naya tau anak perempuan yang beberapa hari lalu bersihin kaca mobil ini ketika lampu merah?"
"Iya."
"Al bilang apa hari itu?"
"Kasihan. Tapi kamu iri sama dia yang begitu tegar buat tersenyum sangat tulus ketika di beri uang tidak seberapa."
"Dari situ, Naya bisa mengambil kesimpulan. Apa setelah itu Al macarin dia?"
Aku menggeleng. Tentu saja tidak.
"Naya harus bisa membedakan reaksi seseorang ketika dia kasihan dengan ketika dia sayang."
"Maaf, Alvaro. Naya cuma takut," lirihku.
"Mau peluk?"
Aku mengangguk. Ia membuka sabuk pengamannya lalu beralih pada sabuk pengamanku. Setelah itu ia merengkuh tubuhku, mendekapnya perlahan. "Jangan terlalu di dengar, Nay. Obrolan antar individu itu sulit dibatasi, karena itu bukan diskusi atau pun presentasi. Mereka bebas berbicara, kita juga bebas untuk tidak peduli."
"Seandainya ya, Al. Seandainya Naya sama kaya Alvaro. Mungkin Naya gak akan pernah dipermalukan sama temen sekolah, mungkin Naya gak akan merasa asing dirumah, mungkin Naya gak akan secengeng ini, mungkin semuanya jauh lebih baik. Kenapa Tuhan harus menakdirkan Naya lahir dari rahim orang lain, kenapa gak dari rahim Ibu. Kenapa Naya bukan anak mereka. Alvaro tau jawabannya?"
Jika kutarik kesimpulan dari semua yang aku alami sekarang, rasanya 'anak angkat' adalah benang merah dari semuanya. Aku terisak hebat di pelukannya, dia mengelus puncak kepalaku pelan, mencoba menenangkan semua yang membuatku kacau.
"Al, di dunia ini Naya gak punya siapapun selain keluarga yang berbaik hati mengurus Naya. Sampai akhirnya Naya nemuin satu orang lagi. Kamu, Al."
"Kamu punya diri kamu sendiri, Nay."
"Nggak, Al. Dunia gak baik untuk Naya. Naya gak mau kemana-mana selain di rumah, dan disamping kamu."
Alvaro semakin erat mendekap, aku juga merasakan ia mencium puncak kepalaku. "Jangan nangis lagi, Kanaya. Aku bakal berusaha kabulin apa pun yang kamu mau termasuk kalau kamu mau dunia ini lebih memihakmu."
***