Brak!
"Brengsek!"
Pukulan itu ia layangkan cepat dan tepat mengenai si target. Dan saking cepatnya mereka bahkan tidak sempat bereaksi ataupun membalas.
Bunyi pukulan, hantaman kulit dengan kulit masuk ke pendengaran Anya. Manik berairnya membola. Melihat dua pemuda yang dibelakang tadi tumbang satu per satu.
Manik abunya menatap pemuda yang masih setia berada diatas si gadis, membuat darahnya kembali mendidih.
"Anjing!"
Tendangan nya melayang tepat mengenai punggung lelaki brengsek itu. Bunyi hantaman terdengar nyaring. Manik abu yang terlihat teduh itu sekarang berkilat amarah. Pukulan demi pukulan ia layangkan kepada lawan dibawahnya, seolah pukulan yang ia terima tidaklah sakit samasekali.
Lelaki tinggi berparas bule datang dengan terburu-buru dan langsung menghampiri pemuda coklat yang masih setia dengan posisi menghajar.
"Udah Al!" pemuda blasteran itu menahan lengan si manik abu dengan susah payah.
"Lo mau bunuh ni orang Al?!" Satu pukulan, dua pukulan, tiga pukulan.
"Lo dokter!"
Dan pukulan itu berhenti.
Anya terengah mengamati pemuda dihadapannya.
Tubuhnya bergetar hebat, napas memburu menampakkan dada yang naik turun tidak teratur. Ekspresi wajah tidak puas tergambar jelas, dan luka di sudut bibir, pelipis, bahkan pipinya? ia abaikan.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Tuhan mendengar doanya.
Iris abunya menatap gadis dihadapan yang terlihat sangat berantakan. Rambut yang kusut mencuat ke segala arah, luka disudut bibir, mata berair, dan kemeja yang tidak terkancing itu.
"Ck!-"
"Keluar lo Nat!" Tak perlu diperintah dua kali, Nathan sudah keluar bersama ketiga pemuda yang sudah babak belur dihajar Al tadi dan meninggalkan pemuda itu dengan emosi yang masih membuncah.
Gadis itu jelas ketakutan melihat Al yang masih dalam mode ganas.
Melihat Anya yang masih terduduk dengan tubuh bergetar, Al menghela nafas panjang, melepaskan jaket hitam yang ia kenakan.
"Maaf." Gadis itu meneguk ludah dengan susah payah. Berusaha bangkit dengan tangan yang menyangga pada tembok.
Belum sempat kaki berdiri, gadis itu ambruk kembali terduduk. Kakinya tak bisa bertahan akibat getaran yang belum mereda. Melihat itu, Al menghampiri Anya. Menutupi tubuh bagian depan Anya yang ter-ekpos dengan jaket hitam yang ia kenakan.
Gadis itu membiarkan Al melakukannya, menggendong nya bagaikan tuan putri.
"Nat, kunci mobil lo mana?" Nathan meronggoh saku jaketnya mengambil apa yang Al minta, menyerahkan kunci dengan gantungan Avengers itu kepada Al, pertanyaan-pertanyaan ia lontarkan tapi hanya dibalas anggukan kepala oleh pemuda coklat tersebut.
Anya berusaha mengabaikan ekspresi aneh yang dilontarkan pemuda bule dihadapannya.
Tubuhnya masih berada digendongan Al, membawanya kearah parkiran dan memasukkan tubuh kurusnya kedalam mobil hitam.
Anya bahkan membiarkan Al memasangkan kancing kemejanya yang tadi terlepas.
"Maaf" Nada bersalah tertangkap di pendengaran Anya.
Gadis itu sungguh tidak mengerti kata 'maaf' yang dari tadi Al katakan. Bukankah seharusnya dia yang berterima kasih?
Melihat bibir Anya yang tidak mengeluarkan suara apapun. Al menutup pintu dan memutari mobil tersebut untuk bisa masuk ke tempat pengemudi. Menghidupkan mesin dan mulai keluar dari parkiran mobil kampus.
Selama diperjalanan manik birunya terus menatap ke jalan. Ini adalah sejarah yang pantas diabadikan oleh buku catatannya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia ditolong.
Apa Tuhan mulai kasian padanya?
Pikiran gadis itu melayang jauh, sampai ia tersadar bahwa mobil hitam yang ia naikin telah berhenti didepan bangunan putih. Maniknya melotot tak terima.
"Gue mau pulang aja." Tukasnya cepat.
"Nya, luka lo harus diobati."
Kepala ia geleng keras. Ia tidak mau! Pokoknya tidak untuk kerumah sakit. Dia benci rumah sakit!
Al menghela nafas gusar. Kenapa sih gadis ini keras kepala? Al mencoba merendam egonya dan membujuk Anya dengan lembut.
"Nya..."
"Sekali aja dengerin kata gue, plis Nya..."
"...gue cuma gak mau luka lo makin parah."
Butuh waktu hampir 15 menit gadis itu berfikir. Sampai akhirnya anggukan kepala menjadi jawaban.
Sekali lagi, Anya tidak suka rumah sakit. Karena tempat itu adalah tempat dimana rahasia nya bisa dengan mudah terbongkar. Anya langsung menutup hidung tak kala bau menyengat dari obat-obatan menyeruak masuk ke penciuman nya. Ia juga benci obat!
Al membawanya ke salah satu ruangan khusus yang terlihat lebih privasi. Tanpa mengetuk pintu dan langsung masuk. Membuat alis gadis itu naik sebelah 'Dasar tidak sopan!' batinnya membatu.
"Ayah... "
"Ayah?" Reflek gadis itu menatap pemuda coklat dihapannya bingung, yang dijawab anggukan kecil oleh si manik Abu.
"Al?" Pria dewasa yang menggunakan jas putih khusus dokter itu berdiri dari duduknya, menatap tamu tak sopan yang ternyata adalah anak laki-lakinya.
"Yah, liatin lukanya dulu." Anya benar benar tidak habis pikir, ni anak nyuruh ayahnya seakan memerintah?!
"Gue gak papa."
"Nya, duduk sini."
Tak menghiraukan penolakan gadis itu, Al malah menyuruh nya untuk duduk disalah satu kursi yang ada disana.
"Gue gak--"
"Duduk!" Mau tak mau Anya nurut. Dia cukup waras untuk tidak berdebat didepan ayahnya Al yang jelas-jelas terlihat kebingungan.
"Gue keluar bentar nyari minum. Yah, Al titip dia ya. ikat aja kakinya kalau gak mau di obatin" Gadis yang dibicarakan reflek mendelik tajam.
"Keluar lo sana! gak usah balik-balik!"
Dokter dihadapannya hanya tertawa kecil melihat kedua remaja yang tengah berdebat melalui pandangan mata yang sama-sama melotot.
"Yaudah kamu hati-hati." Al mengangguk, lalu menghilang dibalik pintu coklat yang kembali menutup. Meninggalkan seorang dokter dan pasien didalamnya.
"Bisa saya liat luka di tangan kamu dulu?" Anya mengangguk sedikit ragu. Sebelum akhirnya menaikkan lengan kemeja hingga sebatas siku.
Jujur saja, itu luka terlama yang ia terima. bagaimana gak lama kalau baru siap diperban pasti terbuka lagi? Entah kenapa mereka seperti tidak ingin luka yang ini sembuh.
"Kamu bawa mandi ya lukanya? luka begini harusnya dijahit."
Anya menggigit bibir bawahnya. Ia sedikit takut untuk dijahit. Maniknya menatap luka yang terbuka itu sedikit ngeri. Bayangkan saja jarum yang biasa ia lihat untuk menjahit baju itu menusuk kulitnya dan menjahit tangannya?! Anya seketika merinding.
"Bisa dibius total gak dok?" Dokter itu tersenyum maklum.
"Bisa kok."
Wajah sumringah tercetak jelas, membuat sang dokter kembali tertawa kecil. Sungguh seperti anak kecil pikirnya. "Tapi tidak bius total ya." Yah tidak apalah, yang penting dibius.
Anya mengangguk.
Gadis itu sedikit meringis saat jarum yang dililit benang memasuki kulit pucatnya, menyatukan kembali kulit yang terbelah menampakkan daging segar bewarna pink itu.
Untuk menutupi luka nyaris sepanjang tujuh senti tersebut, harus membutuhkan dua puluh dua jahitan.
Gadis itu sesekali menyerngit saat dirasanya perih. Matanya berusaha melihat yang lain asalkan bukan luka di tangannya.
"Selesai." Anya melirik tangannya yang dibalut perban putih yang jauh lebih bersih dan rapi dari sebelumnya.
"Terimakasih dok."
"Sama-sama."
Al datang dengan membawa plastik putih yang terlihat banyak isinya. Mengambil dua botol minuman dan menyodorkan salah satu kearah Anya yang sudah ia buka penutup nya "Udah selesai?" botol itu di ambil Anya dan meneguknya hingga setengah.
"Udah. Kamu gak sekalian diobati luka nya?" Al menggeleng singkat.
"Gak yah, Aku nanti sendiri aja." Sang dokter mengangguk paham.
"Yaudah, luka jahitannya tadi jangan kena air dulu ya sampai sepulu hari, terus kalau udah sepuluh hari kamu kesini lagi, kita buka jahitan." Anya mengangguk mengerti begitu juga dengan Al.
"Dan kamu berhutang satu penjelasan, Al." Dan sang dokter meninggalkan ruangan tersebut sebelum mendapatkan jawaban dari putra sulungnya.
"Lo tunggu di luar, jangan pergi sampai gue kembali." Gadis itu tak merespon dan malah melihat-lihat isi ruangan tersebut.
"Nya..."
Al menghela nafas. Sungguh keras kepala.
"Iyaiya, bawel banget lo!"
"Ingat jangan kemana-mana sampai gue balik." Perintah Al tak ditanggapi gadis itu yang malah sudah menghilang dari balik pintu, membuat Al mengacak rambut frustrasi.
"Sial! keras kepala banget tuh cewe."
#002