Untuk pertama kalinya, Anya kabur dari rumah.
Gadis itu berlari tak tentu arah. Membawa tas selempangnya sambil memeluk kucing hitam itu erat, takut lari. Ia rasa pria itu memanglah gila.
Tidak waras!
Tadi, saat baru selesai mandi, gadis itu mendengar suara berisik dari arah pintu rumah. Gadis itu mengendap mengintip dari anak tangga pertama, seingatnya ia sendirian saat ini. Tidak mungkin Winda pulang disaat ia kini diincar banyak orang kan? jadi itu tidak mungkin Winda.
Maniknya melotot saat penglihataannya menangkap sosok pria yang sama yang pernah ia tendang dulu tulang keringnya. Pria yang ia ketahui sebagai pacar Winda.
Dengan jantung yang berdebar kencang, Anya berlari kembali ke kamarnya dan mengunci pintu dari dalam. Ia mengambil HP dan dompet yang berada diatas meja, memasukkan nya ke tas selempang yang biasa ia gunakan, tak lupa makanan kucing itu ikut ia masukkan kedalam tas.
Anya terlonjak kaget saat pintu kamarnya digedor dari luar. Iris birunya menatap sekeliling, mencari benda yang sekiranya bisa ia gunakan untuk berlindung diri. Lalu, gedoran itu berubah menjadi hantaman keras. Pria gila itu jelas ingin mendobrak pintu kamarnya, dan Anya panik.
Ia bahkan tidak menemukan benda-benda yang sekiranya dapat digunakan sebagai temeng.
Tanpa basa-basi lagi, jendela kamar ia buka lebar-lebar, menghitung kira-kira berapa meter ketinggian tanah dibawah sana.
Miki menatap sang majikan bingung, kucing itu mengeong nyaring, membuat debaran jantung nya semakin memekakkan telinga. Tak banyak pikir, Anya melempar tas selempang tadi keluar jendela dan menggendong Mikki di pelukkannya.
Saat pintu itu nyaris terbuka Anya sudah melompat dari lantai dua, ia bersyukur karena ada pohon jambu yang sedikit membantunya mendarat. Walaupun sebenarnya tak terlalu banyak membantu, karena gadis itu harus menahan sakit di engsel kaki kanannya, serta kepala yang beradu dengan salah satu dahan pohon, dan Mikki yang mencakar lengannya panjang.
Kucing itu jelas reflek menancapkan kuku panjangnya hingga berdarah dilengan putih Anya.
Kaki ia paksa berlari walaupun sakit sangat mendominasi keadaan. Ia sangat takut dengan pria itu. Selain Winda, dialah dalang dari kehidupan kelam yang Anya alami hingga sekarang. Dan Anya tau bahwa pria itu sudah terobsesi padanya. Bahkan sejak dulu.
Mikki yang sedari tadi digendongannya bergerak gelisah, sehingga Anya kesusahan jika harus berlari kencang, dan gadis itu terpaksa membuka tas selempang nya dan memasukkan kucing itu kedalamnya.
Maniknya menatap bangunan kosong yang terlihat seperti habis terbakar. Anya bersembunyi di bangunan kosong itu, yang terletak cukup jauh dari rumahnya, berjongkok sambil menyandarkan diri pada tembok berlumut, tanpa menghiraukan bajunya yang ikut kotor, badannya berusaha meredam cepek dan sakit yang menjalar di sekujur tubuh.
Smartphone putih yang berada disaku celananya, ia ambil, mendeal nomor seseorang disana dan menunggu sambungannya terhubung. Hingga dering ketiga panggilan itu belum juga terangkat, membuat gadis itu mulai panik. Apalagi saat ia sudah melihat sosok menyeramkan itu tengah berjalan santai kearahnya.
Keringat dingin mulai mengucur deras di dahi.
Untuk sekedar berjalan saja ia sudah tidak sanggup, apalagi jika harus berlari dengan kaki yang menahan getaran dan nyeri disaat bersamaan.
Anya kembali berdoa.
Entah Kepada siapapun.
.
.
.
Jam sudah menunjukkan pukul duabelas malam lewat lima menit saat Al baru saja memasuki kamarnya. Pemuda itu baru saja selesai berbincang kepada sang kepala keluarga tentang materi pelajarannya yang akhir-akhir ini semakin memeras otak.
Al melirik ponsel yang tadi ia letakkan diatas kasur, menampilkan layar yang menyala menandakan pesan masuk.
Pemuda itu mengambil benda pipih tersebut, melihat notifikasi yang masuk, dan tanpa aba-aba ia bergegas mengambil Hoodie yang tergantung didalam lemari tanpa sempat berganti celana Jersey basket yang ia kenakan dan langsung pergi keluar rumah.
Miya yang melihat putra sulungnya bergegas mengeluarkan motor yang sudah terparkir di bagasi menatap heran.
"Al, mau kemana kamu malam-malam begini?"
Al menoleh, menatap sosok wanita yang berdiri tak jauh didepannya yang sedang menatap curiga.
"Al pergi bentar, ma. Penting." Dan setelah motor CBR 250cc itu sudah menyala, tanpa basa-basi lagi ia melesat laju dengan kecepatan tinggi menembus kosongnya jalanan, tanpa menghiraukan teriakan sang ibunda yang mempertanyakan kemana ia akan pergi.
Al memelankan laju kendaraanya saat ia sudah dekat dengan lokasi yang Anya kirimkan, pandangan mata ia tajamkan guna mencari keberadaan gadis itu.
Tapi nihil.
Ia tidak menemukan apapun. Yang ia lihat hanyalah bangunan kosong dan seseorang pria dewasa yang tengah berjalan sambil entah mencari apa.
Setelah ia sudah berada di ujung pertigaan jalan, IP putih miliknya bergetar dibalik Hoodie abu yang ia kenakan. Tanpa melihat nama si penelpon Al mengangkat panggilan dengan motornya yang masih berjalan pelan.
"Halo? Nya?"
Tak ada sahutan dari sang penelepon, membuat Al menatap layar ponselnya yang menampilkan nama seseorang yang kini sedang ia cari.
"Nya?! Lo dimana?"
'.....'
Suara berisik yang tidak jelas memekakkan telinga Al, lalu disusul suara pria dan kemudian suara teriak tertahankan, setelah nya bunyi benda jatuh dan panggilan itu terputus.
Al membalikkan kendaraan nya ketempat jalan yang ia lewati barusan, entah kenapa ia tiba-tiba teringat akan pria yang sempat ia lihat tadi.
Anya tersentak saat pria itu sudah berada dibelakangnya, menarik rambutnya kasar disaat gadis itu berusaha lari. Smartphone yang ia genggam direbut paksa dan benda itu dilayangkan menghantam tembok hingga hancur.
"Brengsek!" Anya meronta. Tangannya memukul-mukul dada pria yang masih setia menarik rambutnya.
"Mau kemana kamu?"
Tubuh kurusnya dilempar kuat menghantam tembok beton, membuat gadis itu terduduk lemas. Anya meringis saat ia merasakan perih dan pusing yang menyerang bersamaan.
Kembali, rambutnya ditarik kasar sehingga membuat Gadis itu mendongak menatap wajah pria yang kini tengah menyeringai lebar.
"Anya, kamu tidak bisa lari dari saya."
Air matanya mengalir deras saat badannya dipaksa berdiri, "Anak manis tidak boleh menangis."
Saat tubuhnya dipaksa berjalan, pria itu tiba-tiba terjerembab ke lantai penuh lumut yang berada di sana. Ia terlihat meringkuk kesakitan.
Manik biru berair itu menatap pemuda yang kini tengah berdiri dihadapannya penuh amarah.
Sama seperti waktu itu. Tapi wajahnya kembali tenang saat manik abu itu menatap kearahnya.
Tubuh kurus itu ia angkat pelan, lalu mendudukkan nya di atas pecahan beton yang berada tak jauh dari sana, tangannya terulur membenarkan rambut Anya yang mencuat kemana-mana. Lalu, ia berjongkok dihadapannya, menatap lekat manik biru berair yang semakin cantik itu.
"Tunggu bentar ya." Anya mengangguk mengerti. Al berjalan kearah pria yang tengah berdiri menahan sakit di daerah perutnya. Ia pasti yakin bahwa perutnya mengenai sesuatu.
"Siapa lo?! Bocah brengsek! Mau cari mati lo?!"
Al tak menghiraukan gertakan yang pria itu lontarkan dan malah melayangkan tendangan telak kearah perutnya, sehingga pria itu kembali terduduk. Merasa belum puas, Al menginjak kuat tangan pria yang sedang mengaduh kesakitan dibawahnya. Lalu, kembali ia melayangkan tendangan keras ke tubuh pria itu tanpa ampun.
Pria itu terbatuk akibat tendangan telak yang ia terima.
Al bukanlah bocah sopan dan baik hati seperti yang kalian agung agungkan. Inilah dirinya yang sebenarnya, hanya saja ia selalu pandai untuk menutupi sifat aslinya dengan memberikan presentasi yang cemerlang.
Anya mematung menatap sosok Al yang sangat terlihat asing dimatanya. Waktu itu dia tidak seperti ini karena ada Nathan yang menghentikan nya, tapi tidak untuk sekarang. Ia bahkan tidak terlihat kasihan kepada pria yang sedang meraung kesakitan dibawahnya.
"Al..."
"Al!"
"Aland!"
Al berhenti.
#002