Buku yang berserakan di atas meja ia masukkan kedalam tas selempang nya. Tak perlu berlama-lama Anya bangkit dari duduk dan menuju tempat biasa ia memesan makan siang.
Sepasang mata biru itu menilik sekeliling kantin yang penuh akan manusia kelaparan. Terkadang ia heran kenapa harus kantin di fakultasnya yang sangat ramai? Jika saja mang asep pindah, ia tidak akan mau menginjakkan kakinya disini.
"Mang kayak biasa ya. Kali ni bungkus aja."
"Siap neng Anya." Setelah mendapatkan jempol dari mang Asep, gadis itu duduk disalah satu kursi yang tersedia. Mengabaikan panggilan-panggilan dari banyak orang, termasuk kalangan kating yang tanpa absen selalu menggodanya.
Tangannya sibuk mengutak-atik benda persegi yang ia pegang, guna mengalihkan perhatian dari banyaknya cemooh yang ia tangkap. Kepalanya terangkat saat ia melihat sepasang sepatu 'Nika' hitam yang sudah berada tapat dihadapannya.
"Hay Anya" Pria itu tersenyum atau lebih tepatnya menyeringai kearah Anya, yang dibalas anggukan kecil oleh gadis itu.
"Sendiri aja?" Anya memutar mata jengah. Pertanyaan macam apa itu? toh dia juga nampak sendiri kan? Emang pernah dia lihat Anya dengan orang lain sebelumnya? Gak kan?!
Basa-basi nya kelewat norak!
"Ini neng Anya." Sepertinya gadis itu harus berterimakasih kepada mang Asep sang penyelamat nya kali ini. Plastik transparan itu ia ambil dan memberi kertas sebagai pertukaran barang yang ia terima.
"Makasih mang. Saya permisi." Anya berlalu meninggalkan kantin dan isinya yang entah kenapa semakin ramai, sampai-sampai keramaian tersebut bisa membuatnya sesak nafas. Gadis itu juga tidak memperdulikan pemuda yang tadi sempat mengumpat garam karena diabaikan.
Langkahnya berhenti disaat manik birunya menemukan seseorang yang sangat tidak ingin ia jumpai. Pemuda dengan manik abu yang sudah pernah ia kecewakan. Bahkan melihatnya dari jauh saja Anya sudah takut entah karena apa.
Pemuda coklat itu terlihat sedang asik mengobrol dengan seorang gadis cantik berambut pendek. Matanya hitam bulat dengan pipi chubby ditambah gisul itu? Ah, Imut sekali.
Mereka terlihat sangat serasi.
Anya memalingkan pandangannya. Kepala ia tundukkan agar netra abu itu tidak menatapnya lagi. Bibirnya sedikit perih akibat gigitan yang ia lakukan tanpa sadar. Dan benar saja, Pemuda itu tidak sadar akan adanya gadis bermata biru itu.
Anya bernapas panjang, entah itu lega atau tidak. ia tidak yakin. Mengabaikan perasaan gundah dihati, kakinya melangkah menuju tempat yang biasa ia datangi.
Salah satu spot terfavorit nya adalah bangku taman belakang perpus.
Bangku yang terbuat dari semen itu adalah tempat ternyaman setelah kamarnya. Pohon Angsana yang tumbuh dengan subur membuat tempat itu jauh menjadi lebih sejuk. Anya mengisi perutnya yang belum sempat ia isi dari semalam dengan batagor mang Asep, sambil irisnya mengamati sekeliling. Sejenak gadis itu dapat berehat melepaskan semua kesialan yang menimpanya terus-menerus.
Tanpa henti. Tanpa Jeda. Dan tanpa belas kasihan.
Batagor yang ia beli tadi bahkan sudah berpindah tempat keperutnya. Tangan rampingnya meronggoh tas guna mencari handset putih sebagai pelengkap suasana. Mendengarkan lagu setelah perut kenyang merupakan salah satu nikmat dunia.
Matanya tertutup menghayati alunan lagu yang menggema di pendengaran.
Ah, nyaman sekali.
.
.
.
.
'Gadis kecil bermanik biru itu merintih kesakitan. Menatap wanita dihadapannya dengan pandangan memohon.
"Ampun ma... ampun... Anya salah ma, jangan hukum lagi."
Kedua tangan ia satukan seakan berdoa memohon ampunan. Badannya gemetar lantaran menahan sakit di sekujur tubuh. Berharap agar sang ibu tidak memukulnya dengan benda panjang yang seperti kabel itu.
"Memasak saja kau tidak bisa?! Lalu apa yang bisa kau lakukan?!" Wanita itu menyilang kan tangan nya didepan dada. Tangan yang biasa ia gunakan untuk membelai pria kesepian itu memukul putri satu-satunya tanpa belas kasih.
"Anya janji ma, lain kali Anya akan masak lebih baik." Kaki wanita itu ia peluk erat, tak ingin menerima sakit yang lebih lagi. Apapun akan ia lakukan bahkan memasak, yang bahkan tidak pernah ia pelajari sebelumnya.
"Jika nanti kau masih gagal, Hukumannya akan lebih sakit daripada ini!"
Rambut hitam itu ikut bergerak saat kepalanya mengangguk cepat. Kali ini ia tidak boleh gagal. Jika tidak, entah apa yang akan wanita itu lakukan padanya kelak.
~~~~~
Anya menatap sengit pemuda yang tadi siang mengganggu nya di kantin. Kalau tidak salah pemuda ini adalah kakak tingkatnya.
"Minggir"
Perintah Anya tidak dihiraukan, laki-laki itu malah semakin tertawa terbahak-bahak bersama dua temannya.
Anya berbalik arah hendak meninggalkan mereka bertiga yang masih tertawa entah karena apa, Tapi tangannya digenggam kuat oleh pemuda yang ia yakini ketua dari mereka.
"Mau kemana nya? Sini aja temani kita."
Ini gawat. Pasalnya tempat mereka sekarang merupakan tempat sepi yang tidak ada orang berlalu lalang. Perpustakaan ketiga yang jarang didatangi orang karena sebentar lagi tempat ini akan menjadi gudang.
Anya berusaha menarik tangannya dari genggaman pemuda dihadapannya. Cekalan yang ia rasa sangat kuat membuat lukanya nyeri kembali.
"Lepas!" Anya meringis menahan sakit yang menjalar di lengannya. Tubuhnya ditarik hingga memasuki ruangan kosong yang memang terbuka.
Anya terduduk dilantai akibat dorongan kuat yang ia terima. Gadis itu masih menatap sengit walaupun ketakutan jelas menghantuinya. Kakinya bangkit berdiri, dagu ia naikkan menantang.
"Wow, liat Anya kita? Masih merasa sok berani?"
Tangannya terkepal kuat agar tidak terlihat bahwa keringat dingin mulai mengucur. Ia tidak akan Sudi jika kelemahannya dilihat orang lain. Tidak akan sudi!
"Gue bisa teriak dari sini kalau lo macem-macem!"
Ketiga pemuda didepannya menyeringai menjijikkan. "Silahkan kalau ada yang dengar!"
"Tapi saran gue sih, lo pasrah aja."
Saat hendak melempar tas selempang nya, rambut panjang gadis itu ditarik kuat, sehingga ia tidak bisa bergerak. Tangannya memukul-mukul lengan pemuda itu dan menampar keras pipinya dengan kasar.
"Brengsek!" Ia meringis memegang pipinya yang merah dan balik melakukan hal yang sama tapi dengan tenaga yang jelas berbeda.
"Dasar jalang sialan!" Pipi gadis itu berdenyut perih, dan sudut bibir mengeluarkan simerah.
"Akh!"
Badannya didorong menghantam lantai, membuat posisinya kini telentang. Hantaman yang ia rasa membuat punggung nya berdenyut nyeri.
Pemuda itu menahan tubuhnya diatas Anya, sehingga gadis itu terkunci dan tidak bisa bergerak. Badan nya berusaha meronta walaupun jelas usahanya percuma.
"Tolong!" Suara yang sedikit sumbang membuat harapan nya semakin sia-sia. Apalagi saat mendengar tawa keras mereka, Anya ketakutan.
"Tolong!!"
"To..tolong!! Seseorang..."
Suara nya parau. Dan tanpa sadar cairan bening itu menuruni pipi mulusnya.
"See? Gak ada kan yang dengar suara lo!"
Pipinya dielus lembut membuat gadis itu menegang. "Lo udah biasakan layani orang? Kali ini gak banyak kok, tiga orang aja."
Tangisan yang dengan susah payah ia tahan kini jatuh tak terhingga. Membuat gelak tawa mereka semakin kuat.
Tidakkah Tuhan bosan terus-terusan menyiksa nya?
Anya pasrah.
Kalaupun memang ada seseorang yang kebetulan lewat, ia tidak yakin akan mendapatkan pertolongan. Yang mereka lakukan itu percuma. Melihat seorang pelacur yang dilecehkan oleh laki-laki, bukankah itu tidak masuk akal? Jadi siapa yang sudi menolongnya?
Gadis itu seakan tidak punya niatan untuk melawan. Membiarkan pemuda diatasnya mulai membuka kancing kemeja yang ia kenakan.
"Nya, lo cantik banget. Apalagi kalau gak ngelawan gini " Leher jenjangnya dijilat, membuat gadis itu kembali gemetar. Tangannya mencoba mendorong tapi tenaga bahkan tidak berpihak padanya.
Anya tidak mau ini!
Menjijikkan!
Untuk kali ini saja ia memohon kepada Tuhan, tolong seseorang. Siapapun itu. Tolong selamatkan dirinya.
Dan-
Brak!!
"Brengsek!"
#002