Manik abu Al mencari gadis keras kepala yang katanya bakal nungguin dia setelah selesai urusan. Dan Al mendapati gadis dengan manik biru itu duduk disalah satu kursi kayu, memandang kakinya yang menendang-nendang angin. Jaket kebesaran yang ia pinjamkan tadi terlihat sangat kontras dengan warna kulitnya yang pucat.
Al tersenyum.
Anya masih terlihat sangat cantik walaupun luka jelas tertera diwajahnya. Gadis itu sudah terlihat biasa saja padahal beberapa waktu sebelumnya hal mengerikan hampir saja menimpanya.
Seperti ia sudah terbiasa? Tidak mungkin.
Anya berdiri saat manik birunya menangkap Al yang tengah melamun tak jauh dari tempat duduknya sambil memegangi dua plastik putih.
"Lama banget lo." Al tersadar dan berjalan menghampiri Anya yang masih berdiri, tangannya yang diperban kali ini terlihat jauh lebih rapi.
"Sekalian ngambil resep obat punya lo." Al menyerahkan dua kantung plastik putih yang ia bawa, dan diterima gadis itu. Dahi gadis itu berkerut saat melihat dua kantung yang ia terima.
"Kok banyak?"
Tanpa membalas pertanyaan Anya, pemuda itu malah berjalan menuju dimana mobilnya terparkir. Membukakan pintu penumpang dan mengisyaratkan gadis itu masuk menggunakan dagunya.
Anya sedikit kesal saat pertanyaan yang ia lontarkan tidak dijawab pemuda itu, kakinya ia hentakan sesaat memasuki mobil dengan muka ketekuk sebel.
Gimana rasanya diabaikan? kesal kan? sebel kan?
Selama diperjalanan Anya hanya melirik keluar jendela, mengamati jalanan yang mereka lalui dan sesekali menjawab pertanyaan Al tentang alamat tempat tinggal nya tanpa berniat memulai obrolan. Sampai akhirnya kendaraan beroda empat itu berhenti disalah satu rumah berwarna putih dengan pagar hitam sedada.
Anya menghela nafas bersyukur karena tidak melihat kendaraan lain yang terparkir indah dihalaman rumah nya.
"Obatnya jangan lupa diminum." Al melepaskan 'seatbelt' Anya sebelum akhirnya memperingati gadis itu untuk menghabiskan obatnya.
"Ingat, jangan makan mie!"
"He'em"
"Habisin juga buah dari gue."
"He'em"
"Banyakin makan sayur"
"He'em"
"Lo dengar gak"
"He'em"
"Nya..."
"Berisik banget sih lo! udah pulang sana! hus.. hus.." Gadis itu jengah dengan sikap terlalu peduli nya Al tentang kehidupannya. Tangannya ia kibaskan guna mengusir pemuda itu.
Ia hanya tidak terbiasa dipedulikan orang lain. Dan juga takut?
Pintu mobil ia buka lebar. Belum sempat badannya keluar, lengan gadis itu kembali ditahan.
"Gue gak percaya. Siniin hp lo." Tangan Al mengadah meminta segera gadis itu menyerahkan benda yang ia minta. Dan dengan setengah hati Anya meronggoh saku celana, memberikan smartphone miliknya, yang diterima Al dengan sukarela.
"Buruan pergi deh lo." Al tak menanggapi omongan pedas Anya, menyerahkan kembali benda pipih tersebut ke pemiliknya setelah mendapatkan apa yang ia mau. Anya kembali memasukan benda pipih tersebut kedalam saku celananya, beranjak keluar dari sana dan menutup pintu, tidak tidak maksudnya membanting pintu, dan Al hanya meringis saat pintu mobil itu dibanting kuat.
"Gue pulang dulu."
Setelah mobil hitam Al sudah menghilang dibelokkan, Anya memasuki rumahnya. Menghidupkan lampu ruangan setelah nya menaiki tangga menuju kamar.
Saat baru memasuki kamar, gadis itu dikejutkan dengan kehadiran Mikki yang berdiri didepan pintu, matanya berbinar seketika melihat sang majikan pulang. Mungkin ia rindu.
Atau mungkin ia lapar.
"Lo laper ya?" kucing hitam berbulu itu menggesekkan badan nya dikaki sang majikan. Membuat Anya mengangkat badan Mikki ke gendongannya. Plastik putih tadi ia letakkan diatas meja dan langsung mengambil makanan kucing yang terletak di samping lemari.
"Maaf ya gue telat pulangnya" Mikki langsung turun dari gendongan tak kala mangkuk makannya sudah terisi penuh.
"Lihat! Gara-gara si brengsek itu lo kelaparan."
Anya menatap kucing hitam dihadapannya yang tengah lahap makan. Ck! Perutnya juga mendadak lapar. Tangannya yang dibalut perban membuka isi plastik yang lebih besar, terdapat banyak buahan dan sayur. Mengambil buah bulat berwarna merah dan mengigitnya besar tanpa perlu dicuci terlebih dahulu.
Persetan dengan kotor! Toh, ia juga jauh lebih kotor.
Matanya menatap datar jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah enam. Sepertinya ia harus izin kerja dulu selama seminggu.
Gadis itu bangkit, mengganti jaket yang ia kenakan tadi dengan Hoodie abu-abu.
Ah, ingatkan ia untuk mengembalikan jaket Al.
Jaket itu ia gantung dilemari, lalu mengelus bulu Mikki singkat sebelum akhirnya keluar menuju tempat kerjanya.
'Tristesse' resto
Nama restoran yang kini menjadi tempatnya mencari uang. Entah apa yang tante-tante itu pikiran dalam mencari nama. Setahunya arti dari nama restoran itu adalah kesedihan dalam bahasa Prancis. Terlihat sangat cocok kan dengan dirinya?
Anya memasuki pintu belakang, maniknya mengedar sekeliling.
"Anyaa..."
Tubuh gadis itu nyaris saja ambruk akibat pelukan ganas yang ia terima dari gadis berkacamata.
"Lo dari mana aja sih?" Anya tidak mendorong ataupun membalas pelukan tersebut. Ia hanya berdiam diri, membiarkan Siska memeluk nya erat.
"Nya, tangan lo kenapa?" Jaka datang dari arah depan dengan nampan yang berisi piring kotor.
Pelukan itu langsung berhenti dan beralih memerhatikan tangannya. Menatap tangan kanan Anya yang diperban horor. "Tangan lo kenapa, Nya?!" mata bulat beralaskan kacamata itu melotot dengan raut wajah panik. Suara membahana gadis itu jelas memenuhi isi ruangan, Jaka bahkan sampai menutup telinga akibat suara cempreng tak merdu dari gadis berkacamata tersebut.
"Suara lo, pelanan dikit gak bisa ya?" Mata Siska mendelik tajam menatap Jaka tak suka.
"Berisik lo!"
"Lo yang berisik bego!" balas Jaka tak kalah sewot.
Anya mendorong pelan tangan Siska dibahunya. menyudahi pertengkaran mereka yang baru saja akan dimulai. "Manager ada?" mereka mengangguk kompak.
"Gue mau ketempat manager dulu." Dan Anya berlalu meninggalkan mereka berdua, menuju ruangan manager untuk meminta izin cuti.
"Mau pulang?" Baru Anya hendak meninggalkan resto, ia dikagetkan oleh sosok pemuda tinggi dihapannya. Lintang nama pemuda itu, staff dapur yang berkutat dengan masak memasak.
"Gue anterin." Anya hendak menggeleng, tapi belum sempat ia menolak, Siska datang dengan gaya bicara khasnya. "Gue setuju. Lo harus diantarin Lintang, biar aman!" Memerintah sangat, yang mau tak mau Anya terpaksa menuruti nya, karena tidak ingin mendengar suara berisik dari gadis itu.
Selama diperjalanan, Anya hanya menatap bangunan tinggi yang berjejer di ibukota. Udara dingin menusuk permukaan kulitnya. Jujur saja Anya tidak nyaman jika berduaan dengan laki-laki. Lintang sengaja memelankan laju motor matic nya, entah karena apa. Membuat perjalanan mereka terasa sangat lama.
"Lo bisa cepatan dikit gak? Kucing gue udah kelaparan." Bisa ia lihat Lintang terkekeh kecil dari balik helm, sampai akhirnya menganggukkan kepala dan motor mereka melaju dengan kecepatan sedang. Perlu ditegaskan lagi, dengan kecepatan sedang! Alias gak jauh beda dari yang tadi.
Rumah putih tersebut masih terlihat sama, tidak memperlihatkan bahwa ada penghuni lain didalamnya. Anya turun dan langsung memasuki halaman rumahnya begitu saja tanpa mengucapkan terimakasih ataupun basa-basi lain. Sampai akhirnya langkah kaki terhenti akibat panggilan dari belakang yang meneriakkan namanya.
"Istirahat yang cukup, Nya. Gue pamit ya." Anya mengangguk singkat lalu menutup pagar rumah, membiarkan pemuda itu memutar balikkan motor hijaunya sendiri. Dan setelah pemuda itu benar-benar menghilang dari pandangan, barulah Anya mengunci pintu rumah dan menaiki tangga menuju kamar.
Badan letihnya ia baringkan diatas kasur. Mata ia paksa terpejam walaupun ngantuk jelas belum melanda, smartphone yang ia letakkan di dalam saku celananya bergetar, memberikan sensasi geli dipaha nya. Buru-buru Anya mengambil benda itu dan melihat layar, kemudian dahinya berkerut tak senang.
PunyaAnya❤️
Udah tidur Nya?
18.47
Apa itu? Sejak kapan ada kata 'itu' di kontak hp nya?
Ah, ia tau siapa pelakunya.
Pemuda coklat itu, karena dialah orang pertama yang menyentuh hp nya.
#002