Kembali pada pojok kamar hampa. Dengan diriku sendiri. Sisa-sisa kehancuran masih terasa melekat, luka itu belum juga mengering, ia masih membusuk menjelma nyeri luar biasa ketika ingatan memutar ulang memori kelam. Aku menghela nafas lelah, menutup laptop itu. Air mata mengalir tanpa sedikit pun kutahan. Biarlah, bukankah manusia berhak tidak baik-baik saja?
"Nay," panggil Ayah dari luar kamar.
"Iya, Ayah?"
"Ayah mau ke rumahnya Davino. Ikut, ya? Ayah tunggu di bawah. Cepet, ya?"
Belum sempat menjawab, langkah kaki Ayah sudah terdengar semakin jauh, seolah tak ingin aku menolak inginnya. Matahari semakin redup, aku bergegas mengganti baju. Jika sudah teringat lagi seperti ini, aku tidak bisa hanya duduk diam di dalam kamar, itu hanya akan semakin membuatku larut dalam kenangan. Setelah mempersiapkan diriku, memoles beberapa produk kecantikan untuk sekadar menutup sisa-sisa tangis di sekitar mata, aku turun. Ayah tersenyum, segera mengajakku ke dalam mobil.
Langit semakin gelap, meninggalkan sisa senja di penghujung cakrawala. Aku termangu pada tepi jalanan yang semakin terang, berlawanan dengan langit. Kedai-kedai mulai menghidupkan penerangan. Tak pernah bisa kuelakkan bahwa saat ini aku sedang merindu seseorang. Dengan begitu dalam, tanpa pernah bisa tersampaikan. Aku duduk bersandar, memejamkan mata setelah membuka sedikit jendela mobil, membiarkan semilir angin membelai sendu kulitku.
"Ayah," panggilku, masih dengan pejaman mata.
"Ya?"
"Ayah pernah rindu Ibu dengan sangat-sangat rindu?"
Lima belas detik ia terdiam, sebelum akhirnya menemukan jawaban yang sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. "Alvaro?"
Kini aku yang terdiam, menahan sesak di kerongkonganku. Dalam hal menahan air mata, aku adalah manusia yang paling lemah. Tidak sanggup, aku membiarkan bulir demi bulir air mata mengalir bersama luka yang kembali menganga. "Naya nggak suka bolu kukus, Ayah," ucapku di sela isak tangis.
"Ayah mengerti."
"Naya gak suka air terjun, Ayah."
"Iya, Naya."
"Naya benci Alvaro, Ayah. Naya benci dia pergi."
Ayah menepikan mobilnya, jemarinya memegang dua pundakku seraya berkata, "Naya, kita diajarkan kehilangan agar mahir dalam mengikhlaskan. Naya juga harus ingat, semua manusia akan pergi. Entah karena Tuhannya, atau karena pilihannya. Termasuk Alvaro."
***
Di sebuah rumah, bersama iringan gerimis menyapa tanah. Mobil berhenti di pekarangan rumah bernuansa putih. Kedatangan kami disambut hangat pemilik rumah, beberapa kali aku tersenyum merespons pertanyaan-pertanyaan random. Lima belas menit berlalu, seorang lelaki ikut bergabung di ruangan yang sama, tatapannya ke arahku. Cangkir teh hangat sudah berhenti mengeluarkan asap, hangat tersisa sedikit lagi.
"Dav, ajak gih."
"Iya, Pah."
Davino berdiri, berjalan ke arahku lalu tersenyum hangat. "Yuk, ke taman belakang. Nonton film."
"Gih, Nay. Ayah juga mau tenis meja dulu, dari pada nunggu sambil duduk-duduk aja, mending nonton film, kan?"
Tidak ada pilihan. Aku mengangguk mengikuti langkah Davino, menuju taman belakang yang bahkan dekorasinya saja aku sudah hafal. Ada berbagai jenis tanaman bunga di balik pagar putih cukup kecil mengelilingi lahan belakang. Sebuah pohon mangga tumbuh subur di ujung lahan. Davino mengajakku duduk di sebuah sofa panjang dengan satu meja di hadapannya. Karena sofa itu terletak di bawah kanopi, aku tidak bisa merasakan rintik gerimis yang sedang turun kali itu.
"Nonton film apa, Nay?"
"Apa aja."
"Habis nangis, ya?"
"Nggak."
Davino menatapku lama, tanpa suara tanpa kata. Aku memalingkan wajahku, menatap dedaunan yang bergerak menerima tetes hujan.
"Gak ada yang salah diantara lo sama dia, Nay. Perginya dia bukan salah lo atau pun salah dirinya sendiri."
Aku menoleh, ribuan kata siap keluar dari mulutku namun entah mengapa semua itu tidak mampu menyanggah apa yang baru saja ia katakan. Jawaban logis satu-satunya hanya satu mungkin. "Ada. Salahnya karena perasaan gue terlalu dalam sama dia."
"Itu bukan kesalahan."
"Lo bahkan nyanggah diri lo sendiri. Lo juga ngerasa bahwa inti luka kehilangan itu karena perasaan, kan? Cuma lo gak bisa jadiin hal paling indah itu untuk disalahkan."
Davino terdiam. Aku paham arti diamnya, membawa kebenaran terhadap kalimatku. Beberapa orang menghabiskan waktunya untuk mencari jutaan alasan sebagai alasan untuk merelakan, lalu mereka akan gagal ketika sadar bahwa yang sedang dilawan adalah perasannya sendiri. Apalagi yang bisa dilakukan selain mencoba terbiasa. Terbiasa tanpanya, terbiasa tidak mengirimkan pesan singkat untuknya, terbiasa tidak mendapat panggilan hingga lupa tidur, terbiasa segala-galanya tentang dia. Setelahnya, kita akan paham apa arti merelakan, kita paham bagaimana membuka ruang untuk kisah yang baru. Jika sudah disana, kita sampai pada tahap merelakan paling ikhlas.
"Oke, pembahasan selesai. Kita nonton film."
Aku tak lagi menjawab, membiarkan film terputar di layar laptop. Mataku menatap langit tanpa bintang, merasakan bagaimana hujan memberi kesejukan diantara gelap malam. Biasanya, malam seperti ini aku menghabiskan waktu di teras rumah bersama Alvaro. Membicarakan hal sederhana, terkadang dia juga akan menceritakan pengalamannya selama mendaki. Dia suka sekali mendaki, dia juga ingin mengajakku kesana. Dia bilang, saking indahnya, lelaki itu ingin sekali tinggal disana. Aku tersenyum kala itu, membayangkan bagaimana hidup berdua di rumah sederhana dan suasana dingin di kaki gunung. Rasanya, hidup sangat sempurna. Dia juga suka membawakanku bunga, meski terkadang aku kesal karena hampir seluruh sudut kamarku dipenuhi Baby's Breath. Tetapi, dia tidak pernah bosan, dia akan tertawa ketika aku mendesah bosan menatap bunga itu. Lalu, ternyata semesta penuh keajaiban. Rasa bosan itu kini hilang, berganti kerinduan amat dalam.
"Hujan gak akan bawa seseorang yang meninggalkan kita bisa balik lagi, Nay. Realistis ajalah."
Aku menoleh, menatap Davino. "Lo gak akan ngerti."
"Justru gue bilang gitu karena gue ngerti," sanggahnya. Dia meneguk teh hangat di cangkirnya kemudian menutup laptopnya. "Tapi hidup gak bisa berhenti disitu aja, Nay. Lo terlalu sayang sama dia sampai lo lupa kalau ada diri lo yang harus lo sayangi juga."
Ucapannya berhasil menampar diriku, membuatku ingat tentang apa saja yang berhasil membuatku kesakitan. Mungkin jika aku mampu, aku juga akan berhenti sejak waktu-waktu yang lalu. Tapi ini tidah sesederhana itu, Davino tidak paham mengapa aku begitu kehilangan. Dia tak paham bahwa sejak kehadiran Alvaro, aku tak lagi merasa sendiri. Jadi, bukankah terlihat wajar jika dia hilang dan aku kembali merasa sendiri?
"Berdamai, Nay. Semua yang pergi harus direlakan dengan hati yang lapang."
"Gue gak cukup punya kekuatan."
"Kalau gitu, berproses dari sekarang. Gue bantu."
"Bantu segala. Bukannya lo juga terjebak di sana?"
Davino terkekeh pelan. "Gue ganti kalimatnya, deh. Bareng-bareng berproses, kita saling bantu."
Aku tersenyum kecil. Kali ini kubiarkan kakiku lepas dari alas kaki yang kugunakan, menyentuh ubin cukup dingin. Hujan hampir reda, aku menunduk menatap jemari kakiku. Davino berdiri, meninggalkanku sendirian. Tak berselang lama, ia kembali membawa sebuah kotak persegi berbahan dasar kayu.
***Bersambung***